Bisa Jadi Market Leader ASEAN: Perubahan Model Bisnis Garuda Perlu Didukung

garuda6
CENGKARENG – Pemerintah perlu mendukung Garuda Indonesia untuk mengubah model bisnis, mengikuti maskapai penerbangan besar dan sukses seperti Emirates, Etihad Airways, dan Qatar Airways. Ketiga airline Timur Tengah itu didukung pemerintah untuk mengelola bandara dan terminal yang memberikan profit hingga 30%. Sangat sulit bagi maskapai jika hanya mengandalkan margin tiket yang rata-rata cuma 2,46%.
Jika pemerintah mendukung perubahan mo­ del bisnisGaruda, pasar penerbangan Indonesia yang besar dapat dimanfaatkan sehingga flag carrierkitamenjadi market leaderdi Asean. Saat ini, market share Garuda di Asean baru sekitar 21%, di bawah Singapore Airlines Limited (SIA) yang luas negaranya lebihkecil dari DKI Jakarta. Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Emirsyah Satar mengatakan, maskapai Timur Tengah sebenarnya tidak mempunyai pasar yang besar, tapi bisamenarik penumpang Asia dan Eropa. Hal ini didukung layanan yang bagus dan terintegrasi, termasuk di bandara dan terminal yang dikelolanya. “Bandara Dubai yang dikelola Emirates itu bahkanmengeloladuty-free shop, yangmenjual cokelat dan alkohol yang bisa untung 30%. Padahal, penumpang transit di sini sekitar 50 juta setahun dan rata-rata minimal membe­ lanjakan US$ 100, sehingga total belanja bisa US$ 5 miliar,” kata Emirsyah Satar kepada Investor Daily di kantor Garuda, Cengkareng, Tangerang, Senin (15/9).
Jika maskapai Timur Tengah yang tidak besar pasarnya bisa sukses kare­ na didukung penuh pemerintahnya, Emirsyah optimistis Garuda juga sukses jika didukung Pemerintah Indonesia. Ia menegaskan, di industri penerbangan sebenarnya yang pen­ ting adalah memiliki pasar yang besar seperti Indonesia.
“Yang penting itu adalah memiliki pasar dan Indonesia memiliki pasar di depan mata. Tinggal pemerintah men­ dukung Garuda untuk mengembang­ kan bisnis, seperti mengelola bandara atau terminal, memperbesar jasa per­ awatan pesawat, danmengembangkan bisnis katering,” kata Emirsyah.
Sementara itu, pada kuartal I-2014, Emirates meraup pendapatan US$ 22,5 miliar dengan laba bersih sekitar US$ 1,1 miliar. Sedangkan sejumlah flag carrier di negara-negara Asean mer­ ugi, seperti Garuda sekitar US$ 163,9 juta, Malaysia Airlines US$ 137,8 juta, dan Singapore Airlines US$ 48,2 juta.
Dengan berkembangnya beberapa lini usaha pendukung industri pener­ bangan, lanjut Emirsyah, pendapatan Garuda dapat terdongkrak dan tidak lagi mengandalkan dari revenue aero­ nautika. Bahkan, pendapatan dari bisnis non-aeronautika nantinya bisa mencapai 60%, sedangkan dari sisi aeronautika sekitar 40%.
“Saat ini, margin maskapai jika ha­ nya mengandalkan penjualan tiket sa­ ngat tipis. Jadi, memang model bisnis Garuda harus diubah,” tandas dia.
Maskapai penerbangan di Eropa juga melakukan hal yang sama, se­ perti flag carrier Jerman, Luthfansa. Maskapai ini juga memiliki berbagai macam bisnis di luar penerbangan, di antaranya di sektor perawatan dan pemeliharaan pesawat serta usaha jasa katering.
Iamenjelaskan, Garuda sudahmulai mengarah ke perubahan model bisnis maskapai dengan mengembangkan anak usaha, seperti Aerofood. Aero­ food didorong masuk bisnis katering untuk perusahaan tambang maupun rumah sakit, tidak hanya untuk mas­ kapai. Oleh karena itu, produksinya akan ditingkatkan dua kali lipat, dari 40 ribumeals per hari menjadi 80 ribu meals per hari.
“Garuda Maintenance Facilities (GMF) juga tengah membangun hanggar keempat dan bakal menjadi hanggar terbesar di dunia untuk pe­ sawat narrow body. Ini nanti akan soft opening pada Oktober 2014,” ungkap Emirsyah.
Selain itu, Garuda Indonesia beren­ cana untukmengelola bandara sebagai upaya untuk meningkatkan pendapat­ an, dengan mengajukan proposal mi­ nat mengelola Bandara Labuan Bajo. Bandara ini merupakan satu dari 10 bandara yang ditawarkanKementerian Perhubungan kepada investor.
