JAKARTA, KOMPAS — Meski menunjukkan peningkatan ekonomi, bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, tetap mempertahankan kebijakan akomodatif dengan tingkat suku bunga mendekati nol persen. Kebijakan ini turut mengembalikan aliran modal kembali ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
The Federal Reserve (The Fed) mempertahankan suku bunga rendah di kisaran 0 persen hingga 0,25 persen. Keputusan itu diambil melalui rapat Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Markets Committee/FOMC) pada 27-28 April 2021 waktu setempat.
Keputusan tersebut diambil meskipun pertumbuhan ekonomian dan inflasi AS lebih tinggi ketimbang proyeksi. Selain mempertahankan tingkat suku bunga, The Fed juga mempertahankan kebijakan pelonggaran kuantitatif berupa pembelian obligasi negara senilai 120 miliar dollar AS per bulan.
Kebijakan The Fed dalam mempertahankan suku bunga rendah juga ikut menahan laju keluarnya investor asing dari pasar modal yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir.
Analis MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana, Kamis (29/4/2021), mengatakan, kebijakan The Fed mempertahankan suku bunga rendah ikut menahan laju keluarnya investor asing dari pasar modal yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Imbasnya pada perdagangan saham pada Kamis, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 38,48 poin atau 0,64 persen ke posisi 6.012,96.
”Selain IHSG, pergerakan bursa Asia lainnya juga kompak menguat didorong sentimen kebijakan The Fed. Penguatan IHSG masih diiringi dengan keluarnya investor asing, tetapi aliran modal keluar dapat diredam dibandingkan perdagangan-perdagangan hari sebelumnya,” ujarnya.
Penguatan IHSG masih diiringi dengan aksi jual bersih yang dilakukan investor asing di sepanjang perdagangan senilai Rp 20,14 miliar. Frekuensi perdagangan saham tercatat sebanyak 1.278.887 kali transaksi dengan jumlah saham yang diperdagangkan sebanyak 18,66 miliar lembar saham senilai Rp 14,28 triliun.
Bursa saham regional Asia lainnya juga turut menguat pada penutupan perdagangan tersebut antara indeks Shanghai Composite yang menguat 17,83 poin atau 0,52 persen ke 3.474,9 dan indeks Hang Seng yang naik 231,92 poin atau 0,8 persen ke 29.303,26.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi dan Kinerja Emiten Jadi Katalis Pasar
Meski begitu, lanjut Herditya, investor juga mencermati rilis laporan keuangan di AS dan perkembangan pandemi Covid-19 secara global yang mengakibatkan beberapa negara melakukan pembatasan sosial yang menutup aktivitas ekonomi.
”Dari dalam negeri, rilis kinerja emiten juga masih menjadi perhatian pelaku pasar. Adapun sektor peternakan, barang konsumen, ritel masih menarik untuk dicermati, terlebih menjelang momentum Lebaran tahun ini,” katanya.
Rupiah menguat
Kurs nilai tukar rupiah berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) terpantau menguat 42 poin atau 0,29 persen, dibandingkan posisi hari sebelumnya, ke level Rp 14.510 per dollar AS.
Analis Ekonomi Makro Bank Danamon, Hilman Faiz, menilai, rendahnya imbal hasil obligasi AS atau Treasury AS tenor 10 tahun hingga 1,6 persen sebagai faktor penopang nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Diperkirakan, rupiah berpeluang menguat dalam jangka pendek seiring prospek pelemahan dollar AS akibat keputusan The Fed mempertahankan suku bunga acuannya di dekat level nol persen.
”Terlebih lagi, The Fed mengatakan tren suku bunga near-zero ini setidaknya akan bertahan hingga 2023 sambil melihat tren perbaikan proyeksi ekonomi AS dan pengendalian inflasi di pasar keuangan,” ujarnya.
Baca Juga: Penyediaan Lapangan Kerja dan Stabilitas Harga Jadi Sasaran Strategi The FedPenguatan rupiah yang sejalan dengan mata uang negara-negara Asia yang lain sama-sama berasal dari sentimen risiko perlambatan ekonomi di AS. Selain itu, hal itu juga dipengaruhi bertambahnya kasus Covid-19 di sejumlah negara.
Sementara analis pasar uang, Ariston Tjendra, berpendapat, penguatan rupiah yang sejalan dengan mata uang negara-negara Asia yang lain sama-sama berasal dari sentimen risiko perlambatan ekonomi di AS. Selain itu, hal itu juga dipengaruhi bertambahnya kasus Covid-19 di sejumlah negara.
Risiko tersebut membuat The Fed belum berencana melakukan pengetatan kebijakan moneter. ”Bank sentral AS masih melihat risiko pelambatan ekonomi karena pandemi dan kenaikan inflasi yang terjadi saat ini di AS hanya sementara,” kata Ariston.
Selain rupiah, sejumlah mata uang lain yang menguat terhadap dollar AS adalah baht Thailand sebesar 0,44 persen, rupee India (0,42 persen), won Korea Selatan (0,4 persen), peso Filipina (0,34 persen), yuan China (0,17 persen), dan dollar Hong Kong (0,01 persen).
Baca Juga: IHSG Tumbang, Investor Asing Tertarik Pelonggaran Kebijakan AS
KOMPAS, Jum’at 30042021 Halaman 10.