JAKARTA, KOMPAS — Permintaan minyak sawit akan meningkat seiring pulihnya aktivitas ekonomi di sejumlah negara. Harga minyak sawit juga diperkirakan terdongkrak oleh kelanjutan program mandatori pencampuran biodiesel tahun depan dan peningkatan permintaan dari mitra dagang utama.
Menurut Airlangga, sektor pertanian, termasuk minyak kelapa sawit, cenderung memiliki daya tahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor industri lain di tengah krisis akibat pandemi. ”Sawit telah memberi kontribusi signifikan pada kegiatan ekonomi dengan perkembangan permintaan yang positif. Sektor ini juga berkontribusi signifikan terhadap lapangan kerja,” ujarnya.
Kendati demikian, performa industri sawit tahun depan diperkirakan masih akan dibayangi oleh pandemi Covid-19 yang belum usai dan ketidakpastian ekonomi global.
Wakil Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bustanul Arifin mengatakan, sektor minyak nabati menunjukkan tren pertumbuhan yang ditandai meningkatnya harga minyak sawit Indonesia.
Akan tetapi, ada sejumlah kendala, seperti risiko logistik dan menurunnya harga minyak sawit seiring turunnya harga minyak dunia. Di sisi lain, pandemi belum usai dan menciptakan ketidakpastian ekonomi dan perdagangan global.
”Kebijakan seperti peningkatan kapasitas produksi, pemberian insentif ke petani, serta penanaman ulang (replanting) seharusnya bisa mengakomodasi persoalan-persoalan tersebut,” kata Bustanul.
Dampak pandemi
Menurut ekonom senior dan Menteri Keuangan periode 2012-2013, Chatib Basri, ketidakpastian pasar global masih akan menghantui laju perekonomian Indonesia 2021. Beberapa negara saat ini bahkan sedang bersiap menghadapi potensi gelombang ketiga Covid-19. Pertumbuhan ekonomi tidak akan pulih sepenuhnya sampai pandemi mampu dikontrol. ”Ini tergantung kemampuan pemerintah dalam mengatasi pandemi,” kata Chatib.
Ekspor berbagai komoditas dari Indonesia sangat bergantung pada China selaku mitra dagang utama. Sementara pemulihan ekonomi China sangat bergantung pada Amerika Serikat dan Eropa. Namun, kondisi Amerika Serikat dan Eropa diprediksi belum akan pulih pada tahun 2021.
Baca juga: Pemulihan Ekonomi: V, U, atau W?
”Kita bisa berharap pada ekspor dan ekonomi domestik. Tetapi, melihat situasi global yang belum pulih penuh tahun depan, masih sangat penting (bagi Indonesia) untuk bergantung pada ekonomi domestik, setidaknya sampai 2022,” kata Chatib.
Vaksin tidak bisa dijadikan satu-satunya harapan. Ia memprediksi, rencana pemerintah mendistribusikan vaksin kepada 102 juta orang tahun depan akan menghadapi tantangan. ”Kalau dibagi dengan 365 hari dalam setahun, artinya setiap hari pemerintah harus memvaksin 280.000 orang. Apakah kita punya kapasitas untuk itu? Distribusi vaksin juga tidak mudah karena butuh wadah penyimpanan khusus untuk menjamin temperaturnya pas,” kata Chatib.

Oleh karena itu, menurut Chatib, vaksin tidak bisa dijadikan solusi tunggal karena penerapannya akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Penanganan pandemi Covid-19 tetap menjadi syarat utama jika Indonesia ingin pertumbuhan ekonomi kembali pulih dalam waktu 1-2 tahun ke depan.
”Mungkin 2021 sudah mulai ada perbaikan, tetapi tetap belum penuh. Kombinasi penerapan protokol kesehatan, kebijakan pengetesan, pelacakan dan isolasi, serta dukungan bantuan sosial ke masyarakat menengah ke bawah tetap harus menjadi gambaran kebijakan di 2021. Pejabat pemerintah juga harus bisa memberi contoh betapa pentingnya protokol kesehatan,” ujar Chatib.
Baca juga: Pemulihan Ekonomi RI Butuh Detail Strategi Industri
KOMPAS, KAMIS 03 Desember 2020 Halaman 10.