Kebijakan Pembatasan Kegiatan Jangan Setengah Hati

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diingatkan agar tidak setengah hati dalam memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat, guna mengendalikan penyebaran virus SARS-Cov-2. Tanpa ketegasan dan keseriusan dalam implementasinya, kebijakan memperketat pembatasan kegiatan tidak akan berjalan efektif.

Kebijakan Presiden Joko Widodo tentang pembatasan kegiatan masyarakat atau pengetatan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), ditindaklanjuti dengan penerbitan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1/2021 pada Rabu (6/1/2021). Instruksi ditujukan kepada semua kepala daerah, secara khusus kepada Gubernur DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali.

Secara spesifik, instruksi juga ditujukan kepada bupati/wali kota di wilayah prioritas, meliputi Jabodetabek, Bandung Raya, Cimahi, Semarang Raya, Banyumas Raya, Solo Raya, Surabaya Raya, Malang Raya, Denpasar, badung, serta lima kabupaten/kota di DIY.

Instruksi Mendagri antara lain mengatur pembatasan di perkantoran dengan menerapkan 75 persen bekerja dari rumah, pembelajaran secara daring, pembatasan operasional pusat perbelanjaan hingga pukul 19.00, serta pembatasan kapasitas tempat ibadah sebesar 50 persen.

”Kalau kita cermati dinamika dan perkembangan yang ada, eskalasi penyebaran Covid-19 kian naik dan belum menunjukkan tren penurunan, maka sangat diperlukan langkah-langkah untuk mengendalikan pandemi ini,” ujar Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan, yang dihubungi Kamis (7/1).

Baca juga: Mendagri Terbitkan Instruksi Pembatasan Kegiatan

Dalam konferensi pers di kantor Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kemarin, Menko Perekonomian Airlangga Hartanto meminta pemerintah daerah yang menjadi prioritas penerapan PSBB agar segera menyusun dan menetapkan peraturan daerah terkait. Regulasi di tingkat daerah itu diharapkan rampung sebelum PSBB diberlakukan pada 11-25 Januari 2021.

”Selain regulasi, setiap daerah juga harus mempersiapkan petugas satpol PP untuk menjaga kedisiplinan masyarakat,” tuturnya.

Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo menambahkan, langkah yang tepat dan terukur amat dibutuhkan untuk menghadapi peningkatan kasus aktif Covid-19. Kasus aktif pada awal Januari 2021 meningkat dua kali lipat dari dua bulan sebelumnya menjadi sekitar 112.000 orang.

Merujuk data kawalcovid19.id, per 7 Januari 2021 pukul 16.11, jumlah kasus Covid-19 di Tanah air mencapai 797.723 kasus atau bertambah 9.321 kasus dari hari sebelumnya. Jumlah pasien yang dirawat mencapai 114.766 orang (bertambah 2.173 kasus), serta 23.520 orang meninggal (bertambah 224 kasus). Jumlah yang sembuh mencapai 659.437 orang.

Baca juga: Pastikan Keberhasilan Pembatasan Kegiatan

Menurut Doni, peningkatan kasus aktif menimbulkan konsekuensi penambahan pasien yang signifikan di rumah sakit. Meskipun pemerintah sudah berupaya untuk menambah jumlah tempat tidur, fasilitas yang tersedia tidak akan mampu melayani pasien jika jumlah kasus terus melonjak. Ketersediaan tenaga kesehatan dan dokter yang terbatas juga menjadi persoalan yang dihadapi.

”Dengan pembatasan sosial diharapkan persentase kasus aktif bisa diturunkan lebih dari 20 persen. Hal ini merujuk pada upaya pembatasan sosial yang diberlakukan pada September 2020 yang kasus aktifnya bisa turun sampai 20 persen,” ujar Doni.

Lebih longgar
Sebagian kepala daerah menindaklanjuti Instruksi Mendagri, namun dengan pengaturan yang lebih longgar. Di DIY, misalnya, Gubernur Sultan Hamengku Buwono X menerbitkan Instruksi Gubernur DIY Nomor 1 /INSTR/2021 tentang Kebijakan Pengetatan Secara Terbatas Kegiatan Masyarakat di DIY. Regulasi itu antara lain mengatur pembatasan di perkantoran dengan menerapkan kebijakan 50 persen bekerja dari rumah.

Pemerintah daerah di Malang Raya kemarin juga menyepakati pemberlakuan PSBB dengan penyesuaian kondisi lokal. Hal itu dilakukan untuk mencegah penyebarluasan Covid-19, tetapi juga memungkinkan sektor ekonomi tetap berjalan meski dengan pembatasan. Kesepakatan diambil dalam rapat koordinasi di Balai Kota Malang, yang dihadiri Wali Kota Malang Sutiaji, Wali Kota Batu Dewanti Rumpoko, dan perwakilan Pemkab Malang.

”Ini adalah instruksi dari Mendagri sehingga mau tidak mau kita harus menjalankannya. Namun, tidak semua instruksi dapat kami laksanakan di wilayah Malang Raya secara keseluruhan. Kami menyepakati untuk memodifikasi dan menyesuaikannya dengan keadaan di wilayah Malang Raya,” kata Wali Kota Malang Sutiaji.

Beberapa penyesuaian itu, antara lain, membatasi jam usaha hingga pukul 20.00 atau 21.00, tidak seperti instruksi Mendagri yang membatasi operasional pusat perbelanjaan hingga pukul 19.00. Selain itu, pemberlakukan 50 persen untuk layanan makan di tempat, berbeda dengan Instruksi Mendagri sebesar 25 persen.

