JAKARTA – Agar menjadi flag carrier yang tangguh dan berdaya saing tinggi, PT Garuda Indonesia Tbk sebaiknya diberi hak istimewa (privilege) untuk mengelola sendiri bandara. Saat ini, bandara di dalam negeri sangat terbatas, baik dari segi jumlah, kapasitas, maupun fasilitas. Akibatnya, maskapai penerbangan nasional harusmengeluarkan biaya ekstra dan tak mampu memberikan pelayanan yang optimal.
Indonesia bisa mencontoh pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) yang mendukung habishabisan maskapai penerbangan nasionalnya, Etihad Airways, untuk menjadi maskapai terkemuka, di antaranya dengan memberikan hak untuk mengelola sendiri bandaranya di Abu Dhabi.
Pengamat penerbangan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Arista Atmadjati mengungkapkan, jika diberi hak mengelola sendiri bandara, Garuda dapat meningkatkan kualitas layanan seperti maskapai-maskapai penerbangan global lainnya. “Sepanjang demi kepentingan nasional, itu bisa saja dilakukan,” kata Arista kepada Investor Daily di Jakarta, Rabu (3/9).
Menurut Arista, pengelolaan bandara oleh maskapai penerbangan yang menjadi flag carrier bisa menjadi role model pengembangan industri penerbangan nasional ke depan. “Saya kira kebijakan pemerintah menunjuk Garuda mengelola bandara sendiri dapat dilakukan demi kepentingan yang lebih besar,” ujar Arista.
Sementara itu, Direktur Utama Garuda Emirsyah Satar yang dihubungi Investor Daily secara terpisah, mengakui, pihaknya sudah lama berkeinginan mengelola sendiri bandara atau terminal di bandara demi efisiensi layanan.
“Kami bahkan sedang mengkaji kemungkinan pengelolaan bandara oleh perseroan. Kalau tidak bisa seluruh bandara, mungkin ada Oleh Laila Ramdhini satu terminal yang bisa kami kelola di bandara komersial,” tutur dia.
Emirsyah menjelaskan, pelayanan bandara yang ada selama ini tidak maksimal sehingga biaya yang dikeluarkan maskapai dan penumpang tidak efisien. “Di beberapa negara sudah ada maskapai yang pegang sendiri bandara, misalnya Etihad. Kami berharap Indonesia juga bisa seperti itu,” ujar dia.
Pengelolaan sendiri bandara oleh maskapai nasional, kata Emirsyah, bukan semata dilihat dari aspek bisnis, namun juga pelayanan kepada penumpang. “Kalau kontribusi ke pendapatan dan laba pasti ada, tapi masih kami kaji. Yang jelas, kami fokus untuk efisiensi pelayanan,” tandas dia.
Emir juga mengemukakan, Garuda pun sedangmelirik tender 10 bandara nonkomersial (Unit Pelayanan Terpadu/UPT) yang dilepas Kemente rian Perhubungan (Kemenhub). Bandara yang paling diminati
Garuda antara lain Labuan Bajo, Flores (NTT). “Dengan mengelola bandara di daerah terpencil, Garuda bisamemperluas bisnis dan membuka akses bagi masyarakat,” tandas dia. Garuda, menurut Emir, akan menambah fokus ke penerbangan perintis tahun ini dengan mengoperasikan pesawat jenis Bombardier CRJ 1000 dan ATR 72-600 dengan memakai brandExplore dan Jet Explore.
Direktur Kebandarudaraan Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub Bambang Tjahjono kepada Investor Daily mengatakan, maskapai penerbang an memiliki hak untuk mengelola bandara komersial jika sudah memenuhi syarat. Sesuai UUNo 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, badan usaha milik swasta atau pemerintah berhakmengelola bandara,” ucap dia.
Bambang menambahkan, jika ingin mengelola sebuah bandara, hal pertama yang perlu dilakukan adalah membentuk badan usaha dengan SDM yang memenuhi kualifikasi. Soalnya, untuk menjalankan bisnis bandara dibutuhkan tenaga ahli di bidangnya.
“Jika Garuda ingin mengelola satu terminal di bandara komersial yang dikelola Angkasa Pura, perjanjian harus dibuat kedua belah pihak,” tutur dia.
Meski demikian, menurut Bambang Tjahjono, Garuda harus melakukan kajian, baik dari segi teknis maupun bisnis, untuk mengelola bandara. Pasalnya, bisnis ini berbeda dengan fokus bisnis yang dijalankan Garuda saat ini.
