JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan industri mineral melalui kebijakan hilirisasi industri terkendala kebijakan fiskal yang mewajibkan industri membayar Pajak Pertambahan Nilai 10 persen jika komoditas mineral diolah di dalam negeri. Kendala yang lain adalah belum adanya harmonisasi kebijakan pengembangan sektor industri manufaktur dengan industri mineral.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM R Sukhyar mengatakan hal itu, Rabu (23/9), di Jakarta, saat menjadi pembicara kunci dalam seminar bertema ”Strategi Hilirisasi dan Masa Depan Sektor Pertambangan”. Direktur Perencanaan Industri Agribisnis dan Sumber Daya Alam Badan Koordinasi Penanaman Modal Hanung M Rahmat dan Ketua Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia Poltak Sitanggang juga tampil sebagai pembicara.
Sukhyar mengungkapkan, pengembangan industri mineral merupakan keharusan. Lebih dari 40 tahun industri pertambangan di Indonesia tak beranjak maju. Indonesia masih saja menjadi pengekspor komoditas pertambangan primer. Padahal, negara-negara maju mulai menggarap industri manufaktur dengan membangun industri mineral.
Saat ini, kebijakan sektor pertambangan tidak lagi semata-mata melihat aspek pasokan, tetapi bergeser ke permintaan.
”Sektor industri mau mengembangkan industri manufaktur dan industri lainnya yang seperti apa. Dari sisi hulu, kami akan mengamankan bahan baku mineralnya,” ujar Sukhyar.
Meski demikian, Sukhyar menyatakan, hingga saat ini belum ada kejelasan pembangunan sektor industri. Masih ada kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan.
Selain masalah sinkronisasi, kebijakan fiskal dalam bentuk pengenaan PPN kepada komoditas pertambangan yang diolah di dalam negeri juga menjadi kendala. Komoditas pertambangan yang akan diproses atau dimurnikan di dalam negeri oleh pihak lain justru dikenai PPN, sementara yang langsung diekspor dalam bentuk barang mentah tidak kena PPN.
Pemerintah sedang mengupayakan agar kendala seperti itu bisa diatasi. Saat ini, ujar Sukhyar, masih ada pemerintah daerah yang menghambat berkembangnya industri hilir secara nasional karena menghalangi komoditas pertambangan yang akan diolah di daerah lain.
KonsistensiPoltak mempertanyakan konsistensi kebijakan pemerintah di sektor pertambangan, misalnya dalam hilirisasi industri pertambangan. Perusahaan pertambangan dilarang mengekspor komoditas pertambangan agar diolah di dalam negeri. Namun, semangat membangun industri hilir terkendala infrastruktur.
Poltak menyebutkan, defisit listrik hingga 6.000 megawatt menjadi pemicu industri tidak bisa beroperasi.
Hanung mengatakan, belum tertariknya perbankan nasional membiayai investasi industri hilir mineral karena risiko bisnisnya masih tinggi. Namun, sejauh ini investasi asing pada sektor pertambangan masih relatif bagus dibandingkan investasi dalam negeri yang menurun.(MAS)
Kompas 24092014 Hal. 18
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM R Sukhyar mengatakan hal itu, Rabu (23/9), di Jakarta, saat menjadi pembicara kunci dalam seminar bertema ”Strategi Hilirisasi dan Masa Depan Sektor Pertambangan”. Direktur Perencanaan Industri Agribisnis dan Sumber Daya Alam Badan Koordinasi Penanaman Modal Hanung M Rahmat dan Ketua Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia Poltak Sitanggang juga tampil sebagai pembicara.
Sukhyar mengungkapkan, pengembangan industri mineral merupakan keharusan. Lebih dari 40 tahun industri pertambangan di Indonesia tak beranjak maju. Indonesia masih saja menjadi pengekspor komoditas pertambangan primer. Padahal, negara-negara maju mulai menggarap industri manufaktur dengan membangun industri mineral.
Saat ini, kebijakan sektor pertambangan tidak lagi semata-mata melihat aspek pasokan, tetapi bergeser ke permintaan.
”Sektor industri mau mengembangkan industri manufaktur dan industri lainnya yang seperti apa. Dari sisi hulu, kami akan mengamankan bahan baku mineralnya,” ujar Sukhyar.
Meski demikian, Sukhyar menyatakan, hingga saat ini belum ada kejelasan pembangunan sektor industri. Masih ada kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan.
Selain masalah sinkronisasi, kebijakan fiskal dalam bentuk pengenaan PPN kepada komoditas pertambangan yang diolah di dalam negeri juga menjadi kendala. Komoditas pertambangan yang akan diproses atau dimurnikan di dalam negeri oleh pihak lain justru dikenai PPN, sementara yang langsung diekspor dalam bentuk barang mentah tidak kena PPN.
Pemerintah sedang mengupayakan agar kendala seperti itu bisa diatasi. Saat ini, ujar Sukhyar, masih ada pemerintah daerah yang menghambat berkembangnya industri hilir secara nasional karena menghalangi komoditas pertambangan yang akan diolah di daerah lain.
KonsistensiPoltak mempertanyakan konsistensi kebijakan pemerintah di sektor pertambangan, misalnya dalam hilirisasi industri pertambangan. Perusahaan pertambangan dilarang mengekspor komoditas pertambangan agar diolah di dalam negeri. Namun, semangat membangun industri hilir terkendala infrastruktur.
Poltak menyebutkan, defisit listrik hingga 6.000 megawatt menjadi pemicu industri tidak bisa beroperasi.
Hanung mengatakan, belum tertariknya perbankan nasional membiayai investasi industri hilir mineral karena risiko bisnisnya masih tinggi. Namun, sejauh ini investasi asing pada sektor pertambangan masih relatif bagus dibandingkan investasi dalam negeri yang menurun.(MAS)
Kompas 24092014 Hal. 18