Dampak Kenaikan Bunga The Fed Diantisipasi: Investasi di Indonesia Masih Menarik

JAKARTA – Pelaku pasar sudah mengantisipasi rencana bank sentral AS menaikkan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) yang kemungkinan dilakukan paling cepat pada kuartal I-2015. Kebijakan tersebut akan dirasakan di pasar finansial namun tidak me­ nimbulkan gejolak yang besar. Bahkan, investasi aset-aset finansial di Indonesia masih akan tetap menarik meski FFR dinaikkan hingga mencapai 1% pada akhir 2015 dari saat ini 0,25%.
Demikian rangkuman pandangan Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti, Kepala Ekonom Samuel Sekuritas yang juga dosen FEUI Lana Soelistianingsih, Direktur Eksekutif Core Indonesia Hendri Saparini, dan Deputi Gubernur Bank Indonesia HalimAlamsyah. Mereka dihubungi Investor Dailysecara terpisah, Rabu (20/8) dan belum lama ini.
Sementara itu, Gubernur The Federal Reserve (The Fed) Janet Yellen akanmenyampaikan pidatonya dalam pertemuan tahunan para bankir bank sentral, akademisi, dan pemimpin bisnis terkemuka dunia di Jackson Hole, AS, Jumat (22/8) waktu setempat.
Pasar finansial akan menantikan indikasi mengenai kesiapan bank sentral AS itumenaikkan FFR. Kebijakan suku bunga menjadi fokus pelaku pasar saat ini seiring akan berakhirnya pengurangan stimulus moneter (tapering off) pada Oktober 2014. Berakhirnya stimulus moneter (quantitative easing) menimbulkan spekulasi The Fed akan merealisasikan kebijakan menaikkan suku bunga.
Di dalam negeri, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Chairul Tanjung me­ ngatakan, rencana kenaikan suku bunga The Fed belum memberikan dampak berarti bagi perekonomian Indonesia saat ini.
“Kenaikan suku bunga The Fed katanya di kuartal I-2015. Tapi sekarang belum ada dampak untuk perekonomian kita,” kata Chairul Tanjung yang akrab disapa CT, di kantornya, Jakarta, Rabu (20/8).
CT menuturkan, pemerintahan baru akan memiliki tanggung jawab yang relatif tidak mudah terkat isu kenaikan FFR ini. Di tempat yang sama, Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, pemerintah sedang melakukan berbagai persiapan untuk menghadapi isu kenaikan suku bunga ini. “Oh itu (kenaikan FFR) masih lama. Ya, kita sedang buat preparation. Preparation seperti apa? Nanti saja, cuma memang kita sudah buat preparation,” ujar Chatib.
SedangkanDeputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah mengatakan, saat ini masih terjadi perdebatan di AS terkait kondisi fundamental perekonomianNegeri Adidaya itu. Diskusi terakhir para petinggi di AS menunjukkan kecenderungan The Fed tidak akanmenaikkan suku bunga acuannya secara signifikan.
“Beberapa waktu terakhir, diskusi petinggi-petinggi di Amerika Serikat menunjukkan mereka kalau naik itu (suku bunga AS) naik­ nya sedikit dan dampaknya tidak besar,” ujar Halim, belum lama ini.
Halim optimistis kondisi sektor keuangan Indonesia saat ini berada dalam posisi yang baik dalam menghadapi gejolak yang dapat timbul di sektor keuangan.
“Indonesia menjadi sedikit negara atau blok negara berkembang yang kondisinya sangat baik, apalagi kalau inflasi sudah turun di bawah 5%. Returnatau imbal hasil aset keuangandi Indonesia jugamasih sangatmenarik,” terangHalim.
Dihubungi terpisah, Kepala Ekonom Bank Mandiri Destr y Damayanti mengatakan, rencana kenaikan FFR sudah diekspektasi oleh pelaku pasar (market), sehingga tidak akan menimbulkan kejutan besar di pasar jika kenaikan itu jadi dilaksanakan.
“Kondisi ekonomi AS bagus pada kuartal II-2014, jadi mereka confident. Namun, masih banyak data makro ekonomi AS yang belum stabil. Bahkan IMF menurunkan proyeksi ekonomi AS pada 2014,” ujar Destry.
