RANCANGAN PERATURAN MA: Menuju Pemulihan Kerugian Korban Tindak Pidana

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta sejumlah kelompok masyarakat sipil mengapresiasi langkah Mahkamah Agung yang tengah menggodok Rancangan Peraturan MA atau Perma tentang Tata Cara Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana. Aturan ini dianggap bisa menjamin pemenuhan ganti kerugian yang diderita oleh para korban tindak pidana.

Apa itu restitusi dan kompensasi? Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban tindak pidana atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Sementara kompensasi merupakan ganti kerugian yang diberikan negara karena pelaku tindak pidana tidak mampu memberi ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.

Pertanyaannya, korban tindak pidana apa saja yang berhak memperoleh ganti kerugian? Pasal 2 Huruf a draf Perma memberikan batasan, restitusi berlaku untuk korban pelanggaran HAM berat, terorisme, perdagangan orang, diskriminasi ras dan etnis, tindak pidana terkait anak, serta tindak pidana lain yang ditetapkan dengan keputusan LPSK (Pasal 2 Huruf a). Kompensasi berlaku untuk perkara tindak pidana pelanggaran HAM berat dan terorisme.

Ketua Kamar Pembinaan MA Takdir Rahmadi mengungkapkan, Ketua MA memberikan mandat kepada Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan dan Anak yang dipimpinnya untuk menyiapkan draf perma ini. Dalam rangka penyempurnaan, MA menggelar konsultasi publik untuk menjaring masukan dari instansi terkait, seperti LPSK, Bareskrim Polri, perwakilan Kejaksaan Agung, dan juga dari kalangan masyarakat sipil. Kegiatan yang diselenggarakan pada Selasa (8/6/2021) itu akan dilanjutkan kembali setelah masukan-masukan yang dihimpun dalam konsultasi publik digodok Pokja Perempuan dan Anak MA.

Baca juga: LPSK Serahkan Kompensasi bagi Korban Terorisme Bom Bali

Dalam paparannya, anggota Pokja Perempuan dan Anak MA, Nirwana, yang juga Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Bengkulu, mengungkapkan, rancangan peraturan MA tersebut merupakan amanat dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2018 dan PP No 35/2020. Sebelum ada aturan khusus terkait restitusi dan kompensasi, mekanisme ganti rugi korban sudah dikenal melalui gugatan perdata, penggabungan gugatan perdata dalam proses pidana, dan pidana tambahan pembayaran kerugian, khususnya bagi pelaku yang dijatuhi hukuman percobaan pidana ringan.

Nantinya, dengan adanya Perma Restitusi dan Kompensasi, korban pelanggaran HAM berat, terorisme, perdagangan orang, pidana anak, seperti kekerasan, pornografi, eksploitasi seks, diskriminasi ras dan etnis, serta tindak pidana lain yang ditetapkan LPSK dapat mengajukan pembayaran ganti kerugian. Korban dapat mengajukan sendiri ke pengadilan melalui penyidik atau penuntut atau LPSK.

Pengajuan restitusi dan kompensasi dapat dilakukan sebelum atau sesudah adanya putusan berkekuatan hukum tetap. Khusus kasus pelanggaran HAM berat, restitusi dan kompensasi hanya dapat diajukan sebelum ada putusan berkekuatan hukum tetap.

Adapun jenis dan bentuk ganti kerugian yang diberikan, antara lain, ganti kerugian atas kehilangan kekayaan/penghasilan, ganti kerugian akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana, penggantian biaya perawatan, atau bentuk kerugian yang lain.

Baca juga: Kompensasi untuk Korban Teror Terbatas hingga Juni 2021

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengapresiasi raperma tersebut. Dia menyebut perma ini sudah ditunggu-tunggu karena MA memang memiliki mandat untuk membuat aturan teknis.

Selama ini, kata Edwin, pemberian kompensasi yang sudah berjalan ialah untuk kasus pidana terorisme dengan proses yang lebih bagus setelah ada revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada 2018.

