Aturan Sertifikat Clean & Clear Dinilai Perburuk Bisnis Tambang

Jakarta – Sertifikat Clean and Clear (CnC) yang diterapkan Kemen terian ESDM bagi pengusaha tambang sebagai syarat untuk mendapatkan status Eskportir Terdaftar (ET) untuk ke­mudian bisa melakukan ekspor me­nuai ‘kecaman’ dari kalangan pe­ng­usaha.
Ketua Komite Bisnis Asosiasi Per­tambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu Sjahrir menilai, tak ada sosialisi yang memadai dari peme­rintah.
Aturan itu juga dinilai banyak bertentangan dengan regulasi yang lain. Walau dari sisi tujuan baik, untuk menekan ilegal mining, namun dari sisi waktu sangat tidak tepat. Apalagi jika harus dipaksakan tetap berlaku per 1 September nanti.
“Aturan dari Dirjen Minerba tidak disosialisasikan denganmemadai, dari sisi waktu juga tidak tepat sehingga ini akan berefek buruk pada semua,” te­gas Pandu, saat dihubungi wartawan, Rabu (20/8).
Ia menceritakan, banyak pengu­saha sudah mengajukan permintaan ser tifikasi clean and clear sejak tiga tahun lalu namun sampai saat ini tidak pernah ada kejelasan dari Kementerian ESDM bagaimana statusnya, apakah sudah CNC atau belum. Maka, jika se­karang aturan itu dipaksakan, banyak pengusaha tambang yang sebenarnya sudah clean and clear, terbiasa ekspor, ke­ mudian tidak bisa mengirim batuba­ ra ke pembeli padahal sudah ada ko­mitmen bisnis.
Keluhan ini sudah disampaikan pe­ ng­usaha dalam acara Sosialisasi Per­ mendag 39 yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagang­an RI pada tanggal 7 Agustus 2014, yang dihadiri oleh perwakilan Kemen­terian Perdagangan, perwakilan Dirjen Mi­nerba, dan pelaku industri batubara, di­mana pada saaat itu perwakilan Dirjen Minerba mengatakan bahwa ser­tifikat clean and clear tidak me­ru­ pa­kan syarat yang harus dilampirkan untuk mendapatkan rekomendasi ET dirjen minerba.
Namun, rupanya, masukan pengu­saha sama sekali tidak diakomodir oleh Ditjen Minerba dan pernyataan pernyataan perwakilan minerba yang pada saat sosialisasi Permendag 39 justru berbeda dengan ketentuan yang termuat dalam Perdirjen Minerba Nomor 714.
Ada juga poin yang dinilai berma­ salah terkait dengan kewajiban me­ nyam­paikan surat pernyataan berma­ terai mengenai kebenaran doku­ men dan kesediaan membayar iuran produksi/DPHB pada titik jual di FOC bargr/vessel sebelum diangkut lintas kabupaten/kota/provisni.
Padahal substansi yang dimuat dalam surat pernyataan ini bertentan­ gan dan tidak sejalan dengan peratu­ ran lain dan surat minerba yang sudah ada sebelumnya.
Jika pembayaran iuran produksi dilakukan pada titik jual FOB barge/ vessel, maka ada kemungkinan nilai produksi yang akan dibayarkan akan meliputi biaya-biaya perusahaan yang terjadi pada proses penjualan antara lain transhipment, barging, surveyor dan insurance, yang bukan merupa­ kan bentuk dari pemanfaatan sumber daya alam. Hal ini bertentengan dengan UU No 20 tahun 1997 tentang penerima­an negara bukan pajak, dimana disebut­ kan iuran produksi hanya dikenakan pada pemanfaatan sumber daya alam.
Hal ini juga tidak sejalan dengan pe­negasan dari surat Direktorat Jen­ deral Mineral Batubara No 1363/07/ DBP/2013 tanggal 8 November 2013, dimana perhitungan iuran asurasni pro­duksi didasarkan pada perpinda­ han kepemilikan pada fasilitas muat akhir yang dimiliki oleh pemegang IUP/dan atau PKP2B yaitu FOB Tonkang.
Terkait dengan pernyataan kese­ dia­an membayar iuran produksi se­belum diangkut lintas kabupaten. kota/provinsi juga bertentangan de­ ngan peraturan pemerintah nomor 9 tahun 2012 tentang jenis dan tarif atas penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Energi dan sumber daya mineral (PP/9/2012) ti­dak mewajibkan pembayaran iuran produksi sebelum diangkut lointas kabupaten/kota/provisni.
Semua ketentuan baru itu, tegas Pandu, belum pernah ditelaah ber­ sa­ma-sama dengan asosisiasi. “Ini ju­­ga belum disosialisakan, padahal dampaknya cukup negatif bagi indus­ tri,” tandasnya.
Ia menegaskan, jika tetap diterap­ kan per 1 September sudah bisa di­ pasti­kan, pengusaha batubara yang sudah memiliki komitmen penjualan akan terganggu sehingga tidak bisa ekspor. Dampaknya, ini juga akan berimbas pada sisi makro ekonomi di­mana neraca perdagangan akan ma­ kin defisit. “Ini critical issue, dampa­ knya bisa ke ekonomi makro, defisit akan makin melebar, jadi akan lebih baik diundurkan saja. Policy ini bisa mem­buat semua terpuruk,” tegasnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pema­ sok Energi dan Batu bara Indonesia (Aspebindo) Ekawahyu Kasih juga minta aturan ini ditunda. “Mestinya ESDMmenyelesaikan CNC dulu agar ada keadilan,” ucap dia.
Ia khawatir, dengan adanya atur­ an ini, bisa memperpanjang rantai birokrasi. “Belum lagi tidak ada ke­pastian waktu berapa lama sebe­ narnya pengurusan untuk mendapat CNC, lima hari atau berapa lama,” te­gasnya. (es)
Investor Daily, Jumat 22 Agustus 2014, hal. 9

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.