JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah segera masuk tahap finalisasi di DPR pekan ini. RUU ini diyakini akan memperkuat hubungan pusat dan daerah. Namun, sejumlah kepala daerah memberikan catatan penting.RUU ini merupakan bagian dari revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dipecah menjadi tiga. Undang-Undang Desa sudah disahkan, RUU Pemerintahan Daerah segera disahkan, yang ketiga RUU Pilkada pada Kamis (25/9).
RUU PEMDA
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, kemarin, meyakini tidak ada permasalahan lagi dari isi RUU Pemda yang akan disahkan ini karena setiap fraksi sudah memberikan persetujuan. Pemerintah yakin RUU Pemda akan memperkuat relasi pusat dan daerah.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan menjelaskan, ada banyak hal baru dalam RUU Pemda.
Terkait relasi pusat-daerah, sanksi pun diadakan untuk menjamin pemerintahan berjalan efektif dan efisien. Sanksi itu berupa teguran, pemberhentian sementara, hingga pemberhentian tetap.
Khusus pemberhentian tetap oleh pemerintah pusat, harus didahului pemeriksaan oleh pemerintah yang hasilnya disampaikan kepada Mahkamah Agung (MA). Jika MA memutuskan ada pelanggaran, pemberhentian bisa dilakukan pemerintah.
Salah satu pelanggaran yang bisa diberhentikan tetap adalah jika kepala/wakil kepala daerah merangkap jabatan sebagai ketua partai politik.
”Sanksi juga akan dikenakan jika kepala/wakil kepala daerah diundang rapat penting tidak hadir tanpa izin. Begitu pula jika instruksi pusat tidak dilakukan daerah,” katanya.
Gubernur diperkuatPeran gubernur juga diperkuat dengan mengalihkan sejumlah kewenangan yang sebelumnya ada di pemerintah kota/kabupaten. Kewenangan itu terkait pertambangan, kehutanan, kelautan, dan perikanan. Kewenangan ini dialihkan ke tingkat provinsi karena dinilai rawan penyimpangan.
Selain itu, sumber daya manusia yang terkait dengan urusan pertambangan, kehutanan, kelautan, dan perikanan lebih banyak ditangani pemerintah provinsi. Dengan begitu, pelaksanaan urusan-urusan itu akan lebih baik karena ditangani orang-orang yang memiliki keahlian sesuai bidangnya.
Terkait pemekaran, pembentukan daerah otonom baru juga dinilai akan lebih baik karena sebelum menjadi daerah otonom baru, daerah itu harus melalui tahapan daerah persiapan selama tiga tahun. Usulan pembentukan daerah otonom baru pun hanya satu pintu dari pemerintah. DPR tidak lagi memiliki kewenangan mengusulkan daerah otonom baru.
”Adanya daerah persiapan bisa mencegah DOB (daerah otonom baru) gagal seperti yang banyak terjadi selama ini. Jika selama tiga tahun daerah dinilai tidak siap menjadi DOB, daerah itu dikembalikan ke kabupaten/kota/provinsi induk,” ujar Djohermansyah.
Sejumlah kepala daerah memberikan catatan penting terhadap substansi RUU Pemda ini.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, misalnya, menilai kewenangan gubernur yang diperluas dalam RUU Pemda sebagai pengaturan yang sangat berlebihan. Kewenangan gubernur untuk mencabut sejumlah hak bupati adalah salah satunya.
Menurut dia, otonomi daerah yang sudah berjalan saat ini, terlepas dari kekurangannya, telah mendorong sejumlah kemajuan di beberapa daerah meskipun perlu ada pengendalian dalam beberapa hal.
”Bahwa saat ini di beberapa daerah sejumlah bupati tidak akur dengan gubernurnya, itu kasuistik. Tidak bisa digeneralisasi. Yang perlu dibangun adalah mekanisme koordinasi yang saling mendukung antara gubernur dan bupati karena kemajuan provinsi sesungguhnya disokong oleh kemajuan sejumlah kabupaten/kota yang ada di dalamnya,” ujar Anas.
Meski demikian, beberapa substansi dalam RUU Pemda cukup relevan untuk menjawab tantangan otonomi daerah saat ini.
Otonomi daerah ini, menurut dia, bagian dari proses yang harus terus diinjeksikan nilai-nilainya agar menghasilkan dampak positif kepada rakyat. Mekanisme koordinasi bisa diatur agar program bisa selaras dari pusat ke daerah, dari provinsi ke kabupaten/kota.
Perpanjang birokrasiWali Kota Surabaya Tri Rismaharini juga menilai, dengan kewenangan gubernur seperti yang diatur dalam RUU Pemda, hal itu justru menambah panjang birokrasi.
”Akan banyak program wali kota untuk membangun kota dan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang memilihnya tersendat karena terganjal proses birokrasi sebab harus melalui persetujuan gubernur,” kata Risma.
Sementara itu, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil menyetujui apabila gubernur mendapat kewenangan sebatas menentukan pencairan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke pemerintah kabupaten/kota. Kewenangan itu bisa menjadi instrumen pengawasan terhadap pembangunan yang dibiayai pemerintah pusat.
”Pada prinsipnya saya setuju karena kalau pemerintah kabupaten/kota terlalu bebas, program pemerintah pusat yang tidak berjalan lancar di daerah akan sulit dikontrol,” kata Ridwan.
Namun, Ridwan meminta kepada pemerintah provinsi agar tidak menggunakannya sebagai alat politik.
”Takutnya nanti pemerintah provinsi menahan sesuatu tidak pada tataran kewenangannya. Itu yang dikhawatirkan,” katanya.
Semangat yang baikDirektur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai, pemerintah memiliki ide dan semangat yang baik di dalam RUU Pemda.
Namun, sejumlah aturan di dalamnya dinilai terlalu berlebihan. Soal sanksi, menurut dia, tidak salah jika pemerintah ingin bersikap lebih tegas kepada daerah. Akan tetapi, adanya sanksi hingga pemberhentian tetap justru bisa dimanfaatkan menjadi pasal karet, tergantung dari kepentingan politik pemerintah pusat.
Begitu pula terkait pelimpahan sejumlah kewenangan dari pemerintah kabupaten/kota ke gubernur. Penyerahan kewenangan ke provinsi itu justru dapat menciptakan resentralisasi parsial yang merusak esensi otonomi daerah. (APA/ETA/HEI)
Kompas 23092014 Hal. 1