Menurut dia, kenaikan suku bunga The Fed (FFR) tidak akan menciptakan volatilitas di pasar finansial Indonesia. “Tak akan timbul gejolak, apalagi jika politik di dalam negeri smooth. Indonesia masih hot spot bagi investor,” ucap dia.
Destry juga mengatakan, yang perlu diwaspadai adalah, kenaikan FFR akan mendongkrak yield obligasi global. Namun, dia menilai pemerintah Indonesia belum perlu mengantisipasi rencana kenaikan FFR tersebut mengingat selisih (spread) yang masih tinggi antara suku bunga acuanBI rate dan FFR.
“Misalkan saja FFR dinaikkan 0,50% (menjadi 0,75%), spread-nya punmasih tinggi dengan BI rate yang saat ini 7,5%. Selain itu, yieldSurat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun yang saat ini 8,3% juga masih jauh lebih tinggi dari yield Treasury Bond tenor 10 tahun sebesar 2,5-2,6%,” ujar dia.
Dia memperkirakan, FFR akan menuju 1,0% hingga akhir 2015. “Tapi kenaikan FFR tak semudah itu karena akan mengganggu pelaku usaha di AS,” tambah dia.
Destry mengatakan, BI tak perlu menaikkan BI rate untuk mengantisipasi kenaikan FFR. “BI selama ini tetap mempertahankan BI rate di posisi 7,5% sebagai bentuk antisipasi karena ekonomi dalam negeri sedang melemah,” ucap dia.
Senada, Lana Soelistianingsih mengatakan, pemerintah dan BI belum perlu secepatnya mengantisipasi rencana kenaikan FFR, kecuali ada lonjakan inflasi sehingga mendorong kebijakan penaikan BI rate. “Apalagi yield obligasi di Indonesia masih dalam spreadpremium sekitar 5,7% atau di atas rata-rata 3,0-3,5%. Suku bunga di Indonesia pun masih menarik,” ucap dia.
Lanamemperkirakan, The Fed tidak akan menaikkan FFR dalam waktu dekat. Hal itu disebabkan kondisi ketenagakerjaan dan utilitas industri di AS yang masih di bawah harapan The Fed.
Menurut dia, memang ada pe­ ningkatan jumlah tenaga kerja di AS, tapi upah buruh di sana belum naik. Di samping itu, partisipasi angkatan kerja di AS turun karena banyak calon tenaga kerja yang frustasi akibat tidak mendapatkan pekerjaan sesuai harapan.
“Kalau dilihat dari sisi tenaga kerja dan rendahnya utilisasi, mungkin pa­ ling cepat the Fed naikkan suku bunga pada pertengahan 2015,” ujar Lana. Mengenai dampak kenaikan FFR ke pasar finansial, Lana menyebut dampaknya tidak signifikanmengingat rencana kenaikan FFR sudah sering dibicarakan. “Hal itu berbeda ketika The Fed mengumumkan kebijakan tapering off yang tidak diketahui oleh pasar maksud dari kebijakan tersebut,” ujar dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Core Indonesia Hendri Saparini mengatakan, kenaikan FFR akan dirasakan oleh pasar keuangan dalam negeri mengingat 65% investor di pasar keuangan Indonesia adalah asing. Dia menjelaskan, potensi dana asing akan keluar ataucapital outflowcukup besar namun bersifat jangka pendek. Pemerintah bisa mengantisipasi capital outflow ini dengan cara mendorong foregin direct investment (FDI) untuk masuk ke Indonesia.
“Jika FDI sudah banyak masuk maka kekhawatiran akan capital outflow dalam jumlah yang cukup besar bisa diantisipasi lebih awal. Pemerintah bisa terus mendorong masuknya FDI karena FDI ini bersifat jangka panjang,” ujar dia ketika ditemui seusai acara Core Media Discussion, di Jakarta, Rabu (20/8).
