Antara Jokowi, Talan Tol, dan Pembebasan Lahan

Presiden terpilih JokoWidodo (Jokowi) dalam visi misi dan program aksinya yang tertuang dalam Nawa Cita 9 Agenda Prioritas di antaranya be­ ren­cana membangun jalan bar u se­panjang 2.000 kilometer (km) da­lam lima tahun mendatang. Rencana ter­ sebut perlu disiapkan secara matang oleh pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla da­ lam merealisasikannya, terutama dari sisi peng­adaan lahan yang kerap menjadi kendala terberat.
Menilik pembangunan jalan tol 10 ta­hun terakhir, saat pemerintahan Susilo Bam­bang Yudhoyono (SBY) merencanakan pem­ bangunan jalan tol trans-Jawa sepanjang 650 km pada awal pemerintahannya, infrastruktur itu diharapkan bisa selesai dibangun pada lima tahun pertama masa pemerintahan SBY.
Namun ternyata, jalan tol yang berhasil di­bangun sejak 2004 sampai dengan saat ini ba­ru sepanjang 35 km, yaitu pada ruas tol Kan­ci-Pejagan yang mulai beroperasi pada 2010, tol Surabaya-Mojokerto seksi I WaruSe­panjang 1,89 km (2011), Semarang-Solo seksi I Semarang-Ungaran 11 km (2011), dan tol Semarang-Solo seksi II Ungaran-Bawen 11,95 km (2014).
Masih ada dua ruas tol trans-Jawa yang be­ lumberhasil dikonstruksi, yakni tol PemalangBatang (39,2 km) dan Batang-Semarang (75 km). Penyebabnya adalah proses pembebasan lahan yang masih amat minim. Untuk tol Pemalang-Batang, lahan yang dibebaskan baru se­kitar 1,8%, sedangkan tol Batang-Semarang hanya 3,3%. Padahal, proses pembebasan lahan sudah dilakukan sejak tahun 2008 lalu.
Kendati demikian, secara keseluruhan pan­jang jalan tol di Indonesia yang telah di­ operasikan mencapai 806 km. Adapun rencana pembangunan jalan tol di seluruh wilayah Ta­ nah Air mencapai 5.405 km. Masih perlu upaya kerja keras untuk memenuhi target tersebut. Apalagi jika ingin bersaing dalamMasyarakat Eko­nomi Asean (MEA) 2015 denganmengejar capaian pembangunan jalan tol di Malaysia yang sudah mencapai 4.000-an km ataupun di Tiongkok sepanjang 10.000-an km.
Menteri Pekerjaan Djoko Kirmanto me­nu­ turkan, realisasi pembuatan jalan tol baru da­ lam 10 tahun terakhir bisa lebih baik, namun de­ngan syarat pembebasan tanah berjalan lan­car. Sebab, hingga saat ini, yang selalu men­jadi kendala adalah pembebasan lahan yang sulit. “Lahan menjadi kendala terberat,” kata dia, beberapa waktu lalu.
Pembangunan jalan, khususnya jalan bebas ham­batan, membutuhkan setidaknya empat per­syaratan agar bisa terealisasi. Keempat sya­rat itu adalah adanya badan usaha yang akan mengelola dan memelihara jalan tol, ter­sedianya pembiayaan untuk konstruksi, de­sain jalan yang baik, serta ketersediaan la­han. Tiga dari empat persyaratan tersebut bisa diatasi, tetapi untuk persoalan pengadaan la­han menjadi syarat yang mesti diselesaikan sebelum mulai konstruksi.
Regulasi Baru
Pemerintah sebenarnya sudah memiliki be­berapa langkah untuk mempercepat proses pem­bebasan lahan, di antaranyamelalui penyu­ sunan Undang-Undang No 2/2012 tentang Pengadaan Lahan bagi Pembangunan untuk Ke­pentingan Umum. Regulasi tersebut dinilai lebih baik dibandingkan aturan sebelumnya.
Dalam aturan baru itu ada kepastian waktu peng­adaan lahan, yaitu maksimal selama 583 hari. Selanjutnya, masyarakat juga dijamin bah­wa proses pembebasan lahan tidak akan me­rugikan, justru sebaliknya dapat membantu ting­kat perekonomian mereka.
