Pilkada 2020 yang diselenggarakan pada masa pandemi Covid-19 telah usai. Masyarakat yang memiliki hak pilih telah memberikan suara untuk menentukan kepala daerah yang akan memimpin selama lima tahun mendatang.
Meskipun hasil akhir masih harus menunggu keputusan dari Komisi Pemilihan Umum, sejumlah lembaga survei telah mengumumkan pemenang di beberapa daerah yang banyak menarik perhatian publik. Ada parpol yang memperkuat dominasinya di suatu daerah dengan kemenangan para kader yang diusung, ada pula yang harus melepaskannya ke kader partai lain.
Partai Keadilan Sejahtera, misalnya memperkuat dominasinya di Sumatera Barat dan Kota Depok, Jawa Barat. Pasangan calon gubernur Sumatera Barat yang diusung PKS, Mahyeldi Ansharullah – Audy Joinaldy unggul dan mengukuhkan dominasi PKS selama 10 tahun terakhir. Selain itu, PKS juga memperkuat posisinya di Kota Depok yang unggul dalam 15 tahun terkahir dengan kemenangan petahana Mohammad Idris- Imam Budi Hartono.
Sedangkan partai pemenang pemilu 2019, PDI-Perjuangan, mengukuhkan posisinya dengan kemenangan kader di kantong-kantong suara, seperti Kota Surakarta (Jawa Tengah), Kota Surabaya (Jawa Timur), dan Semarang (Jateng). Bahkan, calon yang diusung PDI-P di Medan, Muhammad Bobby Afif Nasution-Aulia Rachman, unggul dari petahana Akhyar Nasution-Salman Alfarisi sekaligus menghentikan dominasi Golkar.
Baca juga: Politik Negara Pasca-Pilkada 2020
Perubahan konstelasi politik di daerah usai Pilkada diperkirakan memengaruhi peta politik di daerah. Lantas, apa dampak dari pergeseran dominasi partai-partai di daerah dan pengaruhnya menjelang pemilu legislatif dan pemilihan Presiden 2024
Persoalan tersebut dibahas dalam bincang-bincang Satu Meja The Forum bertema ”Peta Politik Usai Pilkada” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (9/12). Acara dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo.
Apapun hasil yang diperoleh parpol saat pilkada 2020 akan berpengaruh dalam kontestasi pemilihan presiden 2024. Sebab pemilihan presiden 2024 tidak akan ada calon petahana yang bertarung
Hadir secara daring sebagai pembicara Ketua DPP PDI-P Eriko Sotarduga, Wakil Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat Andi Nurpati, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera, dan Direktur Eksekutif Center for Strategic International Studies (CSIS) Philips Vermonte.
Menurut Philips, apapun hasil yang diperoleh parpol saat pilkada 2020 akan berpengaruh dalam kontestasi pemilihan presiden 2024. Sebab pemilihan presiden 2024 tidak akan ada calon petahana yang bertarung. “Mungkin akan banyak kandidat yang berasal dari kepala daerah ingin menjadi Presiden 2024,” ujarnya.
Konsisten
Pertarungan politik di daerah, apapun hasilnya, lanjut dia, merupakan investasi politik jangka panjang. Seperti kemenangan menantu Presiden Joko Widodo, Bobby, di Medan, salah satunya disebabkan konsistensi PDI-P dalam bertarung di Sumatera Utara. Meskipun kalah, selisih kekalahan PDI-P semakin tipis hingga akhirnya mampu membalik keadaan saat Pilkada 2020 di Medan.
Selain itu, investasi politik di daerah basis-basis PDI-P membuat dominasinya belum terbendung dari parpol lain. Hal itu terlihat dari kemenangan di Solo dan Surabaya. Ia menilai, parpol akan sangat memperhitungkan kemenangan di daerah Jawa karena memiliki jumlah pemilih terbesar.
“PDI-P menang di tempat-tempat yang mereka ingin menang,” kata Philips.