“Kami lebih memilih investasi ter­ minal dibandingkan di runway. Kalau mau di runway, sekalian saja dengan bandaranya,” tutur dia.
Perlu Dukungan Pemerintah
Selain perlumendapatkan dukungan pemerintah untuk mengelola bandara atau terminal, maskapai penerbang­ an nasional membutuhkan support untuk mengatasi berbagai kendala. Saat ini, pembangunan infrastruktur kalah cepat dibanding pertumbuhan penumpang di Indonesia yang pesat. Terbatasnya run way menyebabkan pesawat harus menunggu antre lama saat take off dan landing, sehingga memboroskan bahan bakar.
Berdasarkan data, fasilitas banda­ ra yang tidak memadai juga sering menyebabkan keterlambatan pe­ nerbangan. Masalah fasilitas bandara berkontribusi terbesar, yakni 6,02%, terhadap keterlambatan (delay) pe­ nerbangan Garuda Januari-Agustus 2014. Hal ini termasuk faktor yang di luar kontrol Garuda, selain cuaca (0,9%), dan lain-lain (0,11%). Sedang­ kan faktor yang dalam kendali Garuda adalah gangguan teknik (1,33%), operasi pe­nerbangan (0,68%), komuni­ kasi (0,53%), penanganan di terminal (0,39%), dan sistem (0,16%).
“Kami sebenarnya selalu berupaya menurunkandelay Garuda. Pada Ma­ ret-Agustus lalu, on time performance (OTP) penerbangan kami sudah ber­kisar 89,35-92,73%, di atas target sekitar 85%,” paparnya.
Penerbangan nasional juga diham­ bat permasalahan mahalnya harga avtur dibanding di negara lain seperti Singapura danMalaysia. Padahal, har­ ga avtur pesawat sudah melambung akibat depresiasi rupiah terhadap dolar AS yang mencapai 23%. Di Me­ dan dan Mamuju, Papua, harga avtur masing-masing bisa mencapai US$ 91,9 per liter dan US$ 100,19 per liter.
Pemerintah jugamasihmengenakan bea masuk suku cadang (spare part) pesawat, padahal di negara lain seperti di Malaysia dan Singapura bea masuk ditetapkan 0%. Sebenarnya pemerintah sudah membantu bea masuk suku cadang ini dengan memberikan sub­ sidi. Namun, langkah itu tak efektif karena subisidi baru bisa dicairkan pada akhir tahun.
Permasalahan lain adalah masih diberlakukannya batas tarif atas tiket pesawat. Menurut VP Corporate Communications Garuda Indonesia Pujo­ broto, seharusnya untuk rute yang su­ dah ada tiga maskapai yang melayani, batas tarif atas tersebut dihapus. Rute ini misalnya Jakarta-Surabaya, Jakar­ ta-Denpasar, dan Jakarta-Yogyakarta.
Emirsyah menjelaskan, industri penerbangan Indonesia tengah ber­ tumbuh pesat. Hal ini bisa dilihat dari meningkatnya jumlah penumpang pesawat dari 65 juta orang pada 2006 menjadi lebih dari 100 juta orang tahun ini. Tahun lalu, Garuda Indonesia telah menerbangkan sebanyak 25 juta penumpang, sedangkan tahun ini diharapkan dapat meningkat 6-8% dibandingkan tahun 2013.
“Pertumbuhan industri penerbang­ an itu bisa 1,5-2 kali pertumbuhan ekonomi. Jadi, jika pertumbuhan eko­ nomi kita 6%, industri ini bisa tumbuh 9-12%. Tapi sayangnya, maskapai kita sepertinya kurangmerasakanmanfaat yang optimal,” kata dia.
Untuk memperbaiki kinerja Garu­ da, lanjut dia, perseroan memiliki 12 strategi yang diterapkan manajemen dalammenyiasati kondisi penerbang­an yang kurang kondusif. Strategi itu di antaranya memperkuat rute do­mestik dan internasional, menutup dan men­ gurangi rute yang merugi, menunda rencana ekspansi internasional, dan memperkuat aliansi Sky Team.
Langkah lain adalah menyesuaikan kapasitas pesawat dengan pasar dengan mempertahankan pesawat berbadan besar (wide body), mem­ percepat phase out pesawat tua, dan menerapkan strategi pemasaran yang agresif. Saat ini Grup Garuda memiliki 149 pesawat, yang terdiri atas 120 armada yang digunakan oleh Garuda dan sisanya oleh anak usaha, Citilink Indonesia, sebanyak 29 pesawat.
“Hingga tahun 2030, saat Indonesia diperkirakan menjadi negara dengan ekonomi ketujuh terbesar di dunia, pesawat yang dibutuhkan Garuda setidaknya total mendekati 300 unit,” tambah dia.
garuda6a
Investor Daily, Selasa 16 September 2014, hal. 1

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.