MULAI 1 Oktober nanti maskapai penerbangan Garuda Indonesia menghentikan kerja sama dengan PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II dalam pengelolaan retribusi layanan penumpang di bandara (passenger service charge atau airport tax).
Penghentian kerja sama ini tentu saja mengejutkan. Sebab, selama ini Garuda Indonesia serta PT Angkasa Pura (AP) I dan AP II selalu mengedepankan jargon-jargon kepuasan pelanggan adalah yang utama. Ketiga lembaga ini juga selalu mengatakan ingin menjadi perusahaan kelas dunia. Namun, yang terjadi sekarang malah melakukan sebuah kemunduran.
Garuda Indonesia mengaku menyesal harus melakukan hal ini. Garuda tahu, banyak penumpang yang merasa nyaman karena tidak harus bolak-balik antre. Selain antre saat pemeriksaan bagasi dan di meja pelaporan penumpang, masih harus antre lagi di meja PSC.
Namun, Garuda terpaksa menghentikan pelayanan ini karena tidak kuat menanggung kerugian Rp 2,2 miliar per bulan akibat PSC yang tidak terbayarkan penumpang disebabkan sistem layanan yang berbeda antarmaskapai. Apalagi saat ini Garuda berupaya menyehatkan keuangan yang sedang negatif Rp 2,4 triliun.
Mundurnya Garuda dari layanan PSC pada tiket memberikan kesadaran baru. Setelah dua tahun menjalankan ini, ternyata tidak ada maskapai lain yang mengikuti. Kok pemerintah tidak segera membuat peraturan yang ”memaksa” semua maskapai dan bandara melakukan hal yang sama? Kok pemerintah juga tidak menyiapkan bandara-bandara yang menjadi kewenangannya untuk layanan ini?
Syukurlah saat ini maskapai penerbangan berbiaya murah Citilink sudah menerapkan hal yang sama. Namun, itu baru dua-tiga bulan lalu. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 447 Tahun 2014 tentang PSC pada tiket pad 9 September lalu.
Sayang, aturan ini terlambat. Pada waktu yang tak terlalu jauh, 24 September 2014, Garuda mengumumkan pihaknya mundur dari layanan PSC. Kemenhub mengaku kecewa. Baru saja dibuat aturan agar yang lain ikut, Garuda malah mundur.
Sebenarnya Kemenhub tidak perlu tersinggung karena memang Kemenhub cukup lambat merespons masalah ini. Dari 211 bandara yang berada di bawah wewenangnya, belum ada satu pun yang siap menjalankan PSC pada tiket.
PSC pada tiket adalah praktik yang umum pada dunia penerbangan. Lebih dari 90 persen maskapai di dunia menerapkan hal ini. Di Asia Pasifik, Indonesia dan satu negara kecil yang belum menerapkan PSC. Negara-negara di Afrika juga belum menerapkan PSC pada tiket.
Dulu Indonesia juga pernah menjalankan PSC pada tiket. Namun, karena banyak maskapai yang tidak disiplin menyetorkan kembali ke operator bandara, akhirnya praktik itu berakhir. Pihak maskapai juga enggan menerapkan karena dengan PSC pada tiket harga tiket terlihat lebih mahal.
Pihak bandara juga senang jika PSC dibayarkan langsung kepadanya, bukan melalui tiket. Sebab, uang langsung masuk ke kasnya, bukan mampir dulu ke maskapai. Bagi bandara milik Kemenhub, seperti unit pelayanan teknis daerah, juga lebih senang jika PSC dibayar langsung oleh penumpang. Dengan demikian, UPT bisa langsung menyetor penerimaan negara bukan pajak ini 1 x 24 jam sesuai ketentuan.
Namun, PSC dibayarkan ke bandara adalah praktik yang sudah tidak cocok lagi dengan era masa kini yang mengedepankan layanan terbaik bagi pelanggan. Rasanya akan merepotkan sekali bagi penumpang asing, yang tetap harus menyisihkan uang rupiah saat akan kembali, hanya untuk membayar PSC. Belum lagi layanan-layanan modern seperti web check-in dan city check-in, akan menjadi sia-sia karena penumpang tetap harus antre lagi untuk membayar PSC di bandara.
Kini, dengan semangat memberikan layanan terbaik bagi penumpang, semua pihak harus meletakkan egonya, duduk bersama, dan mencari penyelesaian terbaik. Kemenhub, maskapai, operator bandara, dan Kementerian BUMN saling membuka diri agar Indonesia tidak menjadi negara terbelakang, yang jauh dari pelayanan tingkat dunia. (M Clara Wresti)
Kompas 01102014 Hal. 17