Di sisi lain, aturan tersebut akan mulai dite­ rapkan mulai tahun depan, khususnya untuk proyek-proyek infrastruktur jalan tol, yang proses pembebasan lahannya belum selesai hing­ga akhir tahun ini. Adapun proyek jalan tol baru yang dimulai setelah terbitnya UUNo 2/2012 sudah langsung menggunakan aturan tersebut, seperti tol Palembang-Indralaya.
Namun, bagi proyek jalan tol yang la­hannya belum seluruhnya bebas hingga ak­hir 2014, proses pengadaan lahan akan di­mulai lagi dari awal. Menurut Ketua Tim Peng­adaan Tanah (TPT) tol Depok-Antasari (Desari) Ambardy Effendy, langkah ini justru mem­buat upaya pembebasan lahan yang telah di­lakukan sejak sepuluh tahun lalumenjadi sia-sia. “Pengulangan seluruhproses itu akanmemakanwaktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit, padahal aturannya sudah baik,” tegas dia.
Proses pengadaan lahan jalan tol yang me­libatkan sejumlah pihak, seperti Badan Per­tanahan Nasional (BPN), Kementerian Pe­kerjaan Umum, maupun pemerintah dae­ rah (pemda) terkadang kurang koordinasi. Misalnya, pemda baru bertindak membuat peta bidang setelah mendapatkan surat da­ri TPT, padahal proses itu bisa langsung di­ kerjakan begitu ada penetapan lokasi pem­ bangunan.
“Terkadang institusi terkait lain juga kurang bersemangat, karena lahan yang harus dibebaskan adalah proyek pihak lain,” tandas Ambardy.
Belum lagi perlunya perpanjangan Surat Per­setujuan Penetapan Lokasi Pembangunan (SP2LP) dari setiap pemerintah daerah tiap dua tahun sekali. Langkah ini sebaiknya dilakukan sekali, menimbang infrastruktur jalan tol me­ rupakan proyek nasional. Pembuatan trase ja­lan tol juga semestinya langsung dibuat oleh pemerintah pusat agar jaringan jalan tersebut ter­sambung, tidak terputus di antara daerah perbatasan antar-pemerintah daerah.
Berbagai permasalahan tersebut perlu di­ atasi oleh pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla demi terwujudnya pembangunan jalan se­panjang 2.000 km di Tanah Air dalam lima tahun ke depan. “Salah satu caranya me­ nunjuk pejabat setingkat eselon satu menjadi penanggung jawabnya agar koordinasi antarinstansi berjalan. Itu dilakukan agar pro­yek nasional ini dapat diselesaikan secara me­ nyeluruh, bukan parsial seperti saat ini,” kata Ambardy.
Menurut dia, langkah tersebut telah terbukti saat Joko Widodo ikut serta dalam proses pem­bebasan lahan jalan tol Jakarta Outer Ring Road West 2 North (JORR W2N) yang men­jadi missing link jaringan jalan tol lingkar luar Jakarta. Padahal proyek tersebut sempat mang­krak selama 17 tahun. Namun, saat ini jalan tol tersebut sudah tersambung.
Ketua Umum Asosiasi Tol Indonesia (ATI) Fach­tur Rochman menambahkan, peran kep­ala daerah amat vital untuk mendukung pem­bangunnya jalan tol, terutama dari sisi pembebasan lahan. Setiap kepala daerahmesti melihat pembangunan jalan tol merupakan pro­yek nasional yang bisa menumbuhkan per­ ekonomian di daerah yang dilintasi jalan bebas hambatan tersebut. “Kepala daerah harus memahami dan mendukung pembangunan jalan tol,” tutur dia.
Sekali lagi dibutuhkan keseriusan dari se­luruh pihak terkait pembangunan jalan, ter­utama para pembuat keputusan untuk me­ nyelesaikan pengadaan lahan jalan tol. Hal itu penting karena aturan yang baik tidak cu­kup untuk menyelesaikan masalah ini. De­ ngan demikian, proses pengadaan tanah bu­ kanlah menjadi sebagai hambatan dalam pem­ bangunan infrastruktur. (eko adityo nugroho)
jorr3
Investor Daily, Rabu 27 Agustus 2014, hal. 6

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.