JAKARTA,KOMPAS — Walaupun kerahasiaan negara adalah hal yang harus diatur, Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara diharapkan tidak menghambat transparansi yang menjadi salah satu semangat demokrasi. Masa kerja anggota DPR 2009-2014 yang kurang dari sebulan diharapkan tidak digunakan untuk membahas undang-undang yang berimplikasi strategis bagi masyarakat, seperti RUU Rahasia Negara.
Hal tersebut disampaikan beberapa pegiat lembaga swadaya masyarakat dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di Komisi I DPR, Selasa (2/9). Al Araf dari Imparsial mengatakan, dipahami pentingnya UU yang mengatur rahasia negara. Namun, dia menggarisbawahi UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang memiliki dasar keterbukaan dan transparansi negara pada rakyatnya. UU KIP memberikan 17 pasal pengecualian terhadap hal-hal yang dikategorikan rahasia negara. Karena itu, pembahasan RUU Rahasia Negara tidak mendesak, apalagi waktunya pendek.
Al Araf mengatakan, secara internasional pun sudah ada komitmen transparansi dalam bidang-bidang pertahanan negara. Perserikatan Bangsa-Bangsa mencanangkan hal ini dengan menekankan non-provocative defense. Konsekuensinya, ada beberapa tingkat transparansi, seperti buku putih pertahanan dan belanja militer untuk senjata-senjata tertentu.
Irisan kepentinganSementara pengamat militer Mufti Makarim mengatakan, ada irisan kepentingan antara rezim keterbukaan informasi publik di dalam UU KIP dan rezim pertahanan keamanan di dalam RUU Rahasia Negara. Ia
menggarisbawahi, jangan sampai RUU Rahasia Negara menghilangkan hak publik. Kalaupun kemudian ada informasi yang dikategorikan strategis sehingga harus rahasia, harus jelas apa kriterianya.
Menurut Mufti, yang masuk kategori rahasia adalah produknya, bukan sumbernya. Misalnya, seorang intelijen bisa mendapatkan informasi dari mana saja, sumber terbuka luas. Namun, saat sudah ada analisis intelijen yang dibuat untuk negara, analisis ini yang harus rahasia. ”Harus dipertegas apakah negara sama dengan pemerintah?” katanya.
Indriaswati D Saptaningrum dari ELSAM mengatakan, harus dibuat konsep jelas soal kedaulatan, terutama dalam konteks dunia yang hilang batas-batasnya karena internet dan teknologi informasi.
Sementara Krisbiantoro dari Kontras meminta klasifikasi rahasia negara tidak dilakukan pada hal-hal terkait kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. (EDN)
Kompas 03092014 Hal. 3
Hal tersebut disampaikan beberapa pegiat lembaga swadaya masyarakat dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di Komisi I DPR, Selasa (2/9). Al Araf dari Imparsial mengatakan, dipahami pentingnya UU yang mengatur rahasia negara. Namun, dia menggarisbawahi UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang memiliki dasar keterbukaan dan transparansi negara pada rakyatnya. UU KIP memberikan 17 pasal pengecualian terhadap hal-hal yang dikategorikan rahasia negara. Karena itu, pembahasan RUU Rahasia Negara tidak mendesak, apalagi waktunya pendek.
Al Araf mengatakan, secara internasional pun sudah ada komitmen transparansi dalam bidang-bidang pertahanan negara. Perserikatan Bangsa-Bangsa mencanangkan hal ini dengan menekankan non-provocative defense. Konsekuensinya, ada beberapa tingkat transparansi, seperti buku putih pertahanan dan belanja militer untuk senjata-senjata tertentu.
Irisan kepentinganSementara pengamat militer Mufti Makarim mengatakan, ada irisan kepentingan antara rezim keterbukaan informasi publik di dalam UU KIP dan rezim pertahanan keamanan di dalam RUU Rahasia Negara. Ia
menggarisbawahi, jangan sampai RUU Rahasia Negara menghilangkan hak publik. Kalaupun kemudian ada informasi yang dikategorikan strategis sehingga harus rahasia, harus jelas apa kriterianya.
Menurut Mufti, yang masuk kategori rahasia adalah produknya, bukan sumbernya. Misalnya, seorang intelijen bisa mendapatkan informasi dari mana saja, sumber terbuka luas. Namun, saat sudah ada analisis intelijen yang dibuat untuk negara, analisis ini yang harus rahasia. ”Harus dipertegas apakah negara sama dengan pemerintah?” katanya.
Indriaswati D Saptaningrum dari ELSAM mengatakan, harus dibuat konsep jelas soal kedaulatan, terutama dalam konteks dunia yang hilang batas-batasnya karena internet dan teknologi informasi.
Sementara Krisbiantoro dari Kontras meminta klasifikasi rahasia negara tidak dilakukan pada hal-hal terkait kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. (EDN)
Kompas 03092014 Hal. 3