Regulasi Hambat Industri Penerbangan

JAKARTA – Pemerintah diminta segera menyelamatkan industri penerbangan nasional. Tekanan yang dialami maskapai penerbangan bukan hanya berasal dari kondisi perekonomian yang tidak kondusif, tapi juga akibat kurangnya regulasi pendukung. Regulasi yang dibutuhkan di antaranya penaikan tarif, insentif impor suku cadang pesawat, penurunan harga avtur, dan peningkatan kualitas layanan bandara. Jika pemerintah tidak membantu, maskapai dikhawatirkan kian terpukul, bahkan semakin banyak yang tumbang
Sejumlah maskapai domestik telah gulung tikar sejak beberapa tahun silam, yakni Star Air (2008), Linus Airways (2009), Adam Air (2008), Jatayu (2008), dan Batavia Air (2013). Itu belum termasuk maskapai yang menghentikan kegiatan operasi, yaitu Merpati Nusantara Airlines (setop operasi sejak 1 Februari 2014), Tiger Mandala (setop operasi sejak 1 Juli 2014), dan Sky Aviation (menutup operasi mulai 1 Maret 2014). Sedangkan Indonesia Air Asia mengurangi penerbangan sejak akhir tahun lalu.
Penyelamatan industri penerbangan nasional perlu segera dilakukan mengingat Indonesia tak lama lagi memasuki era Asean Open Sky (kebijakan langit terbuka atau liberalisasi penerbangan Asean) yang dimulai tahun depan. Jika maskapai nasional tidak siap, pasar penerbangan domestik bisa diambil alih maskapai negara-negara tetangga.
Hal itu terungkap dalalammedia visit Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk Emirsyah Satar ke redaksi Investor Dailydi Jakarta, Senin (1/9). Emirsyah didampingi Direktur Utama Citilink MArif Wibowo, Direktur Utama GMF AeroAsia Richard Budihadianto, Direktur Utama Aerowisata Alex Maneklaran, dan Direktur Keuangan Garuda Indonesia Handrito Hardjono.
Lainnya adalah Direktur Operasi Garuda NoviantoHerupratomo, EVP Strategy Business Development &RiskManagement Garuda Judi Rifajantoro, Direktur SDMdan UmumGaruda Heriyanto Agung Putra, Direktur Layanan Garuda Faik Fahmi, Direktur Teknik dan Pe­ ngelolaan Armada Garuda Batara Silaban, serta Direktur Keuangan Citilink Albert Burhan.
Kondisi Terjepit
Menurut Emirsyah Satar, maskapai penerbangan nasional saat ini dalam kondisi terjepit. Akibat depresiasi rupiah dan kenaikan harga minyak mentah, harga avtur dan biaya perawatan pesawat melonjak, padahal sebagian besar pendapatan mereka dalam bentuk rupiah. Mereka juga harus menanggung beban akibat terbatasnya kapasitas bandara yang menyebabkan pesawat parkir lama dan antre saat tinggal landas atau mendarat.
“Celakanya, usulanpenaikan tarif batas atas tak juga disetujui pemerintah. Jadi, dari bawah kami terkena imbas kondisi ekonomi yang tidak kondusif akibat krisis ekonomi global, dari atas kami ditekan oleh regulasi pemerintah yang tak boleh menaikkan tarif. Kami terjepit,” ujar Emirsyah.
Dia mengakui, krisis ekonomi global telah memukul industri penerbangan dunia. Singapura Airlines pada kuartal I-2014 membukukan kerugian operasional US$ 48,2 juta, melonjak dibanding kerugian operasional US$ 35,2 juta pada periode sama 2013. Di sisi lain, Malaysia Airline System Bhd (MAS) merugi US$ 140 juta pada kuartal I-2014. Sampai akhir tahun, MAS diprediksi rugi US$ 620 juta.
Tahun ini, Qantas juga digerogoti kerugian US$ 2,84 miliar (per Juni 2014). Pada periode sama, Virgin Australia merugi US$ 334 juta. Kerugian bahkan dialami maskapai-maskapai penerbangan nasional, termasuk Garuda Indonesia. “Meski berhasil mencatatkan pendapatan operasi US$ 1,73 miliar atau naik 0,7%, kami membukukan kerugian US$ 211,7 juta pada semester I-2014,” tutur dia.
Meski demikian, kata Emirsyah, tekanan yang dialami maskapai-maskapai penerbangan nasional agak berbeda dengan tekanan yang diderita maskapai negara lain.
