Program Konversi B20: Produsen Jamin Pemenuhan Stok Biodiesel

JAKARTA – Produsen Biodiesel yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Biodiesel (Aprobi) mengaku siap menjamin pemenuhan stok biodiesel untuk menyukseskan program penambahan campuran fatty acid methylester atau biodiesel pada bahan bakar minyak (BBM) dari 10% (B10) menjadi 20% (B20). Saat ini, pencampuran biodiesel masih sebesar 10%, dan rencananya penerapan B20 dilakukan pada 2016.
“Dalam beberapa kali rapat dengan menko perekonomian, menteri perindustrian, menteri ESDM, menteri perdagangan dan lainnya, hampir seluruh pengusaha sawit yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) dan Aprobi menyatakan siap menyuplai kebutuhan dalam negeri dalam jangka pendek maupun jangka panjang jika pemerintah menetapkan B20,” kata Ketua Umum Aprobi MP Tumanggor dalam siaran persnya, Minggu (3/8).
Tumanggor meyakini, bahwa percepatan dari B10 menjadi B20 akan berjalan mulus karena 23 anggota Aprobi yangmerupakan perusahaan crude palm oil (CPO) siap mengembangkan biodiesel. Kesiapan anggota Aprobi ini juga didukung oleh jumlah produksi CPO Indonesia yang telah mencapai 30 juta ton per tahun dengan jumlah ekspor sekitar 20 juta ton per tahun.
Ini berarti kebutuhan dalam negeri sekitar 10 juta ton per tahun, termasuk untuk industri makanan dan biodiesel. Kondisi ini akan semakinmeningkat pada 2020, dimana produksi CPO bertambah menjadi 40 juta ton.
Dalamhitungankasar, jelasTumanggor, sekitar 1 juta ton CPO per tahun dapat diolah menjadi 20.000 barel biodiesel per hari. “Denganmeningkatnya produksi biodiesel tentu akan mempengaruhi harga CPO dunia. Kalau harga CPO dunia naik, maka bea keluar yangdiperolehpemerintah dari ekspor juga akan mengalami kenaikan. Ini berarti energy security akan tercapai,” ujarnya.
Terkait adanya keraguan akan kepastian kesinambungan pasokan bahan bakar B20 dan jaminan pemerataan distribusi B20 serta realisasi pewajiban penggunaan B20 yang membutuhkan waktu beberapa waktu ke depan, Tumanggor justru mendesak agar pemerintah baru yang terbentuk pada Oktober nanti sudah harus membuat kebijakan baru tentang penggunaan biodeiesel.
“Perlu adanya keseriusan pemerintah. Apakah kita mau berlama-lama mengalami defisit neracapembayaranyangmengakibatkan kerugian karena harus membayar subsidi atauketegasan pemerintah untuk mempercepat penggunaan biodiesel B20. Ketegasan ini harus didukung dengan regulasi yang jelas dan insentif pajak,” ungkap dia.
Untuk saat ini, yang dinilai cukup mendesak, kata Tumanggor, pemerintah perlu mengkaji ulang harga biodiesel yangmasih kurang kondusif bagi perusahaan biodiesel. Penyebabnya, formula hargaMOPS (Mean Oil Platt Singapore atauharga rerata transaksi bulananminyak di pasar Singapura) solar maksimal yang dipakai Pertamina tidak memperhitungkan harga CPO yang menjadi bahan baku biodiesel. Sebenarnya, produsen tidak keberatan jika Pertamina memakai MOPS solar asalkan hanya ditujukan kepada biodiesel bersubsidi atau Public Service Obligation (PSO).
“Seperti sekarang ini, harga CPO sudah di kisaran US$880 dolar per ton ditambah dengan biaya olah sebesar US$150 dolar per ton sehingga total biaya pokok produksi mencapai US$1.050 dolar per ton. Itupun biaya transportasi masih ditanggung oleh produsen. Sedangkan, harga MOPS solar sekitar US$888,3 dolar per ton. “Dengan harga ini jelas kami rugi karena CPO sebagai bahan baku, harganya sudah lebih tinggi dari MOPS solar,” papar dia. (epa)
Investor Daily, Senin 4 Agustus 2014, hal. 8

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.