TRANSPORTASI: Penghapusan Pembatasan Kursi Pesawat Picu Kekhawatiran Publik

JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan baru Kementerian Perhubungan yang tidak lagi membatasi keterisian pesawat mengkhawatirkan pengguna maskapai penerbangan. Kekhawatiran di tengah terus naiknya kasus Covid-19 membuat sebagian pengguna mencari moda transportasi alternatif.

Pada 9 Januari lalu, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri Pada Masa Pandemi Covid-19. Kementerian Perhubungan pun menindaklanjuti, salah satunya dengan mengeluarkan SE 3 Tahun 2021 terkait transportasi udara.

Salah satu yang diatur adalah mengenai pembatasan kapasitas kursi maksimal 70 persen yang tidak lagi diberlakukan. Artinya, pesawat boleh terisi penuh, dengan syarat maskapai harus menyisakan tiga baris kursi di setiap pesawat untuk penumpang yang terdeteksi terinfeksi Covid-19.

Mengetahui kebijakan tersebut, Iqbal Ilham (31), pekerja swasta yang telah berencana cuti ke Yogyakarta, pun berpikir ulang ketika akan membeli tiket pesawat. Sebelumnya, ia berencana menggunakan maskapai penerbangan yang menerapkan pembatasan kursi untuk pulang pada 18 Januari 2020. Pesawat dipilih karena cepat dan masih relatif murah.

”Tetapi, karena tidak ada lagi seat distancing (pembatasan kursi), saya bingung mencari sarana transportasi yang murah dan aman. Jaga jarak menurut saya penting karena tes Covid-19 untuk naik transportasi enggak sepenuhnya valid,” ujarnya kepada Kompas, Rabu (13/1/2021).

Akhirnya, ia memilih menggunakan kereta kelas eksekutif yang masih menerapkan pembatasan kapasitas dan kursi. Dengan harga tidak jauh berbeda, ia rela menerima konsekuensi melalui perjalanan 8 jam atau 7 jam lebih lama daripada menggunakan pesawat.

Fikri Nur Fakhmi (29), yang hendak kembali ke tempat kerja di Ternate, Maluku Utara, akhir pekan ini dari Jakarta, juga khawatir dengan aturan baru pemerintah di tengah terus meningkatnya kasus infeksi Covid-19. Per hari ini saja, Indonesia kembali mencatatkan rekor penambahan kasus harian, yakni 11.278 kasus.

”Namun, beruntungnya, masih ada maskapai nasional yang menerapkan seat distancing walaupun harganya lebih mahal daripada tiket maskapai swasta,” katanya yang baru membeli tiket pulang hari ini.

Sementara itu, Friska (36), warga Jakarta yang berencana menghadiri pernikahan kakaknya di Palembang, Sumatera Selatan, akhir bulan ini mengaku tidak menyesal karena membatalkan perjalanan. Ia mengaku masih trauma dengan pesawat penuh seperti pengalamannya beberapa bulan lalu.

”Beberapa bulan lalu pesawat dan bandara ramai sekali, apalagi sekarang kalau kapasitas tidak dibatasi. Adanya aturan pengetatan pembatasan sosial terbaru (penerapan pembatasan kegiatan masyarakat), saya kira juga tidak terlalu berpengaruh banyak,” ujarnya.

Baca juga : Jelajah Penerbangan di Masa Pandemi Covid-19

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penumpang pesawat domestik pada November 2020 sebanyak 3 juta orang atau naik 33,43 persen dibanding bulan Oktober 2020.

Jumlah penumpang domestik terbesar melalui Bandara Soekarno Hatta di Banten, yaitu mencapai 828.100  orang atau 27,92 persen dari total penumpang domestik. Disusul Bandara Juanda di Jawa Timur, mencapai 238.000 orang atau 8,02 persen.

Meski demikian, secara tahunan, jumlah penumpang angkutan udara domestik pada periode Januari-November 2020 hanya 28,7 juta orang. Jumlah itu anjlok  58,78 persen dibanding periode sama di tahun lalu yang mencapai 69,7 juta orang.

Tes diperketat

Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati, dalam keterangan pers beberapa waktu lalu, menjelaskan, kebijakan pelonggaran kapasitas kursi pesawat berkaitan dengan masa berlaku tes Covid-19 yang dipersempit.

Hasil tes negatif Covid-19 melalui tes usap antigen dan PCR kini menjadi syarat bagi penumpang untuk naik pesawat. Namun, jarak awal tes dan waktu naik pesawat semakin dipersempit untuk meminimalkan peluang calon penumpang terpapar virus.

Penumpang wajib menunjukkan surat keterangan hasil negatif tes PCR yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 3×24 jam. Sedangkan untuk tes usap antigen harus diambil dalam kurun waktu maksimal 2 x 24 jam sebelum keberangkatan.

Aturan di atas dikecualikan untuk tujuan dari dan menuju Bali, yang wajib menunjukkan surat keterangan hasil negatif tes PCR yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 2×24 jam atau hasil negatif rapid test antigen yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 1×24 jam sebelum keberangkatan.

Selain itu, aturan baru juga mengimbau penumpang agar tidak berbicara searah atau dua arah menggunakan telepon atau langsung selama di dalam pesawat. Penumpang dalam penerbangan kurang dari 2 jam juga tidak boleh makan di dalam pesawat, kecuali yang harus mengonsumsi obat-obatan tertentu.

“Wajib menerapkan dan mematuhi protokol kesehatan (3M), yaitu memakai masker (sesuai standar penerbangan), menjaga jarak dan mencuci tangan dengan sabun atau menggunakan handsanitizer,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Udara Novie Riyanto yang menyetujui SE terbaru tersebut.

Keamanan pesawat

Pengamat penerbangan sekaligus anggota Ombudsman Alvin Lie, kepada Kompas, mengatakan, masyarakat tidak perlu terlalu khawatir dengan keamanan pesawat terbang.

Pesawat dinilai sebagai tempat yang relatif aman dari kemungkinan penularan virus penyebab Covid-19, dibanding ruang tertutup lainnya. Hal ini sebelumnya telah dibuktikan berbagai riset oleh pembuat pesawat.

“Ini ditambah adanya sistem penyaring udara HEPA (High Efficiency Particulate Air) filter yang membuat udara di dalam kabin dapat didaur ulang dan membersihkan bakteri dan virus hingga 99 persen,” kata dia.

Oleh karenanya, ia tidak mempermasalahkan pelonggaran kapasitas di pesawat selama protokol kesehatan dipatuhi baik oleh penumpang maupun maskapai penerbangan.

Baca juga: Teknologi Pembersihan Pesawat Boeing Tekan Penularan Covid-19

KOMPAS, KAMIS 14 Januari 2021 Halaman 9.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.