JAKARTA, KOMPAS — Pengesahan Undang-Undang Advokat perlu ditunda. Hal tersebut disebabkan substansinya hanya untuk menyelesaikan permasalahan internal organisasi dan bukan untuk pelayanan publik.Guru Besar Fakultas Hukum UI Hikmahanto Juwana, Senin (15/9), di Jakarta, mengatakan, pengusulan Rancangan Undang-Undang (RUU) Advokat dinilai tidak menyentuh permasalahan mendasar di lingkup Organisasi Advokat, yaitu perpecahan antarpengurus asosiasi.
Sesuai Pasal 18 UU No 18/2003 tentang Advokat, Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai ketentuan undang-undang, serta bertujuan meningkatkan kualitas advokat. Organisasi ini dibentuk dari delapan asosiasi advokat, yaitu Ikatan Advokat Indonesia, Asosiasi Advokat Indonesia, Ikatan Penasihat Hukum Indonesia, Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia, Serikat Pengacara Indonesia, Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia, Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal, dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia.
Namun, hingga sekarang, kedelapan asosiasi itu tidak melebur dan cenderung pecah. UU hanya mengatur, organisasi advokat dibentuk setelah dua tahun undang-undang berlaku. Perbedaan pendapat dan perpecahan antarpengurus asosiasi di pusat dan daerah sering terjadi. Hal tersebut, menurut Hikmahanto, juga terjadi di tingkat pengurus organisasi. ”Jadi, UU No 18/2003 belum mengatur sistem di dalam Organisasi Advokat secara jelas dan tepat,” ujarnya.
Sistem single bar yang diatur dalam undang-undang itu tidak berjalan. Dampak perbedaan pendapat dan perpecahan adalah asosiasi advokat banyak bermunculan (multibar).
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Miko Susanto Ginting menyampaikan, pemerintah dan DPR seharusnya mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dalam pembahasan RUU, terutama terkait sistem multibar dan single bar. Sisi positif sistem multibar mendorong akses publik lebih besar kepada advokat. Sisi negatifnya, pengawasan standar profesi dan etik sulit. Di dalam sistem single bar, pengawasan organisasi lebih mudah. Kesulitannya adalah mengakomodasi kebebasan berpendapat seluruh asosiasi.
Secara terpisah, Ketua Pusat Bantuan Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Rivai Kusumanegara mengatakan, pihaknya tetap menolak RUU Advokat. Terkait sistem multibar yang tercantum dalam draf RUU, dia menilai, sistem tersebut membuat organisasi advokat terpecah-pecah.
Sementara itu, pelindung Kongres Advokat Indonesia Adnan Buyung Nasution menuntut agar RUU Advokat segera disahkan. Dia menilai, Peradi—satu-satunya organisasi advokat yang diakui UU—belum mampu mengakomodasi kepentingan semua advokat. (A05)
Kompas 16092014 Hal. 5