Pekan Depan, RUU Disahkan DPR

JAKARTA, KOMPAS — Sepekan lagi, tepatnya Senin (29/9), Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pertanahan menjadi undang-undang. RUU itu menggantikan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang telah berlaku puluhan tahun.
”UU Pertanahan yang baru akan mengatur tentang ekologi. Ketika UU Agraria disahkan pada 1960, mana ada kosakata soal ekologis,” ujar Ketua Panja RUU Pertanahan Abdul Hakam Naja, Senin (22/9), di Jakarta.
Hakam Naja mengatakan, terdapat lebih dari 700 daftar inventarisasi masalah dengan pertimbangan 200-an pasal RUU Pertanahan. UU Pokok Agraria tahun 1960, karena sifatnya yang hanya pokok-pokok, hanya terdiri atas 58 pasal.
Dalam RUU Pertanahan, tanah memang diatur dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk fungsi sosial dan ekologis. Pemilik tanah juga diminta memelihara kemampuan fisik dan kelestarian. Bahkan, tidak menutup akses warga yang akan melewati bagian dari wilayah hak atas tanah.
Salah satu langkah maju dalam RUU Pertanahan adalah pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat. ”Hak-hak tanah ulayat nantinya disinkronkan dengan UU Masyarakat Hukum Adat, dibuat semacam koridor penghubung antara dua UU,” ujar Hakam Naja.
Pengadilan pertanahan
RUU Pertanahan juga memastikan keberadaan pengadilan pertanahan di setiap pengadilan negeri di ibu kota provinsi. ”Ada banyak catatan terkait pengadilan pertanahan ini meski tujuannya bagus, yakni ada hakim dengan spesialisasi pertanahan,” kata pengacara publik LBH Jakarta, Rachmawati Puteri.
Rachma menambahkan, salah satu pertanyaan kritis itu adalah terkait kemungkinan penggunaan hukum acara perdata dalam sidang kasus tanah di pengadilan pertanahan. ”Kita mempertanyakan apabila pengadilan pertanahan tetap menggunakan hukum acara perdata. Tidak bisa konflik tanah hanya diadili dengan bukti formal,” ujarnya sambil mengungkapkan, masyarakat miskin seperti petani tidak punya alat bukti seperti sertifikat.
Masyarakat adat dan gabungan aktivis juga mendesak presiden terpilih Joko Widodo mewujudkan reformasi agraria yang sekian tahun cuma wacana. Mereka meminta pemerintah membentuk lembaga penyelesaian konflik agraria dan pengadilan agraria untuk menuntaskan kasus sengketa lahan yang meluas akibat penguasaan lahan oleh pemodal besar.
Hal itu disampaikan dalam Konferensi Nasional Reforma Agraria, di Jakarta, Senin. Sebanyak 500 masyarakat adat yang mayoritas adalah petani dan 37 lembaga nirlaba nasional ikut dalam acara tahunan tersebut.
Iwan Nurdin, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria, mengatakan, reformasi agraria adalah janji kampanye pasangan Jokowi-JK, dan tertuang dalam visi misi Nawa Cita pasal lima. ”Dukungan masyarakat terhadap kepemimpinan Jokowi-JK ini hendaknya menjadi modal sosial untuk mewujudkan janji kampanye. Jangan seperti pemerintah sebelumnya yang hanya janji-janji,” ujar Iwan. (RYO/A13)
Kompas 23092014 Hal. 2

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Recent Posts

Comments are closed.