JAKARTA, KOMPAS — Industri penerbangan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, dilanda tekanan berat hingga beberapa waktu ke depan. Tekanan ini dinilai sebagai bagian dari siklus industri penerbangan. Untuk membangkitkan kembali industri penerbangan di kawasan itu, diperkirakan butuh waktu satu tahun lebih.”Tahun lalu Asia Pasifik memiliki kinerja terbaik. Sekarang masih tumbuh, tetapi semua penerbangan sedang mengalami tekanan cukup berat karena ekonomi tumbuh tidak sesuai dengan ekspektasi, harga bahan bakar mahal, dan ditambah gempuran maskapai Timur Tengah. Maskapai ini benar-benar menaruh kapasitas banyak di Asia Pasifik. Perang tarif benar-benar terjadi,” kata Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk Emirsyah Satar kepada Kompas, di Jakarta, Kamis (4/9).
Meski demikian, Emirsyah melihat kondisi ini sebagai bagian dari siklus industri penerbangan. Berkebalikan dengan Asia Pasifik, ia mencontohkan pada tahun ini maskapai di kawasan Amerika sedang menangguk sukses.
Dua tahun lalu maskapai di kawasan itu babak belur. Namun, setelah sejumlah aksi korporasi, perbaikan arus kas, dan restrukturisasi, kondisi industri penerbangan di kawasan tersebut membaik. Meski demikian, pada suatu saat mereka akan menghadapi tantangan pembaruan pesawat karena umur pesawat mereka sudah tua.
”Untuk Asia Pasifik, saya memperkirakan dibutuhkan waktu 12-18 bulan agar industri ini kembali bergairah. Saya percaya industri penerbangan cukup adaptif terhadap kondisi eksternal. Sebagai contoh, pada 2008 ada yang memperkirakan, kalau harga minyak naik di atas 100 dollar AS per barrel, industri penerbangan akan bangkrut. Ternyata tidak bangkrut. Maskapai cukup cepat beradaptasi,” tutur Emirsyah.
Terkait dengan Garuda, Emirsyah mengatakan, Garuda juga menghadapi nilai tukar rupiah yang terdepresiasi hampir 23 persen secara tahunan. Pada saat seperti ini, maskapai tak boleh menaikkan batas atas. Adapun 50 persen pendapatan Garuda berupa rupiah, tetapi 75 persen pengeluaran berupa dollar AS.
Asosiasi Perusahaan Penerbangan Sipil Nasional Indonesia (INACA) meminta pemerintah lebih serius dalam komitmennya membantu industri penerbangan dalam negeri. ”Persoalan yang menimpa anggota INACA masih sangat banyak dan bisa mengganggu kelancaran operasional. Apabila pemerintah lebih berkomitmen untuk membantu kami, tentu akan menciptakan atmosfer yang lebih baik bagi industri penerbangan,” kata Ketua Umum INACA Arif Wibowo.
Sementara itu, Senior Manager Corporate Communication Sriwijaya Air Agus Soedjono mengatakan, salah satu kebijakan yang ditunggu maskapai adalah dikoreksinya batas atas tarif penerbangan. ”Selama ini karena tarif maksimal dibatasi, kami sulit bergerak untuk menaikkan harga. Padahal, biaya operasional semakin tinggi,” kata Agus.
Menanggapi hal itu, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perhubungan JA Barata mengatakan, sebenarnya pemerintah telah memberikan ruang bagi maskapai dengan mengizinkan pemberlakuan biaya tambahan (surcharge) avtur. ”Biaya ini cukup membantu. Namun, kami juga sedang mempertimbangkan untuk mengoreksi tarif,” katanya.(ARN/MAR)
Kompas 05092014 Hal. 1