Hingga tahun 2020, LPSK telah memberikan kompensasi kepada 341 korban dalam 51 peristiwa terorisme pada 2016-2020. Total kompensasi yang diberikan Rp 47,54 miliar. Kompensasi itu diberikan, antara lain, kepada para korban Bom Bali I dan II, Bom JW Marriott, Bom Kedubes Australia, aksi terorisme di Poso, Surabaya, dan Bom Thamrin.

Khusus untuk pelanggaran HAM masa lalu, kompensasi baru diberikan kepada korban kasus Tanjung Priok, kasus Timor Timur, dan kasus Abepura. Di luar itu, pemberian kompensasi belum dilakukan karena mensyaratkan adanya putusan pengadilan. Dalam konteks pelanggaran HAM masa lalu, pengadilan yang berwenang memeriksa dan menangani perkara itu adalah pengadilan HAM ad hoc.

Pasal 35 UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM menyebutkan, kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM berat ini tercantum dalam amar putusan pengadilan HAM.

Di sisi lain, berkas kasus pelanggaran HAM sulit sampai pengadilan. Berkas hasil penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu dari Komnas HAM, misalnya, selalu gagal naik ke penyidikan karena Kejaksaan Agung menilai berkas belum lengkap.

Restitusi

Pelaksanaan pemberian restitusi hingga 2020 belum maksimal. Dalam laporan tahunan LPSK tahun 2020, restitusi yang diberikan kepada korban tindak pidana masih jauh dari nominal kerugian yang dihitung LPSK. Seperti diketahui, LPSK mendapatkan mandat dari UU Perlindungan Saksi dan Korban untuk menghitung kerugian yang diderita korban untuk upaya pemenuhan restitusi dan kompensasi.

Total ganti kerugian yang dihitung dan diajukan ke pengadilan oleh LPSK tahun lalu Rp 7,909 miliar. Restitusi yang diputuskan oleh hakim Rp 1,34 miliar. Sementara nilai ganti kerugian yang dibayarkan pelaku jauh dari jumlah tersebut, hanya Rp 101,7 juta.

Dalam perkara tindak pidana perdagangan orang (TPPO), meskipun total kerugian yang perlu dibayarkan pelaku dalam hitungan LPSK menjadi yang terbesar di antara pidana lain (Rp 4,96 miliar), tak satu rupiah pun restitusi dibayar pelaku. Padahal, majelis hakim memutuskan adanya pemberian restitusi Rp 598 juta. Ini serupa dengan restitusi untuk korban pidana umum lainnya (pembunuhan, penyiksaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan kekerasan terhadap anak).

Sementara untuk restitusi bagi korban pidana kekerasan seksual, tahun 2020, ganti rugi yang dibayarkan pelaku hanya Rp 10,3 juta. Padahal, jumlah restitusi untuk korban pidana itu dalam hitungan LPSK Rp 2,13 miliar dan diputuskan hakim Rp 229,1 juta.

Edwin mengakui, banyak tantangan dalam pemenuhan hak restitusi dalam proses peradilan. Di antaranya, restitusi tidak dicantumkan dalam tuntutan jaksa dengan alasan tidak ada dasar hukum untuk menuntut restitusi kepada terdakwa, atau diketahui bahwa terdakwa tak memiliki kemampuan membayar restitusi atau bukan pelaku utama. Sementara sebagian hakim juga tidak mendalami kerugian korban dan tidak memiliki perspektif korban, serta ada penilaian terdakwa tidak mampu membayar restitusi.

Dalam perkara pidana perdagangan orang, jumlah restitusi yang dikabulkan hakim lebih banyak dibanding dalam perkara pidana lain. Pasalnya, pemberian restitusi diatur jelas di UU TPPO, yakni penyidik berkewajiban menanyakan kerugian yang diderita korban.

”Itu sudah berjalan optimal (koordinasi) antara LPSK dan Bareskrim (untuk perkara TPPO). Hampir semua korban TPPO yang ditangani Bareskrim direkomendasikan untuk dilindungi LPSK dan hal itu diikuti polda dan polres,” ujar Edwin.

