JAKARTA – Klausul pembatasan lahan seluas 200 hektare (ha) untuk kawasan perumahan dan industri tidak perlu masuk ke UU Pertanahan. Pembatasan tersebut dikhawatirkan menimbulkan kekakuan dan tidak mengakomodasi kebutuhan pembangunan perumahan.
Pandangan tersebut menge muka dalam konferensi pers Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat – Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEMFEU), di Jakarta, Kamis (25/9). Materi konferensi pers disam paikan oleh Ketua Tim Kajian Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Untuk Pengembangan Kawasan Perumahan dan Permukiman Nuzul Achjar dan peneliti senior LPEM FEUI Riatu M Qibthi yyah.
Menur ut mereka, pemba hasan RUU Pertanahan di DPR sebaiknya ditunda karena masih membutuhkan kajian akademis lebih dalam.
Nuzul mengatakan, RUU Per tanahan masih banyak kele mahan. Soal pembatasan lahan seluas 200 ha, misalnya, se cara eksplisit mencerminkan adanya homogenitas kebutu han lahan untuk perumahan dan permukiman. “Seolah one size fits all (satu ukuran untuk semua) di daerah,” ujar Nuzul.
Pembatasan 200 ha dikhawa tirkan menimbulkan kekakuan (rigidity) karena tidak meng akomodasi dinamika kebutu han pembangunan perumahan dan permukiman di daerah. “Hasil kajian merekomendasi kan bahwa pembatasan pengu sahaan lahan untuk perumahan dan permukiman tetap diperlu kan. Namun, tidak perlu tercan tum secara eksplisit di tingkat UU. Pencantumannya cukup di peraturan di bawahnya,” kata Nuzul.
Kebutuhan lahan perumahan oleh badan usaha di setiap dae rah bervariasi antara di bawah dan di atas 200 ha. Tanpa ada kriteria yang jelas tentang batas maksimum 200 ha per badan usaha per daerah, menurut Nu zul, dikhawatirkan menghambat upaya pemenuhan kebutuhan perumahan yang berbeda di setiap daerah.
“Kita tidak tahu, kebutuhan perumahan di satu daerah itu sama apa tidak. Setiap daerah memiliki tingkat kepadatan jum lah penduduk yang berbeda. Kebutuhan rumah setiap daerah juga berbeda. Apakah dengan 200 hektare lahan cukup untuk pengembangan suatu peruma han atau kota baru ?” kata dia.
Titik Keseimbangan
Secara konseptual, lanjut Nu zul, pembatasan pengusahaan lahan kawasan perumahan dan pemukiman seyogyanya mem pertimbangkan titik keseimban gan (ekuilibrium) antara biaya danmanfaat pengusahaan lahan. Pertimbangan titik keseimbang an tersebut perlu memerhati kan aspek kemaslahatan dan keadilan untuk masyarakat luas. Sebab, pengembangan kawasan perumahan dan permukiman bernilai strategis dalam rangka pembangunan ekonomi daerah yang berkelanjutan.
“Sebaiknya RUU Pertanahan ini tidak perlu segera disahkan, tetapi dikaji lebih jauh lagi. Sebab, UU ini bakal mengikat semua pihak dan bila dipak sakan akan berdampak pada pembangunan satu kawasan di daerah,” ujar dia.
Kalaupun tetap dipaksakan, menurut Nuzul, klausul pem batasan penguasaan lahan se luas 200 hektare dihilangkan dan dimasukkan dalam turunan UU, seperti Peraturan pemerin tah (PP). “Nahkita debat di sini, berapa sebenanrya kebutuhan lahan yang layak untuk satu daerah buat perumahan ataupun industri. Tetapi jangan dipaksa kan masuk UU,” kata dia.
Aktif Memantau
Peneliti senior LPEMUI Riatu M Qibthiyyah menambahkan, pembatasan lahan 200 ha belum jelas dasar pertimbangannya. Jika untuk membatasi harga lahan atau penguasaan lahan, menurut dia, pemerintah perlu aktif memantau. “Secara ekono mi apakah lahan seluas 200 hektare cukup untuk pengem bangan suatu kota baru, ataupun untuk kebutuhan lahan indus tri,” ujar dia.
Menurut dia, campur negara dalam hal lahan sangat penting, agar tidak dipermainkan oleh spekulan. Namun, bukan be rarti pemerintah jugamembatasi penguasaan lahan, dalam rangka pertumbuhan satu kawasan atau suatu daerah. “Kalau dibatasi, takutnya per tumbuhan satu daerah akan terhambat, karena tidak bisa lagi dikembangkan,” kata dia.
Investor Daily, Jumat 26 September 2014, hal. 23