JAKARTA–Kementerian Perhubungan menyatakan kebijakan revisi tarif batas atas angkutan udara kelas ekonomi dilematis. Pasalnya, ketika tarif tidak naik, operator akan merugi akibat membengkaknya biaya operasional, seperti biaya perawatan pesawat, harga avtur, dan tarif bandara. Di lain pihak, jika tarif dinaikkan, jumlah penumpang pesawat berpotensi turun signifikan, mengingat 70% penumpang merupakan pengguna jasa penerbangan murah yang sensitif terhadap besaran tarif.
“Masyarakat kita sensitif ter hadap tarif. Kalau kita naikkan tarif akan mempengaruhi daya beli masyarakat. Apalagi, data statistik penumpang udara menunjukkan, prosentase pe numpang layanan full service berada di kisaran 25-30%, se mentara yang besar di layanan low cost sekitar 70%. Jadi, kalau tarif dinaikkan, penumpang akan beralih ke moda lain,” ka ta Kepala Bagian Hukum dan Humas Direktorat Jenderal Per hubungan Udara Israful Hayat di Jakarta, pekan lalu.
Israful memperkirakan, ke putusan revisi tarif batas atas akan diputuskan sekitar tiga pekan lagi, yakni setelah di bahas dengan para pemangku kepentingan (stakeholder). Se belumnya para pemangku ke pentingan yang terdiri atas Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, Indonesia National Air Carrier Association (INACA), PT Angkasa Pura, AirNav, dan PT Pertamina telah mengadakan rapat konsolidasi, namunbelumbisamenghasilkan keputusan.
“Dari pertemuan itu belum didapatkan titik temu, karena masing-masing pihak masih menghitung besaran tarif yang memungkinkan. Selain itu, revisi tarif harus mempertimbangkan permasalahan utama, yaitu daya beli masyarakat,” ujar dia.
Lebih lanjut, kata Israful, sebelum revisi penaikan tarif batas atas ditetapkan, hal yang bisa dilakukan adalah kon solidasi antar-instansi. “Kita harus lakukan efisiensi bia ya yang bisa membantu mas kapai. Pengelola bandara dan Airnav bisa menurunkan ta rif, termasuk dari Pertamina yang bisa membantu untuk menurunkan harga avtur. Kalau efisiensi ini bisa dilakukan, tidak akan ada kenaikan tarif,” kata Israful.
Pada kesempatan terpisah, KetuaUmum IndonesiaNational Air Carrier Association (INACA) Arif Wibowo mengatakan, pihak maskapai penerbanganberharap pemerintah segeramemutuskan penaikan tarif batas atas karena maskapai makin tertekan.
“Saya berharap secepatnya ada keputusan besarannya be rapa setelah dibahas bersama. Kondisi saat ini semakin berat bagi maskapai ke depannya ka rena depresiasi rupiah, harga avtur, dan perekonomian yang belum stabil,” kata Arif.
Arif jugamenuturkan, pihaknya sudah meminta pemerintah membebaskanpenetapanbesaran tarifuntukruteyangsudahbanyak diterbangi maskapai.
“Tarif batas atas untuk rute yang monopolistik, silakan (di atur). Kalau rute bersaing le bih baik dibebaskan jangan dibatasi, karena untuk pelaku usaha itu juga bisa jadi stimulus persaingan,” kata Arif.
Melihat Kondisi di Lapangan
Sementara itu, pengamat penerbangan Dudi Sudibyo mengatakan, pemerintah ha rus mencari jalan keluar un tuk membantu maskapai pe nerbangan keluar dari masa sulit akibat kondisi ekonomi nasional yang tidak menentu. Revisi penaikan tarif batas atas harus segera diputuskan karena operator memiliki keterbatasan pemasukan.
“Pemegang otoritas dalamhal ini Kementerian Perhubungan harus melihat kondisi di la pangan. Dengan harga minyak yang terus meninggi dan fluk tuasi rupiah, harus cepat dicari jalan keluar. Paling tepat adalah evaluasi tarif batas atas karena pemasukkan maskapai hanya dari sana. Itu pun masih sulit karena hampir seluruh biaya operasional dalam dolar, se dangkan pemasukkan dalam rupiah,” kata dia kepadaInvestor Daily, Minggu (31/8).
Dudi menuturkan, regulator harus melihat secara detial prak tik di lapangan yakni dengan menghitung jarak tempuh per penerbangan (flight) sehingga diketahui berapa biaya yang ditanggung maskapai pe nerbangan. “Dari sana kan bisa diketahui berapa tarif batas atas dan bawah yang pas,” ujar dia.
Pemerintah, lanjut Dudi, tidak perlu ragu untuk menaikkan tarif batas jika memang diperlukan. Dudi menyebutkan, saat ini daya beli masyarakat Indonesia sudah membaik yang terlihat dari masyarakat kelas menengah atas yang jumlahnya terus me ningkat. Sedangkanpasar industri penerbanganmemangmenyasar masyarakat di kelas tersebut.
“Pemerintah tidak perlu takut. Masing-masing moda trans por tasi memiliki pasar. Ma syarakat yangmenggunakan pe sawat memang berada di tingkat ekonomi menengah ke atas. Kalau tiket pesawat murah juga masyarakat akan tinggalkan moda darat. Jadi, tarif ini harus bervariasi memang agar banyak pilihan,” papar dia.
Dibanding di negara lain di Asia, tarif pesawat di Indonesia untuk jarak penerbangan yang sama jauh lebihmurah. Padahal, harga avtur di Tanah Air lebih mahal dari negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Dudi juga menyebutkan kebijakan lain yang bisa dibuat pemerintah adalah memberi insentif berupa pembebasan bea masuk suku cadang (sparepart) pesawat. Hal ini bukan hanya masalahmenurunkan biaya, tapi juga mempermudah prosedur pengiriman suku cadang guna efisiensi waktu.
“Ada jenis komponen aircraft on groundyang dibutuhkanmas kapai dengan segera yakni dalam waktu 24 jam. PabrikanBoeing di Amerika Serikat misalnya sudah mengirim tepat waktu dalam 20 jam (dari waktu pemesanan). Tapi dengan birokrasi bea cukai yang panjang, pengiriman ini bisa tertunda,” jelas dia.
Investor Daily, Senin 1 September 2014, hal. 1