Penyidik atau penuntut umum atau korban biasanya meminta LPSK menghitung kerugian dan pemeriksaan alat buktinya sebab klaim kerugian itu didukung bukti-bukti dan masuk akal atau tidak. Pihaknya juga bisa menanyakan kepada terdakwa atau tersangka tentang kemampuan mereka membayar restitusi.

”Tapi, di sisi lain, kami tidak punya kewenangan memeriksa atau mendalami aset-aset tersangka. Jadi sepihak saja, kalau tersangka bilang tidak mampu, mau ngapain lagi. Hanya saja, dalam konteks TPPO, kalau tidak bersedia membayar, sebenarnya ada subsider kurungan satu tahun, tapi pada praktiknya oleh hakim cuma diputus kurungan 3 bulan,” ujarnya.

Oleh karena itu, LPSK mengusulkan agar di perma diatur klausul bahwa hakim dapat memberikan hukuman tambahan atau hukuman pengganti untuk pelaku yang tak bersedia membayar restitusi dengan pencabutan hak narapidana. Dengan demikian, pelaku yang memiliki uang atau tak memiliki uang dapat perlakuan yang sama atas ketidakmauan membayar ganti rugi.

”Pemberian restitusi untuk perkara kekerasan terhadap anak sudah jalan. Sudah banyak putusannya. Begitu juga dengan TPPO. Tapi, di luar kasus anak dan TPPO, putusan hakim (mengenai restitusi) hanya seperti dekorasi. Keren di atas kertas, tapi tidak bisa dieksekusi. Supaya restitusi tidak jadi dekorasi putusan, menurut kami, harus ada upaya paksa lewat putusan. ” ujarnya.

Edwin merujuk pada praktik pemberian restitusi di salah satu negara bagian di Australia, yaitu hakim dapat mencabut hak keuangan pelaku tindak pidana. Pelaku yang tidak membayar restitusi dihukum tidak memiliki akses ekonomi ke perbankan seperti, misalnya, saat akan mengajukan kredit atau tidak bisa bepergian ke luar negeri jika belum membayar restitusi.

”Jadi, upaya paksanya bayar restitusi lebih keras lagi. Kalau di kita (Indonesia), kalau sampai mencabut hak narapidana, (pasti) bayar, kok,” kata Edwin.

Sejumlah saran

Meskipun diakui bahwa draf raperma yang dibuat MA secara umum sudah memadai, ada beberapa saran yang perlu diperhatikan, khususnya terkait dengan korban. Peneliti Institute for Criminal Justice Reform, Sustira Dirga, mengusulkan adanya upaya hukum yang dapat ditempuh bagi pemohon restitusi/kompensasi apabila permohonan mereka tidak disetujui LPSK.

Selain itu, ia juga mengkritik Pasal 27 Ayat (6) draf Perma yang menyebutkan pemberian restitusi dilaksanakan 30 hari sejak tanggal pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga menerima salinan putusan atau penetapan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Menurut dia, perlu dipikirkan jika batas waktu itu terlewati. ”Kalau terlewati, bagaimana dengan pemenuhan hak korban,” katanya.

Sementara itu, perwakilan Bareskrim meminta MA lebih mengatur secara detail peran penyidik sebagai pihak yang dapat mengajukan restitusi/kompensasi untuk korban tindak pidana. Bareskrim akan mengajukan masukan secara tertulis untuk penyempurnaan raperma tersebut.

Demikian pula dengan perwakilan Kejaksaan Agung dan Komnas Perempuan yang mempertanyakan masuk tidaknya korban kekerasan dalam rumah tangga serta upaya restitusi bagi korban pemerkosaan yang mengakibatkan kehamilan dan lahirnya anak.

MA berjanji untuk menampung semua masukan dan membahasnya kembali dalam rapat internal Pokja Perempuan dan Anak MA. Nantinya, rumusan draf yang dihasilkan akan kembali dilakukan konsultasi publik.

Publik, khususnya korban tindak pidana, menantinya.

KOMPAS, KAMIS 10062021 Halaman 3.

 

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Recent Posts

Comments are closed.