JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memerlukan bank khusus untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dan pertanian yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Ukuran kinerja menyebabkan bank umum sulit masuk ke sektor infrastruktur dan pertanian.
Sumber dana utama bank umum di Indonesia berasal dari dana pihak ketiga (DPK) yang terdiri dari tabungan, giro, dan deposito. Sumber dana itu didominasi oleh deposito yang secara statistik lebih banyak jatuh tempo dalam waktu tiga bulan.
Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono menjelaskan, dengan sumber dana jangka pendek, sangat sulit bagi bank umum untuk memberikan kredit bertenor panjang.
”Padahal, kedua sektor itu memerlukan durasi pinjaman yang panjang. Tidak sinkronnya sumber dana jangka pendek dan tenor panjang kredit menyebabkan bank umum sulit masuk ke sektor infrastruktur dan pertanian. Karena itu, bank khusus sangat dibutuhkan,” kata Sigit, Minggu (31/8), di Jakarta.
Presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo-Jusuf Kalla, dalam kampanye pada Juni lalu, menekankan perlunya bank yang khusus memberikan kredit untuk pembangunan dan infrastruktur. Bank infrastruktur akan menjawab persoalan kemiskinan yang sering dipicu oleh minimnya pembangunan infrastruktur. (Kompas, 25 Juni 2014).
Sigit menambahkan, bank khusus tidak bisa mengandalkan sumber pendanaan dari DPK. Apalagi, deposito yang menjadi pendukung utama DPK umumnya berjangka waktu pendek. ”Jika bank khusus bisa diwujudkan, ada sumber dana alternatif seperti pinjaman asing untuk jangka panjang,” ujarnya.
Contoh negara sukses
Tiongkok dan Thailand merupakan contoh negara yang sukses mendorong perekonomian lewat bank khusus. Pembangunan infrastruktur Tiongkok ditopang oleh bank infrastruktur, sementara penguatan dan diversifikasi sektor pertanian Thailand didukung bank pertanian.
Tanpa bank khusus, Sigit pesimistis pemerintah mendatang bisa mempercepat pembangunan infrastruktur. Hingga saat ini subsidi energi besar dan mempersulit ruang gerak pemerintah mempercepat pembangunan.
Namun, pembentukan bank khusus untuk infrastruktur dan pertanian tidak mudah. Apalagi, bank khusus butuh sumber dana alternatif dari luar negeri untuk kredit jangka panjang.
Bank Indonesia akan segera menerbitkan aturan mengenai pinjaman luar negeri. Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo menjelaskan, aturan itu diperlukan untuk mengontrol pengelolaan utang luar negeri karena utang luar negeri swasta terus meningkat.
”Aturan itu akan mendorong kehati-hatian pengelolaan utang luar negeri. Kami ingin memastikan, utang luar negeri yang diambil tidak berrisiko nilai tukar dan jangka waktu,” kata Agus.
Utang luar negeri Indonesia per Juni 2014 mencapai 284,88 miliar dollar AS atau sekitar Rp 3.319 triliun. Padahal, pada 2009, nominal utang luar negeri Indonesia baru mencapai 172,81 miliar dollar AS. (AHA)
Kompas 01092014 Hal. 20