JAKARTA, KOMPAS — Tim Serap Aspirasi menemukan ketidakselarasan di hampir semua rancangan peraturan turunan Undang-Undang tentang Cipta Kerja yang sudah diunggah pemerintah. Alih-alih menyederhanakan regulasi, seperti tujuan awal, undang-undang dan peraturan turunan yang dikebut dalam waktu singkat itu justru bisa membuat situasi tidak kondusif untuk iklim usaha.
Per 6 Januari 2021, dari total 40 rancangan peraturan pemerintah (RPP), baru 29 RPP yang sudah diunggah pemerintah ke laman uu-ciptakerja.go.id. Sementara dari empat rancangan peraturan presiden (perpres), ada satu rancangan yang belum diunggah pemerintah ke portal tersebut.
Hasil penyisiran dan pemantauan Tim Serap Aspirasi UU Cipta Kerja terhadap semua draf peraturan yang masuk ditemukan ketidaksinkronan antara isi rancangan peraturan turunan dan substansi awal di undang-undang. Tim juga menemukan ketidakselarasan antara satu RPP dan yang lain. Substansi RPP semestinya saling berkaitan.
”Pertentangan seperti ini hampir merata ditemukan di semua RPP. Beberapa RPP terkesan masih mengedepankan ego sektoral. Padahal, seharusnya mereka saling terkait, tetapi jalannya sendiri-sendiri dan tidak terintegrasi antarkementerian,” kata Ketua Tim Serap Aspirasi UU Cipta Kerja Franky Sibarani saat dihubungi. Rabu (6/1/2020).
Franky menduga, ketidakharmonisan isi itu terjadi karena waktu penyusunan peraturan turunan yang terlalu sempit. UU Cipta Kerja memberi mandat, RPP harus tuntas dalam waktu tiga bulan atau pada awal Februari 2021. Sementara isu yang terkandung di UU ”sapu jagat” itu sangat kompleks serta bersifat lintas sektor dan kepentingan.

”Seharusnya, khusus untuk UU Cipta Kerja, ruang untuk menyusun aturan turunan itu bisa lebih fleksibel. Mengingat pembahasan dilakukan saat masih pandemi, pergerakan menjadi lebih lambat,” kata Franky.
Selain isu yang kompleks, beban penyusunan aturan turunan dari segi jumlah juga terhitung berat. Total ada 44 aturan turunan yang harus dibuat, terdiri dari 40 RPP dan 4 perpres.
Beberapa kementerian harus menyiapkan lebih dari dua RPP dalam waktu singkat. Contohnya, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian bertugas menyusun 8 RPP, Kementerian Keuangan dengan 5 RPP, Kementerian Ketenagakerjaan 4 RPP, Kementerian Agraria dan Tata Ruang 5 RPP, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyusun 3 RPP.
Baca juga: Aspirasi Publik Terhambat karena Belum Semua RPP Bisa Diakses
Menyulitkan
Ekonom senior Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, mengatakan, alih-alih membuat regulasi semakin sederhana dan menciptakan iklim yang kondusif untuk berinvestasi, UU Cipta Kerja dan peraturan turunan yang tumpang tindih justru bisa membuat situasi semakin rumit bagi pengusaha.
Padahal, regulasi yang tidak jelas dan tumpang tindih selama ini menjadi keluhan investor yang ingin menanamkan modal di Indonesia. Pemerintah juga menjadikan alasan itu untuk menyusun dan mengesahkan UU Cipta Kerja secara cepat di tengah kritik dan peringatan dari berbagai kalangan.

Perkembangan penyusunan peraturan turunan Cipta Kerja terkini yang menunjukkan adanya kendala dalam sinkronisasi dan harmonisasi aturan menjawab kekhawatiran yang selama ini disuarakan berbagai elemen, termasuk ekonom. ”Jika RPP tidak bisa menjawab persoalan dan malah menimbulkan komplikasi aturan ke depan, hal itu justru membuat situasi semakin ribet bagi dunia usaha,” kata Enny.
Enny mengingatkan, sejak awal penyusunan RUU pun, prosesnya sudah tergesa-gesa dan amburadul. Sampai hari terakhir Rapat Paripurna DPR untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja pada Oktober 2020 lalu, misalnya, draf final belum tersedia. Draf RUU yang resmi bahkan masih berubah lagi ketika sudah sampai di tangan Istana Presiden.
”Jadi, kalau RPP sekarang tidak sinergis dan kental ego sektoral, itu wajar. Pembahasan UU-nya sendiri saat itu compang-camping. Jangankan mensinkronisasi substansi, saat itu, memfinalisasi rumusan untuk setiap kluster saja sulit karena dikejar waktu,” katanya.
Baca juga: Kejar Tayang Aturan Turunan UU Cipta Kerja
Operasionalisasi
Franky mengatakan, Tim Serap Aspirasi akan menyampaikan usulan ke tiap kementerian/lembaga teknis untuk menyelaraskan RPP yang saling berkaitan agar tidak bermasalah dalam tahap operasionalisasi aturan turunannya kelak. Ia mengatakan, ada contoh beberapa RPP yang dalam proses sinkronisasi dan harmonisasi cukup lancar, seperti RPP tentang badan usaha milik desa.
Akan tetapi, tuturnya, itu baru satu kasus. Masih banyak kasus lain, di mana aspirator mengeluhkan kementerian tidak terbuka dan tidak mau menampung masukan. ”Berhubung UU ini sifatnya lintas sektoral, tidak cukup kalau hanya satu atau dua kementerian yang akomodatif dan terbuka, semuanya harus sama,” ujar Franky.
KOMPAS, KAMIS 07 Januari 2021 Halaman 10.