Mahfud MD: Jangan Alergi Revisi UU ITE

Menkopolhukam Mahfud MD menegaskan, hukum adalah produk resultante dari perkembangan situasi politik, sosial, ekonomi, hingga hukum. Oleh karena itu, hukum selalu bisa diubah. Hal ini juga termasuk terkait UU ITE.

Pemerintah tengah mempertimbangkan untuk membuat kesepakatan baru terkait kontroversi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Jika ditemukan substansi yang tidak tepat, revisi dimungkinkan untuk dilakukan, baik mencabut atau menambahkan kalimat, maupun menambah penjelasan di undang-undang itu.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, dalam webinar bertajuk “Menyikapi Perubahan UU ITE”, Kamis (25/2/2021), mengatakan, hukum adalah produk resultante dari perkembangan situasi politik, sosial, ekonomi, hingga hukum. Oleh karena itu, hukum selalu bisa diubah.

“Kalau kesepakatan yang dulu dianggap kurang tepat, ya, dibenahi. Jadi, jangan alergi dengan perubahan baru. Karena hukum selalu berubah, tidak ada yang abadi. Kalau perlu cabut, ya, cabut. Perlu ganti, ya, ganti,” ujar Mahfud.

Dalam webinar yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tersebut, hadir sejumlah narasumber lain, di antaranya Menteri Komunikasi dan Informatika (2007–2009) Mohammad Nuh, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, serta pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar.

Mahfud menjelaskan, hukum selalu bisa diubah sesuai perubahan zaman dan tidak bisa disamakan antara satu negara dengan negara lain. Setiap negara memiliki kebutuhan hukum sendiri dan dirumuskan sesuai tempat, waktu, dan budayanya.

Untuk itu, pemerintah kini sedang mempertimbangkan kemungkinan membuat resultante baru yang nantinya mencakup dua hal. Pertama, apakah membuat kriteria implementatif agar UU ITE bisa diterapkan secara adil. Kemudian, yang kedua, menelaah kemungkinan dilakukannya revisi UU ITE.

Dalam upaya menentukan resultante baru itu, Kemenko Polhukam akan mengundang berbagai pihak, mulai dari pelapor, terlapor, masyarakat sipil, maupun akademisi.

Menurut dia, jika di undang-undang itu ada substansi-substansi yang berwatak haatzai artikelen atau berwatak pasal karet, maka bisa diubah dan bisa direvisi. Revisi itu bisa dengan mencabut atau menambahkan kalimat, atau menambah penjelasan di dalam undang-undang itu.

“Di sana, kami akan tentukan resultante baru, apakah resultante harus menambah, mengurangi atau cukup pada penerapan. Semua tak menutup kemungkinan untuk melakukan perubahan substantif mana kala diskusi menghasilkan kesimpulan itu. Hukum bukan ayat suci yang tak bisa diubah tetapi resultante baru tadi,” ucap Mahfud.

Mahfud pun menyadari, setelah UU ITE berlaku hampir 13 tahun, seringkali undang-undang tersebut membawa kontroversi atau sering muncul efek pasal karet. “Artinya, yang bisa ditarik sesuai kebutuhan. Kalau dalam politik lebih berbahaya karena sering dipakai pada si A dan tidak pada si B. Itu yang dikeluhkan,” katanya.

Belum diputuskan

Azis Syamsuddin menyampaikan, pimpinan DPR masih menunggu kesepakatan sembilan fraksi di DPR dan pemerintah terkait rencana revisi UU ITE. Namun, ia menegaskan, sejauh ini, belum ada pembahasan serius untuk memasukkan revisi UU ITE ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.

“Prinsipnya dalam Prolegnas Prioritas 2021 belum ada (RUU ITE). Tunggu kesepakatan antara parlemen dan pemerintah,” ujar Azis.

Menurut Azis, revisi UU ITE tidak menutup kemungkinan masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2021 apabila sudah ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR. Nanti, usulan revisi bisa disampaikan oleh pemerintah atau partai. Jika disepakati, usulan akan dibawa ke rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR untuk disahkan di dalam rapat paripurna.

“Usulan bisa dari siapa saja. Yang penting, siapa yang cepat menyiapkan naskah akademik dan draf rancangan undang-undang,” kata Azis.

Namun, ia mengingatkan bahwa penyusunan naskah akademik dan draf RUU memerlukan biaya. Adapun, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 telah diketok. Dengan begitu, jika DPR ingin menginisiasi revisi, tentu harus menunggu APBN Perubahan (APBN-P).

“DPR sudah diketok bujetnya sehingga perlu ada APBN-P,” katanya.

Buka pintu dialog

Mohammad Nuh berpandangan, cikal bakal UU ITE sebenarnya ingin melindungi dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dalam pemanfaatan teknologi digital. Namun, ia menyayangkan, belakangan UU ITE malah digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi seseorang bahkan memberangus demokrasi.

“Rasanya, enggak begini tujuan undang-undang ini. Pisau yang bagus kok malah disalahgunakan untuk memotong kebebasan orang,” ujar Nuh, yang juga Ketua Dewan Pers.

Ia sependapat dengan Mahfud bahwa undang-undang sangat lazim diiubah sesuai perkembangan zaman. Apalagi, implementasi UU ITE telah melenceng dari tujuan awal.

Namun, jika UU ITE kelak akan direvisi, Nuh mengingatkan, proses revisi harus melibatkan semua pihak. Pemerintah dan DPR tidak boleh bergerak sendiri. Partisipasi publik harus diutamakan.

“Buka pintu dialog agar undang-undang tidak menimbulkan kontroversi lagi. Kalau semua pihak dilibatkan, tidak akan menimbulkan kecurigaan. Kata kuncinya adalah partisipasi publik,” tutur Nuh.

Abdul Fickar Hadjar menilai, ada sejumlah pasal karet yang perlu direvisi dari UU ITE, seperti Pasal 27 dan Pasal 28. Pasal-pasal ini seringkali membuka ruang eksesif sehingga semua ujaran di media sosial kerap kali malah dipidanakan tanpa dibedakan antata pencemaran nama baik ataupun kritik.

“Menurut saya, harus diubah agar pasal-pasal tidak digunakan sewenang-wenang untuk memberangus kritik, pendapat, dan demokrasi. Orang pun menjadi takut berpendapat di ranah media sosial,” kata Abdul.

 

Sumber: Kompas. 26-02-2021

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Recent Posts

Comments are closed.