Hendri mengatakan, BI harus lebih berhati-hati jika ingin menaikkan BI rate, jangan sampai kenaikan BI rate mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
Menurut Hendri, selama semester I-2014, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,2%. Jika BI rate dinaikkan maka per tumbuhan ekonomi diperkirakan tumbuh lebih rendah. Dia juga menga­takan, perlu koordinasi yang kuat antara pemerintah dan BI untuk mengantisipasi kenaikkan FFR.
Sementara itu, Gubernur BI Agus Martowardojo sebelumnya mengatakan, BI akanmengantisipasi dampak kebijakan kenaikan suku bunga the Fed.
“BI akan mempersiapkan diri, bahkan dalam pertemuan koordinasi dengan pemerintah, kami sudah mendiskusikan ini,” kata dia usai memberikan sambutan dalam Konferensi EcoMod 2014, di Bali, belum lama ini.
Selain memperkuat koordinasi dengan pemerintah, kata dia, BI juga akan melahirkan bauran kebijakan makro dan moneter yang dapat menjaga fundamental serta stabilisasi perekonomian Indonesia.
“Kami akan mengeluarkan bauran kebijakan tidak hanya Bank Indonesia, tapi juga pemerintah. Itu akan kami komunikasikan untuk memberikan kejelasan bagi semua pelaku ekonomi bahwa kita menghadapi tantangan dunia dengan baik,” kata dia.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menambahkan, Indonesia akan menghadapi risiko dari kenaikan suku bunga The Fed. Hal itu dapat menimbulkan ketidakpastian terkait kondisi perekonomian nasio­ nal, hingga tahun depan.
Untuk itu, BI telah menyiapkan berbagai antisipasi antara lain bauran kebijakan yang mencakup kebijak­ an suku bunga, menjaga volatilitas nilai tukar, mengatasi arus modal, kebijakan makroprudensial dalam pemberian kredit untuk mendorong ekonomi serta penguatan koordinasi dan komunikasi dengan pemerintah.
Model kebijakan tersebut, kata dia, mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 5,9% dalam lima tahun terakhir serta relatif positif dan stabil dalam menghadapi krisis global 2008-2009.
“BI akan ter us memantau dan melakukan stabilisasi di pasar. Itu sebabnya BI melakukan pendalaman pasar keuangan agar pelaku pasar lebih terbiasa menghadapi risk ondan risk off ini,” kata Perry.
Antisipasi lainnya adalah meningkatkan koordinasi fiskal dan mone­ter dengan pemerintah, dengan melakukan berbagai upaya untuk menjaga laju inflasi serta menurunkan defisit neraca transaksi berjalan.
Terakhir, Bank Indonesia bersama pemerintah akan mempercepat reformasi struktural denganmeningkatkan daya saing agar kapasitas produksi nasional bisa lebih baik dalam menghadapi perubahan situasi serta kondisi ekonomi dan keuangan global terkini.
Pidato Yellen
Pasar finansial global saat ini menantikan apa yang akan disampaikan oleh Gubernur The Federal Reserve (The Fed) Janet Yellen dalam pertemuan tahunan bankir bank sentral, akademisi, dan pemimpin bisnis terkemuka di dunia di Jackson Hole, Wyoming, AS, 21-23 Agustus 2014.
Yellen dijadwalkan menyampaikan pidatonya pada Jumat (22/8) waktu setempat. Pasar finansial akan menantikan indikasi mengenai kesiapan The Fedmenaikkan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR). Tapi, kemungkinan besar dia akan mempertahankan kebijakan suku bunga itu untuk waktu lebih lama.
Secara keseluruhan, pertemuan itu diperkirakan membahas perlambatan pertumbuhan, suku bunga rendah, dan inflasi rendah di dunia. Kondisi pasar tenaga kerja yang masih lemah di sejumlah negara juga akan menjadi topik bahasan, terlebih tema pertemuan tahun ini adalahMengevaluasi Kembali Dinamika Pasar Tenaga Kerja.
Tapi, fokus akan tertuju kepada Yellen dan juga mitranya dari Bank Sentral Eropa (ECB) Mario Draghi mengenai kebijakan suku bunga. Tema yang dipilih tahun ini semestinya bisa memberikan petunjuk bahwa benar Yellen akan memaparkan bebera­pa indikasi.
