Penerbitan Izin Halangi Program REDD+

PALANGKARAYA, KOMPAS — Penerbitan izin dari pemerintah daerah bagi perusahaan perkebunan sawit dan tambang di Kalimantan Tengah yang tidak transparan jadi salah satu kendala pelaksanaan program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Lahan atau REDD+. Hal itu harus diubah.
”REDD+ tak akan berjalan baik kalau penerbitan izin-izin itu tidak transparan. Izin itu terkait hak dan ada masyarakat tinggal di lokasi yang diberi izin itu. Itu akan menimbulkan konflik,” kata Deputi Bidang Operasional Badan Pengelola (BP) REDD+ William Palitondok Sabandar pada pertemuan Forum Koordinasi Pelaksanaan Kegiatan Lingkungan Hidup di Provinsi Kalimantan Tengah, Rabu (10/9), di Palangkaraya.
Saat terjadi konflik, kata William, REDD+ tak bisa dibicarakan, disosialisasikan, apalagi dijalankan. ”Tidak akan ada insentif atau investor yang masuk ke lokasi berkonflik. Itu persoalan paling mendasar dan kita harus bisa menyelesaikan tata kelola perizinan ini,” katanya.
Semua komponen, kata dia, baik pemerintah daerah, provinsi, maupun pusat harus transparan dalam memberikan konsesi supaya semua orang bisa melihat apakah izin itu sesuai tata ruang, sesuai pemanfaatan, dan tidak tumpang tindih.
Penataan izin
Saat ini, BP REDD+ masih menyiapkan sistem penataan perizinan nasional yang disebut satu informasi perizinan yang mengoordinasikan izin-izin yang sudah ada. ”Sistem ini terdiri dari informasi terpadu, penataan perizinan atau audit perizinan, dan tindak lanjut rekomendasi. Kami akan me-launching pada 16 September,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Provinsi Kalimantan Tengah Arie Rompas mengatakan, meski ada moratorium penerbitan izin, di Kalimantan Tengah pada 2012 terdapat 12 izin baru bagi perkebunan sawit. ”Tahun 2014 ini juga ada dua izin lokasi dan dua izin arahan lokasi bagi perkebunan sawit dikeluarkan Bupati Kapuas,” katanya.
Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang mengatakan, masih ada hal-hal yang perlu diperbaiki dalam penerbitan izin. ”Belum selesainya rencana tata ruang wilayah provinsi atau RTRWP juga jadi salah satu sebab munculnya berbagai masalah dalam penerbitan izin-izin. Pemerintah akan menertibkan izin- izin yang belum clean and clear,” katanya.
Penggunaan satelit
Di Jakarta, Rabu, BP REDD+ bekerja sama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) memanfaatkan
teknologi satelit jarak jauh untuk pemantauan deforestasi. Pihak Lapan juga akan menyediakan data pencitraan satelit yang bebas tutupan awan setiap 16 hari sekali, data tutupan lahan bulanan, dan pengindraan jarak jauh memantau titik api.
Sebelum menggandeng Lapan, BP REDD+ menggunakan materi, data, dan informasi tentang deforestasi dari lembaga asing, seperti Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) serta World Resources Institute. ”Data dari Lapan ini nantinya bisa membantu kami mempunyai data yang lebih baik,” kata Kepala BP REDD+ Heru Prasetyo.
Lebih jauh, ia berharap ada teknologi yang membantu mempelajari emisi karena selama ini pengetahuan tentang emisi masih terbatas. (DKA/A01)
Sumner: Kompas. 11 September 2014. hal: 13

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Recent Posts

Comments are closed.