Eriko mengatakan, masyarakat melihat konsistensi PDI-P dalam menghadirkan calon pemimpin daerah. Dalam setiap pilkada, PDI-P berusaha mempersiapkan kader-kader yang mampu mengisi jabatan politik. Kehadiran kader tersebut sekaligus untuk memastikan mesin partai berjalan.
“Di sinilah, masyarakat menilai apakah partai bekerja dan punya kader untuk mengisi jabatan di segala lini,” ucapnya.
Baca juga: Klientalisme dalam Pilkada
Terkait kemenangan PDI-P di Solo dan Medan, ia menegaskan bahwa kemenangan itu tidak hanya terjadi akibat faktor kekerabatan Presiden Jokowi. Menurut dia, kemenangan disebabkan usaha dari kader dari tingkat elite hingga RT dan RW yang bergerak memenangkan kandidatnya. Pemilih dinilai sudah sangat dewasa dalam berdemokrasi dan menginginkan perubahan yang lebih baik di daerahnya.
“Di Surabaya, masyarakat menghargai perjuangan Tri Rismaharini dan berharap ada yang meneruskannya,” kata Eriko.
Kemenangan PDI-P di Solo dan Medan banyak ditentukan oleh faktor Jokowi. Hampir semua pemilih mengetahui hubungan Gibran Rakabuming Raka dan Bobby dengan Jokowi sehingga mempengaruhi psikologis pemilih dalam menentukan pilihan
Berbeda dengan Eriko, Andi menilai kemenangan PDI-P di Solo dan Medan banyak ditentukan oleh faktor Jokowi. Hampir semua pemilih mengetahui hubungan Gibran Rakabuming Raka dan Bobby dengan Jokowi sehingga mempengaruhi psikologis pemilih dalam menentukan pilihan.
“Segala sumber daya digerakkan untuk pemenangan di semua wilayah, terutama di dua kota yakni Solo dan Medan,” ucapnya.
Menurut dia, majunya anak dan menantu Jokowi tidak menjadi masalah, asalkan kontestasi dilakukan secara jujur, adil, demokratis, dan tidak ada intimidasi kepada pemilih. Namun ketika sudah menang, mereka harus mempertanggungjawabkan jabatan kepada masyarakat.
Wakil masyarakat
Kandidat yang menang dalam pilkada tidak lagi hanya menjadi wakil partai politik, tetapi mereka adalah wakil dari seluruh masyarakat yang harus bisa mengayomi seluruh lapisan masyarakat. “Jadilah pemimpin yang demokratis. Terlepas ada unsur politis dalam pencalonan, utamakan kepentingan masyarakat dan negara,” kata Andi.
Mardani menuturkan, PKS cukup kuat di Medan. Namun ia menghargai siapapun yang menang selama prosesnya dilakukan secara adil dan transparan. Calon yang diusung PKS, Akhyar- Salman kurang memiliki sumber daya sehingga ada keterbatasan dalam mempengaruhi pilihan masyarakat.
“Bobby-Aulia tampil sebagai anak muda, saat debat pun cukup baik,” ucapnya.
Terkait kemudahan akses anak dan menantu Presiden Jokowi, Mardani menilai, keuntungan kepala daerah seharusnya berbasis sistemik, prosedural, dan akuntabilitas. Jika kedekatan keluarga menjadi basis keuntungan kepala daerah dengan pemerintah pusat, hal itu dinilai melanggar prinsip keadilan dan proporsionalitas.
“Sejak awal, saya pribadi menolak politik dinasti karena kita perlu memberi contoh. Apalagi Presiden menjadi moral kompas yang dirujuk karena apapun yang dilakukan akan menjadi panutan,” katanya.
Oleh sebab itu, Gibran dan Bobby harus menjawab pilihan masyarakat dengan menunjukkan kemampuannya dalam menjadi kepala daerah. Mereka harus mampu menjawan ekspektasi publik dengan kualitas yang dimiliki.
“Jika tidak, akan menjadi pukulan bagi demokrasi dan ketidakpercayaan publik terhadap demokrasi,” tutur Mardani.
KOMPAS, JUM’AT 11 Desember 2020 Halaman 2.