The Fed sudah menegaskan tetap berkomitmen mempertahankan suku bunga acuan pada level nol dan 0,25% sampai pasar tenaga kerja meningkat. Yang belum begitu jelas disampaikan Yellen dan koleganya di Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) adalah kondisi seperti apa di pasar tenaga kerja AS yang menjamin adanya kenaikan suku bunga.
Jika hanya melihat pada tingkat pengangguran dan laju inflasi, perekonomian AS sesuai dengan arah yang diinginkan The Fed. Dinamika seperti itu yang membuat Gubernur The Fed Dallas Richard Fisher berpendapat bahwa The Fed bisa dan seharusnya menaikkan FFR paling cepat awal 2015.
Adapun ekonom Morgan Stanley V incent Reinhardt pada Selasa (19/8) menjelaskan, The Fed belum menyatakan secara jelas bagaimana akan mulai menormalkan kebijakan suku bunga dan kapan akan mulai mengurangi neraca keuangan, dari hampir US$ 4,5 triliun saat ini ke level yang lebih normal sebesar US$ 1 triliun.
Reinhardt mengatakan, The Fed memiliki rencana tentang itu pada 2011, tapi sudah tidak valid lagi lantaran The Fed sudah mengubah pendekatan stimulusnya. The Fed sekarang mengaitkan kebijakan stimulus kepada kondisi-kondisi ekonomi aktual.
Jadi, ada kemungkinan Yellen mengindikakan bahwa The Fed sedang menuju normalisasi kebijakan. Tapi, pernyataan yang bakal ditunggu-tunggu adalah apa yang dianggap oleh dia tentang kondisi pasar tenaga kerja yang sehat.
Laju inflasi di AS sudah lebih dari dua tahun jauh di bawah target The Fed sebesar 2% dan belum ada tanda-tanda akan mendekati target tersebut. Dengan demikian, fokus akan beralih ke kondisi pasar tenaga kerja Bulan lalu, penyerapan lapangan kerja baru di AS kembali di atas 200.000 dan tingkat pengangguran naik menjadi 6,2%, dari sebelumnya 6,1%, karena makin banyak pencari kerja yang masuk ke angkatan kerja. Pernyataan-pernyataan terbaru Yellen mengindikasikan dia tidak akan terburu-buru menaikkan suku bunga.
Pada pidatonya di hadapan Kongres bulan lalu, Yellen menekankan pasar tenaga kerja masih mengandung kelemahan signifikan, yang tercermin dalam rendahnya upah, stagnannya tingkat partisipasi angkatan kerja, dan lesunya turnoverdi pasar tenaga kerja.
Dengan demikian, bukti-bukti yang ada belum akan cukup meyakinkan Yellen bahwa pasar tenaga kerja sudah meningkat signifikan dan cukup bagi The Fed untuk segera menaikkan suku bunga.
“Dia kemungkinanmenegaskan lagi pandangan The Fed bahwa masih banyak ruang untuk peningkatan di pasar tenaga kerja,” ujar Dean Maki, kepala ekonomBarclays Plc di New York, AS.
Michelle Girard, kepala ekonom RBS Securities Inc mengatakan, Yellen kemungkinan tidak akan menjelaskan apa pun yang bisa mengguncang pasar dalam pidatonya. “Saya pikir dia tidak akan menggunakan kesempatan itu untuk mengindikasikan pemikiran The Fed atau apa pun yang menunjukkan perubahan pemikiran The Fed,” ujar dia.
Yang jelas, pertemuan tahunan di Jackson Hole itu kerap menghasilkan berita-berita besar. Pada 2012, pendahulu Yellen, Ben Bernanke, mengindikasikan rencana The Fed mengeluarkan quantitative easing (QE) baru. Kendati waktu itu dikritik sebagai kebijakan yang buruk, nyatanya masih berlangsung hingga sekarang kendati volumenya sudah sangat berkurang.
Dari kalangan ‘garis keras’ terkait inflasi, Yellen ditekan untuk segera menaikkan suku bunga setelah QE bulanan berakhir pada Oktober 2014. (nti/sn/jn/c02)
Investor Daily, 21 Agustus 2014, hal. 1

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.