JAKARTA – Pemerintah telah mengeluarkan empat regulasi ter kait jasa konstruksi nasional dalam menyongsong Masyarakat Eko nomi Asean (MEA) 2015. Keempat regulasi tersebut diharapkan da pat meningkatkan daya saing konstruksi nasional.
Regulasi itu antara lainmengenai pembagian subklasifikasi dan subkualifikasi usaha jasa konstruksi sebagai upaya penyelarasan dengan subklasifikasi yang berlaku secara internasional yakni Central Product Classification (CPC). Selanjutnya, regulasi yang berkaitan dengan standar remunerasi yang layak bagi tenaga ahli konstruksi;
Kemudian, aturan perizinan p e r w a k i l a n B a d a n U s a h a Jasa Konstr uksi Asing yang memberikan af firmative policy bagi pelaku usaha jasa konstruksi nasional, dan regulasi yang terkait dengan keinsinyuran dalam rangka memberikan jaminan bagi praktik keinsinyuran yang berasaskan profesionalisme dan bertanggung jawab serta meningkatkan daya saing insinyur Indonesia.
Menteri Pekerjaan Umum Djo ko Kirmanto mengungkapkan, kompetisi antara pelaku usaha jasa konstruksi di kawasan Asean seiring pemberlakuan MEA akan semakin ketat. Selain itu, persaingan antara profesi jasa konstruksi di kawasan ini juga akan semakin ketat. “Karena itu, aturan tersebut untuk meningkatkan daya saing konstruksi nasional,” ujar dia di Jakarta, Rabu (3/9).
Khusus yang terkait dengan liberalisasi jasa tenaga ahli kon struksi, sambung dia, diperlukan Mutual Recognition Arrangement (MRA) atau sertifikasi yang diakui di seluruh dunia pada bidang ke insinyuran dan arsitek. Namun hingga saat ini, Insinyur dan arsitek Indonesia yang telah mengikuti MRA terbilang masih sangat se dikit bila dibandingkan dengan negara lain di Asean.
“Untuk itu, saya inginmendorong para insinyur dan arsitek Indonesia agar mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan sertifikat itu. Dengan demikian, kesempatan untuk dapat bekerja di negara-negara di Asean akan semakin terbuka,” tandas dia.
Djoko menambahkan, pelaku usaha jasa konstruksi nasional yang berkualifikasi besar diharapkan dapat menjadi penguasa pasar jasa konstruksi di kawasan Asean. Dengan demikian, badan usaha kualifikasi menengah akan me miliki lebih banyak peluang untuk dapat berkembang di wilayah dalam negeri.
Di tempat yang sama, Kepala Badan Pembinaan Konstruksi He diyantoWHusainimengungkapkan, saat ini tenaga konstruksi yang me miliki sertifikasi MRA baru sekitar 100 orang dari 600.000 tenaga ahli. Jumlah ini masih sedikit jika dibandingkan dengan Singapura ataupun Malaysia. “Indonesia kan negara besar, harusnya bisa lebih banyak yang punya MRA,” ujar dia.
Keuntungan memiliki sertifikat ini, lanjut dia, akan memperoleh pendapatan lebih besar dibanding kan yang didapat di dalam negeri. Di samping itu, mereka membuka peluang kerja di luar negeri karena sudah diakui berdasarkan sertifikasi MRA tersebut. “Sertifikasi ini juga akan menjadi persyaratan untuk dapatmengikuti tender internasional yang akan diterapkan Oktober mendatang,” kata dia.
Sementara itu, Kepala Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) Tri Widjajanto mengakui jumlah tenaga ahli di Indonesiamasihminim. Kendalanya adalah belum ada keinginan dari pelaku jasa konstruksi untuk me lakukan sertifikasi. “Tapi kami punya program akselerasi untuk mempercepat, sehingga pada saat nantiMEAdiberlakukandiharapkan sudah memadai,” kata dia.
Tender Internasional
Sebelumnya, pemerintah juga siapmenerapkan tender berstandar internasional mulai Oktober 2014 sebagai persiapan menyongsong era MEA 2015. Oleh karena itu, pe merintah meminta seluruh badan usaha jasa konstruksi (BUJK) me menuhi persyaratan dalam proses tender tersebut.
Hediyanto W Husaini meng ungkapkan, tender berstandar internasional diperlukan guna mengedukasi BUJK sebelum di terapkannya MEA 2015. “Jangan sampai tidak pernah ikut ten der internasional, sehingga ke mampuan kita diragukan,” kata Hediyanto belum lama ini.
Dia menjamin, pelaksanaan tender internasional ini tidak akan mengganggu proses lelang. Namun begitu, ada sedikit perubahan kla sifikasi danpersyaratan, di antaranya mengenai sertifikasi keahlian kerja (SKA) yang harus dikonversi ke bentuk yang baru. Standar kompetensi tenaga ahli tersebut akan mengacu pada central product classification (CPC) sebagai lan dasannyadari sebelumnyaklasifikasi baku lapangan industri (KBLI).
Untuk bisa mengikuti tender internasional, lanjut dia, BUJK diminta mengonversi sertifikasi keahlian kerja (SKA) yang lama dengan yang baru di Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) di tiap provinsi. Sedangkan biaya yang dikeluarkan hanya berkisar Rp 10.000-50.000 untuk mengisi formulir baru. “Konversi ini juga butuh satu hingga dua jam saja, atau selambat-lambatnya sehari,” tutur Hediyanto. (ean)
Investor Daily, Kamis 4 September 2014, hal. 6