KEBIJAKAN FISKAL: Covid-19 Menekan APBN

JAKARTA, KOMPAS — Postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2020 mengalami tekanan luar biasa akibat pandemi Covid-19. Dampak tekanan tecermin pada penerimaan pajak yang ambles, pembiayaan utang melonjak, dan tingginya sisa lebih pembiayaan anggaran.

Sepanjang 2020, pemerintah telah dua kali merevisi postur APBN. Keseluruhan postur APBN dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun Anggaran 2020 direvisi melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 pada April dan Perpres No 72/2020 pada Juni lalu.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, pemerintah menghadapi kondisi yang luar biasa sepanjang 2020 yang terefleksi dalam APBN. Arah perekonomian nasional berubah akibat Covid-19. Instrumen fiskal digunakan untuk merespons kondisi ekonomi agar tidak semakin merosot.

Pada akhir 2020, APBN defisit Rp 956,3 triliun atau 6,09 persen produk domestik bruto (PDB). Defisit APBN lebih rendah dari proyeksi dalam Perpres No 72/2020 sebesar 6,34 persen PDB, tetapi melonjak dari target awal 1,76 persen PDB dalam UU No 20/2019.

Defisit APBN 2020 dipengaruhi penurunan penerimaan pajak dan peningkatan pembiayaan utang untuk tambahan belanja. Penerimaan pajak per 31 Desember 2020 terealisasi Rp 1.070 triliun atau merosot 19,7 persen dibandingkan dengan tahun 2019. Sementara itu, realisasi pembiayaan anggaran mencapai Rp 1.190,9 triliun atau naik 196,2 persen.

”Kondisi ini menunjukkan APBN 2020 bekerja luar biasa sehingga ke depannya harus dijaga karena APBN tidak mungkin mengalami tekanan luar biasa terus-menerus,” kata Sri Mulyani.

Kondisi ini menunjukkan APBN 2020 bekerja luar biasa sehingga ke depannya harus dijaga karena APBN tidak mungkin mengalami tekanan luar biasa terus-menerus.

Baca juga: Penerimaan Pajak Anjlok, Belanja Pemerintah Meroket

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo menambahkan, paling tidak ada dua faktor utama yang memengaruhi anjloknya penerimaan pajak, yaitu penurunan setoran wajib pajak akibat lemahnya kegiatan ekonomi selama pandemi serta pemberian insentif pajak secara luas untuk menyelamatkan rumah tangga dan dunia usaha.

Pada 2020, pemerintah memberikan insentif fiskal senilai Rp 56 triliun yang terdiri dari pajak ditanggung pemerintah Rp 3,4 triliun dan berbagai insentif yang menyebabkan potensi penerimaan pajak hilang sebesar Rp 52,7 triliun.

”Penerimaan pajak tidak bisa mencapai target juga dipengaruhi keterbatasan dalam upaya ekstensifikasi dan intensifikasi,” ujar Suryo.

Secara keseluruhan, semua asumsi dasar ekonomi makro dalam APBN 2020 meleset dari target. Realisasi inflasi 1,68 persen, nilai tukar rupiah Rp 14.577 per dollar AS, suku bunga surat perbendaharaan negara (SPN) tiga bulan 3,19 persen, harga minyak mentah 40 dollar AS. Adapun proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2020 minus 1,7 sampai minus 2,2 persen.

Sisa pembiayaan

Sulitnya mengelola ketidakpastian selama 2020 juga tecermin pada sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) yang mencapai Rp 234,7 triliun. Dari angka itu, Rp 66,7 triliun adalah dana pemerintah di bank untuk mendorong pemulihan kredit dan Rp 50,74 triliun akan digunakan untuk program vaksinasi dan dukungan UMKM tahun 2021.

Covid-19 Menekan APBN

 

Secara terpisah, ekonom PT Bank Danamon Tbk, Wisnu Wardana, menuturkan, kebutuhan pembiayaan utang tahun 2021 masih cukup basar. Namun, dalam APBN 2020 hanya sekitar Rp 60 triliun dari silpa yang akan digunakan untuk membantu memenuhi target pembiayaan tahun 2021.

Pemerintah telah menempatkan Rp 66,7 triliun dari total silpa 2020 di sistem perbankan untuk mendukung program restrukturisasi kredit. Sisanya akan dibukukan dalam saldo kas kumulatif atau SAL di Bank Indonesia untuk pertahanan kedua jika terjadi kekurangan likuiditas pada 2020.

”Realisasi APBN 2020 pada dasarnya sesuai dengan harapan. Pemerintah harus membebani pengeluarannya terlebih dulu untuk mendukung pemulihan ekonomi 2021. Harapannya, perombakan kabinet kemarin berpengaruh positif,” ujar Wisnu.

Realisasi APBN 2020 pada dasarnya sesuai dengan harapan. Pemerintah harus membebani pengeluarannya terlebih dulu untuk mendukung pemulihan ekonomi 2021.

Baca juga: Rencana dan Serapan APBN Disorot

Head of Fixed Income Research PT Mandiri Sekuritas Handy Yunianto menambahkan, penggunaan silpa 2020 akan mengurangi beban pembiayaan tahun 2021. Jika sebagian silpa digunakan, tambahan penerbitan surat berharga negara akan berkurang yang pada akhirnya mengurangi beban APBN ke depan.

Sementara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengemukakan, tekanan APBN tahun ini sudah dimulai sejak awal tahun. Pemerintah akan kembali memberlakukan pembatasan kegiatan di Jawa dan Bali untuk menekan penyebaran Covid-19 selama 11-25 Januari 2020.

Pemberlakukan pembatasan kegiatan, antara lain, meliputi kapasitas tempat kerja atau perkantoran 25 persen, melaksanakan belajar mengajar secara daring, operasional restoran tutup pukul 19.00 dengan maksimal kapasitas 25 persen, dan kegiatan di tempat ibadah maksimal 50 persen.

Baca juga: Tarik Rem Darurat, PSBB di Jawa-Bali Diperketat

Covid-19 Menekan APBNKOMPAS, KAMIS 07 Januari 2021 Halaman 9.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.