JAKARTA, KOMPAS — Ekspor produk sawit saat ini didominasi oleh produk hilir yang bernilai tambah dengan perbandingan 30 persen produk hulu dan 70 persen produk hilir. Di sisi lain, sejumlah tantangan dihadapi dalam pengembangan industri pengolahan kelapa sawit di Indonesia.
”Ini menunjukkan kontribusi sektor industri pengolahan domestik dalam menciptakan daya saing produk ekspor dan struktur industri hulu-hilir yang lebih lengkap,” kata Menteri Perindustrian MS Hidayat, di Jakarta, Rabu (10/9).
Hidayat mengatakan hal itu pada Simposium dan Dialog Komoditas Kelapa Sawit yang digelar Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
Menurut Hidayat, berubahnya komposisi ekspor sawit yang kini didominasi produk hilir dalam kurun empat tahun terakhir merupakan akibat adanya penambahan sekitar 14 investasi.
”Ada yang baru. Ada pula perusahaan yang dulu tidak berjalan, tetapi kemudian optimal beroperasi setelah difasilitasi,” kata Hidayat.
Berdasarkan data Kemenperin, nilai ekspor produk pengolahan kelapa sawit tahun 2013 sebesar 20,6 miliar dollar AS. Nilai ekspor pada semester I-2014 sebesar 11,63 miliar dollar AS.
Ekspor minyak sawit dan produk turunannya rata-rata menyumbang sekitar 20 persen total nilai ekspor produk industri. ”Posisi ini menjadikan komoditas tersebut sebagai produk andalan ekspor nasional,” kata Hidayat.
Di sisi lain, Hidayat mengatakan, saat ini ada pula kebutuhan menyuplai minyak sawit mentah (CPO) ke pasar global. Indonesia kini merupakan pengekspor utama CPO.
”Hal itu tidak menjadi masalah karena bisa dilakukan ekspansi lahan. Kami menargetkan pada 2020 akan ada 20 juta hektar lahan sawit. Namun, ada tidaknya lahan itu yang sedang dibicarakan,” kata Hidayat.
Kendala hilirisasi
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Agribisnis dan Pangan Franky O Widjaja menegaskan pentingnya konsistensi kebijakan dan optimalisasi koordinasi, termasuk antara pemerintah pusat dan daerah.
Kadin menilai, perlu penciptaan iklim investasi yang kondusif, penyelesaian masalah tata ruang, perizinan, dan konflik agraria. Selain itu, penetapan satu peta yang terintegrasi dengan tata ruang nasional dan penerapan otoritas tunggal pengaturan lahan.
Dibutuhkan pula kebijakan konkret menyangkut percepatan program pewajiban biodiesel. Pemanfaatan CPO sebagai biodiesel diperkirakan mampu menghemat belanja negara di bidang energi hingga 2,43 miliar dollar AS melalui pengurangan impor solar.
Menteri Pertanian Suswono mengatakan, dipetakan ada sekitar 18 juta hektar lahan yang potensial untuk sawit. ”Adalah hal positif kalau lahan telantar atau marginal pun dapat dimanfaatkan,” ujarnya. (CAS)
Sumber: Kompas. 11 September 2014. hal: 19