“Kondisi industri penerbangan nasional seper ti anomali. Jumlah penumpangnya terus meningkat, tapi maskapainya merugi,” ujar dia.
Emirsyah menjelaskan, meski melambat, perekonomian nasional tahun ini masih bisa tumbuh sekitar 5,3%. Itu sebabnya, di tengah lesunya perekonomian, jumlah penumpang udara masih bisa bertumbuh, meski tak sekencang sewaktu kondisi ekonomi normal.
“Makanya kami bertanya-tanya, kenapa Kementerian Perhubungan belummenyetujui penaikan tarif batas atas penerbangan. Kalau alasannya daya beli dan inflasi, penumpang udara kan masyarakat menengah ke atas. Kontribusi tarif pesawat terhadap inflasi juga relatif kecil,” papar dia.
Emirsyah mencontohkan, dalam setahun terakhir, nilai tukar rupiah terdepresiasi sekitar 23% terhadap dolar AS. Akibatnya, beban maskapai semakin berat karena mereka harus membeli avtur yang mengacu pada fluktuasi dolar AS. Begitu pula biaya perawatan dan pembelian suku cadang, termasuk biaya parkir di bandara (avron).
“Selain itu, akibat terbatasnya ka­ pasitas bandara-bandara utama, maskapai harus ‘membuang’ avtur lebih banyak karena mereka harus berputar-putar selama berjam-jamuntuk bisa mendarat di bandara. Begitu pun saat mau tinggal landas,” ucap dia.
Emirsyah Satar mengungkapkan, harga avtur di dalam negeri lebih mahal ketimbang harga avtur di luar negeri. Di dalam negeri, harga avtur rata-rata US$ 76 per liter, sedangkan di dalam negeri sekitar US$ 87 per liter, bahkan di Medan dan Mamuju masing-masing US$ 91,9 dan US$ 100,19 per liter. “Garuda saja harus mengeluarkan biaya tambahan sekitar US$ 30 juta per tahun karena kami mengonsumsi 1,3 miliar liter untuk seluruh armada,” tegas dia.
Jika kondisi itu terus berlangsung, menurut dia, maskapai domestik akan sulit bersaing saat Asean Open Sky diberlakukan mulai tahun depan. “Masakapai negara tetangga akan lebih kompetitif karena bisa memperoleh avtur dengan harga lebihmurah,” tutur dia.
Padahal, kataEmirsyah, potensi pasar penerbangan domestik sangat besar karena Indonesia merupakan negara terluas di Asean dengan jumlah penduduk terbanyak. “Ke depan, kami juga berharap pemerintah tidak asalmembuka pasar bagi maskapai negara-negara tetangga. Open skybukanberarti dibuka semua. Tetap harus equal treatment dengan pasar mereka,” ucap dia.
12 Strategi
Emirsyah Satar mengemukakan, setidaknya ada 12 strategi yang diterapkan manajemen Garuda dalam menyiasati kondisi perekonomian yang kurang kondusif. Strategi itu di antaranya memperkuat rute domestik dan internasional, menutup dan me­ ngurangi rute yang merugi, menunda rencana ekspansi internasional, dan memperkuat aliansi sky team.
Langkah lainnya adalah menyesuaikan kapasitas pesawat dengan pasar dengan mempertahankan pesawat berbadan besar (wide body), mempercepat phase out pesawat tua, dan menerapkan strategi pemasaran yang agresif. “Garuda juga akan mengoptimalkan pelayanan, meningkatkan produktivitas, menjaga komitmen sebagai maskapai full service, serta menjalankan bisnis secara berkesinam­ bung­an,” tandas dia.
Menurut Direktur Utama CitilinkM Arif Wibowo, menurunnya pendapatan maskapai penerbangan disebabkan empat hal, yakni kondisi ekonomi makro yang tidak menentu, lemahnya regulasi, buruknya infrastruktur, dan banyaknya pungutan biaya. Kecuali itu, kata Arif, regulasi pemerintah cenderung tidak memihak maskapai, misalnya tarif batas atas yang sangat rendah, pengenaan BM suku cadang yang tinggi, dan avtur yang mahal.
“INACA telah mengusulkan revisi penaikan tarif batas atas sejak tahun lalu, namun hingga saat ini belum ada keputusan yang tegas dari pemerintah,” tandas Arif yang juga ketua umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA).