“Garuda harus melakukan kajian dulu. Untuk mengelola satu bandara full, secara bisnis belum tentu meng untungkan, karena banyak investasi yang harus dikeluarkan, seperti pera watan runway, taxi way, dan fasilitas lainnya. Namun untuk mengelola satu terminal saja mungkin bisa lebih efisien,” papar dia.
Namun, Bambang tidak merinci, apakah mungkin pemerintah memberikan insentif, fasilitas, atau hak istimewa kepada Garuda dalam mengelola bandara atau terminal.
Kalangan pelaku industri penerbangan belakangan ini gencar meminta pemerintah segera menyelamatkan industri penerbangan nasional. Menurut mereka, tekanan yang dialami maskapai bukan hanya berasal dari kondisi perekonomian yang tidak kondusif, tapi juga akibat kurangnya regulasi pendukung. Regulasi yang dibutuhkan di antaranya penaikan tarif, insentif impor suku cadang pesawat, penurunan harga avtur, dan peningkatan kualitas layanan bandara.
Sejumlah maskapai domestik telah gulung tikar sejak beberapa tahun silam, yakni Star Air (2008), Linus Airways (2009), Adam Air (2008), Jatayu (2008), dan Batavia Air (2013). Itu belum termasuk masakapai yang menghentikan kegiatan operasi, yaitu Merpati Nusantara Airlines (setop operasi sejak 1 Februari 2014), Tiger Mandala (setop operasi sejak 1 Juli 2014), dan Sky Aviation (menutup operasi mulai 1 Maret 2014). Sedangkan Indonesia Air Asia mengurangi penerbangan sejak akhir tahun lalu.
Menurut Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Arif Wibowo, penyelamatan industri penerbabangan nasional perlu segera dilakukan mengingat Indonesia tak lama lagi memasuki era Asean Open Sky(liberalisasi penerbangan Asean) yang dimulai tahun depan. “Jika masakapai nasional tidak siap, pasar penerbangan domestik bisa diambil alih masakapai negara-negara tetangga,” ujar dia.
Dia mengungkapkan, maskapai penerbangan nasional saat ini dalam kondisi terjepit. Akibat depresiasi rupiah dan kenaikan harga minyak mentah, harga avtur dan biaya perawat an pesawat melonjak, padahal sebagian besar pendapatan mereka dalam bentuk rupiah. Mereka juga harus menanggung beban akibat terbatasnya kapasitas bandara yang menyebabkan pesawat parkir lama dan antre saat tinggal landas atau mendarat.
Ironisnya, kata Arif, usulan penaik an tarif batas atas penerbangan belum juga disetujui pemerintah. “Jadi, di satu sisi kami terkena imbas kondisi ekonomi yang tidak kondusif akibat krisis ekonomi global, di sisi lain kami ditekan oleh tarif yang tak naik,” ujar dia.
Arif Wibowo menjelaskan, dalam setahun terakhir, nilai tukar rupiah terdepresiasi sekitar 23% terhadap dolar AS. Akibatnya, beban maskapai semakin berat karena mereka ha rus membeli avtur yang mengacu pada fluktuasi dolar AS. Begitu pula biaya perawatan dan pembelian suku cadang, termasuk biaya parkir di bandara (avron).
Selain itu, akibat terbatasnya kapasitas bandara-bandara utama, maskapai harus ‘membuang’ avtur lebih banyak karena mereka harus berputar-putar selama berjam-jam untuk bisa mendarat di bandara. “Begitu pun saat mau tinggal landas,” tandas dia.
Menurut Arif, harga avtur di dalam negeri lebih mahal ketimbang harga avtur di luar negeri. Di dalam negeri, harga avtur rata-rata US$ 76 per liter, sedangkan di dalam negeri sekitar US$ 87 per liter, bahkan di Medan dan Mamuju masing-masing US$ 91,9 dan US$ 100,19 per liter.
Ketua Indonesia Aircraft Maintenance Shop Association (IAMSA) Richard Budihadianto mengatakan, bea masuk (BM) suku cadang pesawat terbang juga sangat memberatkan industri perawatan pesawat. Bisnis ini sulit mendapatkan pasar di dalam negeri maupun di luar.
“Maskapai nasional banyak yang melakukan perawatan pesawat di luar negeri karena keterbatasan komponen yang diproduksi di Indonesia,” kata dia. (ac/az)
Investor Daily, Kamis 4 September 2014, hal. 1