Ini adalah instruksi dari Mendagri sehingga mau tidak mau kita harus menjalankannya. Namun, tidak semua instruksi dapat kami laksanakan di wilayah Malang Raya secara keseluruhan. Kami menyepakati untuk memodifikasi dan menyesuaikannya dengan keadaan di wilayah Malang Raya. (Sutiaji)

Pemerintah Kota Surabaya justru mempertanyakan Instruksi Mendagri yang hanya berlaku di Surabaya Raya dan Malang Raya. Padahal daerah lain di Jawa Timur juga ada yang berstatus zona merah.   ”Saya khawatir nanti Surabaya Raya akan kelimpahan pasien dari luar daerah, padahal penanganan di sini cukup baik,” kata Pelaksana Tugas Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana.

Adapun Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak masih akan membahas dan mengoordinasikan rencana pembatasan yang diminta pemerintah pusat. Hal serupa dikemukakan secara terpisah oleh Penjabat Bupati Sidoarjo Hudiyono,   Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, dan Wali Kota Bandung Oded M Danial.

Ketegasan 
Epidemiolog Universitas Airlangga Surabaya, Windhu Purnomo mengingatkan supaya pemerintah tidak setengah hati dalam melakukan pembatasan kegiatan. Pemerintah harus lebih tegas dalam pembatasan aktivitas warga. Pembatasan tak akan efektif jika diberlakukan parsial atau tidak menyeluruh.

Pembatasan sebaiknya juga diberlakukan di luar daerah yang ditunjuk dalam instruksi itu. Pembatasan perlu diberlakukan di daerah-daerah zona merah saat ini atau daerah lainnya yang memperlihatkan kenaikan kasus Covid-19 yang signifikan.

”Dalam undang-undang selain PSBB juga ada karantina wilayah. Pemerintah perlu membuka opsi-opsi untuk menempuh kebijakan yang lebih progresif,” katanya.

Baca juga: Penerimaan Masyarakat di Sumbar Rendah, Keamanan dan Kehalalan Vaksin Menentukan

Antropolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Fadjar Thufail mempertanyakan kenapa pengetatan PSBB Jawa-Bali baru dilakukan setelah hampir satu tahun pandemi. ”Sekarang ini setelah sekian banyak kebijakan tarik ulur, yang terjadi adalah kegagalan sistematis oleh pemerintah sehingga rakyat sudah terlanjur apatis dengan strategi menangani pandemi,” katanya.

Fadjar menyarankan beberapa pembenahan sistem apabila pemerintah serius menginginkan PSBB kali ini memberi perubahan positif. Pertama ialah membuat standar capaian PSBB untuk semua provinsi dan kabupaten/kota dengan indikator terukur dan akuntabel. Artinya, segala pencatatan administrasi dan laporan dari lapangan harus diperiksa silang oleh pakar terkait seperti epidemiolog dan organisasi dokter untuk memastikan keabsahan capaian daerah.

Sekarang ini setelah sekian banyak kebijakan tarik ulur, yang terjadi adalah kegagalan sistematis oleh pemerintah sehingga rakyat sudah terlanjur apatis dengan strategi menangani pandemi. (Fadjar Thufail)

Kedua ialah mewajibkan setiap pemerintah daerah bekerja sama dengan perguruan tinggi atau lembaga penelitian dan pengembangan yang memiliki kompetensi di bidang kedokteran, kesehatan masyarakat, statistik, dan berbagai keilmuan terkait penanganan pandemi. Pemerintah sejatinya tidak bisa bekerja sendiri, lembaga-lembaga profesional ini harus diajak bersinergi melakukan pendataan masalah dan pencarian solusi berbasis statistik serta fakta lapangan, bukan berbasis persepsi normatif pemerintah.

“Sinergi ini harus menghasilkan pemetaan setiap wilayah provinsi dan kabupaten/kota mengenai titik-titik rawan penularan. Contohnya sudah dilakukan di Surabaya tahun lalu. Pemerintah kotanya memetakan bahwa wilayah pabrik paling rentan penyebaran virus korona,” tutur Fadjar.

Kinerja perekonomian
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjadja Kamdani mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia bergantung pada efektivitas dan lamanya pengetatan PSBB. “Jika berkepanjangan, disrupsi pada penawaran dan permintaan akan terjadi kembali,”

Efektivitas PSBB salah satunya bergantung pada penegakan kedisiplinan masyarakat terhadap protokol kesehatan. Dia mengharapkan adanya pengendalian kerumunan di tiap ruang publik dengan menempatkan petugas-petugas yang menegakkan kepatuhan masyarakat di titik-titik tersebut.

Ketua Centre for Health Economics and Policy Studies Universitas Indonesia Hasbullah Thabarany menilai, tantangan PSBB kali ini ialah, masyarakat sudah lelah terhadap pandemi. Padahal, kebijakan Indonesia yang memberikan kewenangan pergerakan pada penduduk secara terbatas membutuhkan kedisiplinan dan kepatuhan masyarakat yang tinggi.

Tantangan ini dapat diatasi dengan sinkronisasi dan koordinasi kebijakan penegakan disiplin antara pemerintah-pemerintah daerah bersama pemerintah pusat. Orientasi pengetatan PSBB dan kebijakan pendisiplinan masyarakat mesti berada dalam satu visi.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal berpendapat, penegakan protokol menjaga jarak fisik, mencuci tangan, dan mengenakan masker mesti disertai sanksi, khususnya di tempat umum yang pengawasannya longgar seperti pasar tradisional. Desain kebijakan PSBB ini tak cukup bila hanya mengandalkan kesadaran masyarakat.

(BRO/NIK/DIA/NCA/DIT/HRS/COK/RTG/BOW/DNE/JUD/AIK/TAN)

KOMPAS, JUM’AT 08 Januari 2021 Halaman 1.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.