Dia menjelaskan, dalam ketentuan tarif penerbangan yang diatur keputusan menteri perhubungan disebutkan bahwa jika nilai tukar sudah di atas Rp 10.000 per dolar AS, tarif harus dinaikkan. “Sekarang rupiah sudah Rp 12.000 per dolar AS, tapi tarif masih ditahan,” kata dia.
Arif menambahkan, pemerintah masih memberlakukan BM suku cadang untuk pesawat. “Di nega­ra lain, BM-nya 0%, tapi di Indonesia mencapai 7-8%,” kata Arif.
Arif juga mengemukakan, PT Pertamina mematok harga avtur sangat tinggi, terutama di beberapa bandara seperti Makassar. Selain itu, Perta­ mina memasukkan komponen harga yang tidak diperlukan, seperti fee BPH Migas sebesar 0,3%. “Padahal avtur diatur oleh Kementerian BUMN, bukan di bawah BPHMigas,” ujar dia.
Dari segi infrastuktur, Arif mengatakan, pengembangan bandara yang lamban mengakibatkan maskapai tidak bisa melakukan efisiensi biaya. Di Bandara Soekarno-Hatta, misalnya, pembangunan taxi way belum juga rampung sehingga pesawat membutuhkan waktu lebih lama untuk lepas landas (take off) dan menghabiskan banyak bahan bakar. Kapasitas bandara yang tidak segera ditingkatkan juga mengakibatkan pemerintahmembatasi slot penerbangan.
“Dari kelas low cost, yang bisa bertahan hanya maskapai dengan pertumbuhan cepat. Citilink bisa tumbuh karena induk perusahaannya, yaitu Garuda Indonesia, mampu memperta­hankan pertumbuhan,” ujar dia.
Direktur Utama GMF Aeroasia Richard Budihadianto mengatakan, BM suku cadang juga sangat memberatkan industri perawatan pesawat. Bisnis ini sulit mendapatkan pasar di dalam negeri maupun di luar. “Belum apa-apa, customer dari luar sudah harus dibebani biayaspare part 5%. Spare part berkontribusi 60% terhadap biaya maintenance,” tutur dia.
Menurut dia, maskapai nasional banyak yang melakukan perawatan pesawat di luar negeri karena keterbatasan komponen yang diproduksi di Indonesia. “Seluruh maskapai kita mengeluarkan US$ 900 juta per tahun untuk perawatan pesawat. Yang bisa kami serap hanya 30%,” kata dia.
Untuk itu, Richard selaku ketua Indonesia Aircraft Maintenance Shop Association (IAMSA) sudahmengusulkan pembentukanaerospace parksejak dua tahun lalu. Area ini memungkinkan kegiatan perawatan pesawat terbang. “Tapi ini juga belummendapat dukung­ an dari pemerintah,” tutur dia.
Optimistis Membaik
Emirsyah Satar tetap optimistis kinerja keuangan Garuda membaik pada semester II-2014 sejalan masuknya masa puncak (peak season) jasa layanan penerbangan, termasuk angkutan haji dan liburan.
Diamengungkapkan, penurunan kinerja keuangan Garuda pada semester I-2014 setidaknya dipicu tiga hal, yakni terlalu dalamnya depresiasi rupiah, adanya masa sepi (low season), serta investasi besar-besaran yang harus dikeluarkan maskapai pelat merah tersebut. “Itu di luar faktor regulasi,” kata dia.
Menurut Emirsyah, kendati berhasil meraih pendapatan operasi US$ 1.738,4 juta, atau naik tipis 0,7%, Garuda membukukan kerugian sebesar US$ 211,7 juta pada semester I-2014. “Tapi kondisi Juni dan Juli sudah membaik,” ujar dia. Tahun ini, kata dia, Garuda berinvestasi cukup besar sehingga berpe­ ngaruh pada laporan keuangan.
Tahun ini manajemen Garuda memutuskan berinvestasi untuk pembelian pesawat dan pembukaan rute.
“Karena industrinya tumbuh terus, Garuda harus bergerak. Kalau tidak melakukan itu, kami akan kehilangan market share,” tutur dia.
Direktur Keuangan Garuda Handrito Harjito menambahkan, depresiasi rupiah sangat merugikan perusahaan. Setiap penurunan nilai tukar rupiah sebesar Rp 100 terhadap dolar AS berdampak pada penurunan operating profit sekitar US$ 10 – 12 juta. (hg/tm)
garuda11
Investor Daily, 2 September 2014, hal. 1.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.