JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menyadari minyak sawit yang sangat kompetitif memicu kecemburuan produsen minyak nabati lain sehingga memunculkan hambatan nontarif dan kampanye negatif terkait lingkungan. Pemerintah menjamin Indonesia berkomitmen penuh untuk terus menerapkan praktik perkebunan kelapa sawit lestari terstandar dengan mengacu regulasi yang ada.Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan menegaskan hal ini seusai pertemuan tingkat tinggi minyak sawit lestari, Kamis (2/10), di Jakarta. Pertemuan itu dihadiri sejumlah duta besar Indonesia dan negara sahabat, pengusaha, dan aktivis organisasi non-pemerintah.
”Dalam sepuluh tahun terakhir ini, minyak sawit banyak membuat sesuatu yang strategis dalam membangun perekonomian Indonesia. Kami ingin menunjukkan kepada dunia keseriusan pemerintah dalam mendorong produksi minyak sawit lestari,” kata Rusman.
Indonesia memproduksi 26 juta ton minyak sawit mentah (CPO) dari lahan seluas 9,2 juta hektar pada 2013 dengan 21,2 juta ton CPO dan produk turunannya diekspor. Minyak sawit merupakan komoditas ekspor unggulan Indonesia yang pada 2013 menghasilkan devisa 19,1 miliar dollar AS atau Rp 219,65 triliun.
Pemerintah telah menerapkan Standar Minyak Sawit Lestari (Indonesia Sustainable Palm Oil/ISPO) berdasarkan seluruh peraturan yang ada sebagai acuan praktik perkebunan yang lestari. Rusman mengatakan, saat ini sudah ada sedikitnya 63 dari 127 perusahaan perkebunan besar yang bersertifikat ISPO.
”Selebihnya sedang dalam proses akreditasi. Kami menargetkan ada 100 perusahaan perkebunan besar mendapatkan sertifikat ISPO sampai akhir 2014,” kata Rusman.
Duta Besar RI untuk Rusia Djauhari Oratmangun mengapresiasi forum pertemuan pemangku kepentingan untuk mempromosikan minyak sawit lestari Indonesia tersebut. Ia menilai, sudah sepatutnya Indonesia sebagai anggota G-20, kelompok negara maju, memperjuangkan komoditas ekspor unggulan di pasar global dengan sepenuh
hati dan tak terjebak isu lingkungan.
”Indonesia itu pemimpin dalam praktik pembangunan lestari dan sangat patuh melestarikan lingkungan. Persepsi yang salah terhadap produk Indonesia harus dipatahkan karena konsep pembangunan lestari itu tidak sebatas isu lingkungan,” kata Djauhari.
Komoditas strategisDalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera menandatangani payung hukum kelapa sawit sebagai komoditas strategis nasional. Regulasi ini merupakan komitmen Presiden Yudhoyono saat membuka Konferensi Minyak Sawit Indonesia (IPOC), di Bandung, Jawa Barat, November 2013.
Joko mengingatkan, pemerintah sebaiknya membangun strategi dagang yang fokus menyasar pasar-pasar prospektif seperti Rusia dan Turki. Pasar Turki cukup potensial meningkat dari kini 500.000 ton per tahun.
”Namun, CPO Indonesia kalah bersaing dengan Malaysia di pasar Turki karena ada kesepakatan dagang sehingga mendapat bea masuk rendah. Pemerintah harus fokus mengatasi hambatan ini supaya tragedi seperti kehilangan pasar CPO di Pakistan tidak terulang lagi,” kata Joko. (HAM)
Kompas 03102014 Hal. 17
”Dalam sepuluh tahun terakhir ini, minyak sawit banyak membuat sesuatu yang strategis dalam membangun perekonomian Indonesia. Kami ingin menunjukkan kepada dunia keseriusan pemerintah dalam mendorong produksi minyak sawit lestari,” kata Rusman.
Indonesia memproduksi 26 juta ton minyak sawit mentah (CPO) dari lahan seluas 9,2 juta hektar pada 2013 dengan 21,2 juta ton CPO dan produk turunannya diekspor. Minyak sawit merupakan komoditas ekspor unggulan Indonesia yang pada 2013 menghasilkan devisa 19,1 miliar dollar AS atau Rp 219,65 triliun.
Pemerintah telah menerapkan Standar Minyak Sawit Lestari (Indonesia Sustainable Palm Oil/ISPO) berdasarkan seluruh peraturan yang ada sebagai acuan praktik perkebunan yang lestari. Rusman mengatakan, saat ini sudah ada sedikitnya 63 dari 127 perusahaan perkebunan besar yang bersertifikat ISPO.
”Selebihnya sedang dalam proses akreditasi. Kami menargetkan ada 100 perusahaan perkebunan besar mendapatkan sertifikat ISPO sampai akhir 2014,” kata Rusman.
Duta Besar RI untuk Rusia Djauhari Oratmangun mengapresiasi forum pertemuan pemangku kepentingan untuk mempromosikan minyak sawit lestari Indonesia tersebut. Ia menilai, sudah sepatutnya Indonesia sebagai anggota G-20, kelompok negara maju, memperjuangkan komoditas ekspor unggulan di pasar global dengan sepenuh
hati dan tak terjebak isu lingkungan.
”Indonesia itu pemimpin dalam praktik pembangunan lestari dan sangat patuh melestarikan lingkungan. Persepsi yang salah terhadap produk Indonesia harus dipatahkan karena konsep pembangunan lestari itu tidak sebatas isu lingkungan,” kata Djauhari.
Komoditas strategisDalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera menandatangani payung hukum kelapa sawit sebagai komoditas strategis nasional. Regulasi ini merupakan komitmen Presiden Yudhoyono saat membuka Konferensi Minyak Sawit Indonesia (IPOC), di Bandung, Jawa Barat, November 2013.
Joko mengingatkan, pemerintah sebaiknya membangun strategi dagang yang fokus menyasar pasar-pasar prospektif seperti Rusia dan Turki. Pasar Turki cukup potensial meningkat dari kini 500.000 ton per tahun.
”Namun, CPO Indonesia kalah bersaing dengan Malaysia di pasar Turki karena ada kesepakatan dagang sehingga mendapat bea masuk rendah. Pemerintah harus fokus mengatasi hambatan ini supaya tragedi seperti kehilangan pasar CPO di Pakistan tidak terulang lagi,” kata Joko. (HAM)
Kompas 03102014 Hal. 17