Kebijakan PPN 10% Ancam Petani Perkebunan

JAKARTA – Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan bahwa kebijakan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% yang mengacu pada putusan Mahkamah Agung (MA) No 70P/ HUM/2014 tentang pembatalan sebagian PP No 31 Tahun 2007 hanya akan berimbas signifikan kepada petani perkebunan. Saat ini, Kementan terus melakukan koordinasi internal guna membantu mencarikan solusi terbaik agar kebijakan itu tak merugikan pihak tertentu.
Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan mengungkapkan, pihaknya akan mengupayakan agar aturan perpajakan itu tidak menekan petani. Jangan hanya karena inginmeningkatkan penerimaan negara, pemerintah malah justru memberikan tekanan pada petani. “Petani sudah susah. Ja­ ngan sampai susah gara-gara PPN. Ini harus hati-hati. Kalau petani tanaman pangan tidak akan banyak terdampak, tapi yang banyak terimbas itu petani perkebunan. Kami terusmengawal isu ini,” kata RusmanHeriawan di Jakarta, akhir pekan lalu.
Senada dengan itu, Menteri Pertanian Suswono mengatakan, memang tidak bijaksana apabila semua barang hasil pertanian dikenai PPN 10%. Padahal, barang atau produk pertanian sangat beragam. “Kami tengah lakukan kajian mendalam soal dampanya. Kami akan coba susun produk atau komoditas apa yang bisa dikecualikan dari PPN, misalnya karet, kopi, dan kakao. Tiga komoditas ini sebagain besar dikelola petani, petani harusnya dapat prioritas,” kata dia.
Semula, melalui PP No 31 Tahun 2007, barang hasil pertanian yang dihasilkan dari usaha pertanian, perkebunan, dan kehutanan, oleh pengusaha kena pajak (PKP) dibebaskan dari PPN. Namun keputusan itu digugat Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) ke MA dan keluar putusan MA No 70P/HUM/2014 yang membatalkan sebagain isi PP No 31 Tahun 2007, artinya barang hasil pertanian dari usaha pertanian, perkebunan, dan kehutanan, kembali dikenai PPN.
Selanjutnya, pada 25 Juli 2014, keluar SE Ditjen Pajak No SE-24/ PJ/2014. Dalam SE Ditjen Pajak itu, barang hasil pertanian berupa buah-buahan dan sayur-sayuran sebagaimana ditetapkan dalam PP No 31 Tahun 2007 termasuk barang yang tidak dikenakan PPN. Begitupun barang hasil pertanian lain yang tidak ditetapkan dalam PP No 31 Tahun 2007, yakni beras, gabah, jagung, sagu, dan kedelai, juga masuk barang yang tidak dikenakan PPN. Sebaliknya, barang hasil pertanian yang merupakan hasil perkebunan, tanaman hias dan obat, tanaman pangan, dan hasil hutan sebagaimana dalam PP 31 Tahun 2007 yang semula dibebaskan dari pengenaan PPN berubah menjadi dikenakan PPN sehingga atas penyerahan dan impornya dikenai PPN 10%, sedangkan atas ekspornya dikenai PPN dengan tarif 0%.
Hanya Bela Sawit
Ketua Umum Gabungan Perusa­ haan Makanan Ternak GPMT Sudir­ man mengatakan, pengenaan PPN 10% akan menjadi disinsentif bagi pe­ tani, keuntungan petani akan tergerus karena kebijakan itu. Secara umum, kebijakan itu sangat disayangkan karena akan berdampak terhadap ketahanan pangan dalam negeri. “Kami juga mempertanyakan keberpihakan Kadin yang lebih condong memihak pengusaha sawit dengan mengajukan Perpres No 31 Tahun 2007 ke MA. Jangan karena restitusi pajak, petani dikorbankan,” kata dia.
Sudirman mengungkapkan, saat ini memang ekspor minyak sawit memang memberi sumbangan terbesar terhadap ekspor nonmigas Indonesia, namun bukan berarti komoditas lain tidak penting. “Kami sangat menyayangkan aturan tersebut karena demi membela satu sektor, pemerintah mengorbankan kepetingan petani dari berbagai komoditas. Langkah itu dapat berdampak besar terhadap produksi komoditas lain. Petani akan berpikir pragmatis untuk beralih ke sektor lain sehingga berimbas terhadap produksi komoditas tersebut,” kata dia.
Sedangkan pengamat pertanian Khudori mengatakan, kebijakan PPN 10% sangat kontraproduktif dengan program pemerintah dalam mendorong pertumbuhan industri hilir dalam negeri. Sebab, pengenaan PPN itu menjadi disinsentif bagi petani, tidak ada bedanya jika komoditas diekspor mentah atau diolah di dalam negeri. PPN akan menyebabkan tidak adanya insentif bagi pelaku usaha yang malakukan pengolahan sehingga mereka akan lebih memilih untuk ekspor dalam bentuk mentah. “Solusinya adalah aturan tersebut perlu diubah,” kata Khudori. (tl)
Investor Daily, Senin 1 September 2014, hal. 7

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Recent Posts

Comments are closed.