JAKARTA – Bank perkreditan rakyat (BPR) memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, BPR harus diberikan kesempatan ekspansi yang besar, misalnya dengan mengubah loan to deposit ratio(LDR) menjadi loan to funding ratio (LFR).
Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) Ryan Kiryanto menjelaskan, akan lebih baik kalau LDR diubah menjadi loan to funding ratio (LFR). Pasalnya, ujar dia, dengan LDR justru membuat perebutan dana pihak ketiga (DPK) dan funding antar-BPR semakin besar. “Kalau diubah menjadi LFR, bank akan punya kesempatan ekspansif yang lebih besar. Nanti likuiditas juga akan menjadi lebih longgar,” ujar dia di Jakarta akhir pekan lalu.
Dengan adanya kesempatan ekspansi itu, jelas Ryan, BPR juga dapat memberikan kemudahan akses terhadap pelaku usaha menengah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), sehingga ekonomi berdikari akan terwujud.
Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Joko Suyanto mengatakan, pelaku UMKM di Indonesia umumnya menggunakan bahan lokal untuk memproduksi. “Jadi, jelas keberadaan BPR itu, sejalan dengan semangat substitusi impor. Karena BPR memberdayakan sumber daya alam lokal sebagai prinsip,” ujar dia.
Ryan menambahkan, BPR akan bertumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Pasalnya, BPR memiliki keunikan dan tidak akan terganggu sekalipun misalnya suku bunga The Fed naik hingga 100 basis poin (bps) pada 2015.
Hanya saja, jelas Ryan, BPR perlu melakukan modernisasi untuk terus berkembang. Modernisasi tersebut antara lain pengembangan core banking, meningkatkan kegiatan permodalan, dan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Aspek hubungan pemerintah dan BPR yang baik dan comparative advantadge yang membuat bank tersebut dekat dengan nasabah maupun masyarakat. “BPR juga perlu memiliki infrastruktur informasi teknologi yang baik,” kata dia.
Selain itu, Ryan berpendapat, tabungan, investasi, dan sektor eceran di masa mendatang berprospek di kota-kota baru. “Pasalnya, saat ini sedang tren pemekaran daerah,” ujar dia.
Ryan juga mempredisi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2010-20130 tidak akan lagi berpusat di wilayah DKI Jakarta. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi akan berada di luar pulau Jawa, seperti Pulau Sulawesi.
NPL Naik
Joko juga mengatakan, BPR ingin terus tumbuh dan rasio non performing loan (NPL) akhir tahun 2014 diharapkan dapat di bawah 5%. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mei 2014, NPL BPR mencapai 5,17%, meningkat 1,57% dibandingkan periode sama pada tahun 2013 yang di level 5,09%.
Secara nominal, NPL BPR per Mei 2014 sebesar Rp 3,32 triliun, tumbuh 18,57% dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai Rp 2,80 triliun. Joko menjelaskan, terdapat dua cara untuk menurunkan NPL tersebut. ”Pertama, dengan analisa kredit yang lebih tajamdanmemberikanmonitoring(pengawasan) kredit yang ketat,” jelas dia.
Data OJK memaparkan, kredit yang disalurkan BPR mencapai Rp 64,21 triliun pada Mei 2014, tumbuh 16,70% dibandingkan periode sama pada tahun 2013 yang sebesar Rp 55,02 triliun. Dana pihak ketiga (DPK) BPR per Mei lalu sebesar Rp 52,22 triliun, tumbuh 13,18% dibandingkan periode sama tahun 2013 yang sebesar Rp 46,14 triliun. Sementara deposito mencapai Rp 35,33 triliun pada Mei 2014, tumbuh 13,71% dibandingkan periode sama pada tahun 2013 yang sebesar Rp 31,07 triliun.
Laba rugi tahun berjalan BPR sebesar Rp 1,12 triliun per Mei 2014, turun 0,88% dibandingkan periode sama pada tahun lalu yang mencapai Rp 1,13 triliun. Kemudian loan to deposit ratio (LDR) BPR pada Mei lalu sebesar 85,37%, tumbuh 2,18% dibandingkan periode sama tahun 2013 yang sebesar 83,55%. Return on assets (ROA) BPR mencapai Rp 3,37%, turun 12,92% dibandingkan periode sama tahun lalu. Sementara itu, BPR mencatatkan return on equity (ROE) sebesar Rp 30,74% pada Mei lalu, turun 14,42% dibandingkan periode sama tahun 2013 yang sebesar 35,92%. (c01)
Investor Daily, Senin 1 September 2014, hal. 22