Investor Terus Khawatir Pasar Merespons Negatif Perkembangan Politik

JAKARTA, KOMPAS — Pasar keuangan domestik memberi respons negatif terhadap perkembangan politik di Indonesia pekan lalu yang terlihat dari melemahnya nilai tukar rupiah dan turunnya Indeks Harga Saham Gabungan. Investor khawatir, berbagai program pemerintah akan terus diganjal di DPR. Nilai tukar rupiah, menurut kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, pada Jumat (26/9) melemah ke level Rp 12.007 dari sehari sebelumnya Rp 11.947 per dollar AS. Di pasar spot, rupiah bahkan sempat menembus Rp 12.050 per dollar AS sebelum ditutup pada level Rp 12.048. Adapun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 1,3 persen ke level Rp 5.132,6.Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Destry Damayanti, Minggu (28/9), mengatakan, melemahnya nilai rupiah dan IHSG disebabkan respons negatif tahap awal investor. ”Respons negatif investor terhadap disahkannya RUU Pemilihan Kepala Daerah adalah awal. Investor menilai, ke depan, program pemerintah akan terus diganggu di parlemen jika melihat perkembangan pengesahan RUU itu,” ujarnya.
Investor tak hanya melihat dinamika politik antara pemerintah dan DPR sebagai sentimen. ”Investor sangat khawatir, jika situasi politik seperti itu terus berlanjut, stabilitas keuangan bisa terganggu. Bagi investor, stabilitas ekonomi sangat penting,” kata Destry.
Kepala Ekonom dan Riset PT Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih menjelaskan, ada kombinasi antara perkembangan politik dalam negeri dan perkembangan perekonomian Amerika Serikat sehingga nilai tukar rupiah dan IHSG melemah. Namun, faktor situasi politik dalam negeri dominan.
Modal keluarRespons negatif investor terhadap perkembangan politik Indonesia harus dicermati dengan serius. Lana khawatir, investor asing akan menjual aset portofolionya jika perkembangan politik tidak bagus.
”Dalam jangka pendek ini, bisa saja rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) diganjal lagi di DPR. Padahal, harga BBM harus naik sebelum Februari 2015 supaya masih ada waktu bagi Indonesia bersiap menghadapi kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, The Fed, yang mungkin dilakukan pada Mei hingga Oktober 2015,” kata Lana.
Modal asing yang ditempatkan pada saham perbankan cukup besar. Lana menjelaskan, total kapitalisasi ke pasar mencapai 25 persen. Total kapitalisasi pasar mencapai Rp 5.000 triliun. ”Investor bisa keluar kapan saja, bukan karena fundamental banknya, melainkan karena sentimen politik,” ujarnya.
Jika modal asing keluar dari Indonesia dalam skala masif, tak hanya IHSG dan rupiah yang bisa terus melemah, tetapi juga koreksi terhadap surplus neraca pembayaran Indonesia (NPI). Selama ini meski terjadi defisit transaksi ekspor-impor, NPI selalu surplus. Pada triwulan II- 2014, NPI surplus 4,297 miliar dollar AS atau naik 73,47 persen dibandingkan surplus triwulan II-2013 yang sebesar 2,47 miliar dollar AS.
Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Ryan Kiryanto menekankan perlunya mewaspadai arus modal keluar. Sebab, investor melihat ada potensi gangguan pertumbuhan ekonomi.
”Investor melihat pengesahan RUU Pilkada menjadi indikasi bahwa jalannya roda pemerintahan pada masa mendatang bisa banyak gangguan. Itu berarti pertumbuhan ekonomi juga bisa terganggu,” kata Ryan. (Aha/BEN)
Kompas 29092014 Hal. 20

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Recent Posts

Comments are closed.