JAKARTA, KOMPAS — Tantangan berat Indonesia selama pandemi Covid-19, berupa kinerja sektoral, investasi, dan perdagangan, belum optimal dikendalikan. Perbaikan kondisi ekonomi akan berjalan lambat jika pemeriksaan spesimen terkait dengan Covid-19 rendah.
Saat ini, pemeriksaan spesimen di bawah 2.000 per satu juta penduduk. Angka itu tidak ideal untuk kelompok negara berpendapatan menengah tinggi seperti Indonesia. Sejumlah negara dengan pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita lebih rendah malah melaksanakan pemeriksaan spesimen lebih tinggi, di antaranya Nepal dan Filipina.
”Jumlah pemeriksaan spesimen yang belum optimal menjadi akar masalah krisis,” kata Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, dalam webinar bertema ”Jalan Terjal Pemulihan Ekonomi 2021”, Kamis (26/11/2020).
Baca juga : Kesehatan Ekonomi di Satu Kendali
Faisal mengatakan, pemeriksaan spesimen yang rendah menyebabkan respons dan stimulus ekonomi tidak bekerja optimal. Ia mencontohkan, penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia sebesar 1,25 persen sejak awal tahun ini tidak kunjung mendorong pertumbuhan kredit perbankan. Pertumbuhan kredit perbankan justru minus 0,4 persen pada Oktober 2020 atau kontraksi pertama sejak krisis keuangan 1997/1998.
Pada saat yang sama, stimulus perlindungan sosial juga belum mampu mendorong konsumsi masyarakat. Hal ini tecermin dari pertumbuhan dana pihak ketiga perbankan yang sebesar 12,2 persen. ”Kontraksi pertumbuhan kredit dan peningkatan dana pihak ketiga perbankan membuktikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam mengatasi Covid-19 relatif rendah,” katanya.
Menurut Faisal, kontraksi ekonomi Indonesia akan lebih lama dibandingkan dengan negara-negara lain yang setara karena penanganan Covid-19 belum optimal. Di ASEAN, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia paling banyak. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan masih negatif pada triwulan IV-2020 sampai triwulan I-2021.
Kontraksi ekonomi Indonesia akan lebih lama dibandingkan dengan negara-negara lain yang setara karena penanganan Covid-19 belum optimal.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, kinerja sektoral, investasi, dan perdagangan global diperkirakan membaik pada 2021. Namun, perbaikan di setiap negara berbeda-beda, tergantung pada perkembangan pandemi Covid-19.
Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD) memproyeksikan kontraksi investasi asing langsung global sedikit mereda, dari 60 persen pada 2020 menjadi kurang dari 40 persen pada 2021. Namun, arus investasi asing akan lebih sulit masuk ke negara-negara berkembang karena ketidakpastian akibat Covid-19 sangat tinggi.
”Kendati ada prospek perbaikan, lembaga internasional memberikan catatan terbesar untuk perkembangan pandemi Covid-19 tahun 2021,” kata Shinta.
Baca juga : Investasi Sulit Tumbuh jika Konsumsi Masih Lesu
Shinta mengatakan, perbaikan konsumsi domestik lebih rendah daripada perkiraan dunia usaha. Kepercayaan dan daya beli konsumen sangat sensitif terhadap perkembangan Covid-19, salah satunya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Kontraksi konsumsi domestik ini menyebabkan kinerja mayoritas sektor usaha tertekan.
Dari perhitungan Apindo, potensi kehilangan devisa pariwisata pada Januari-Juni 2020 mencapai 6 miliar dollar AS, belum termasuk penutupan lebih dari 2.000 hotel dan 8.000 restoran. Potensi kerugian pelaku sektor perhotelan mencapai Rp 40 triliun, restoran Rp 45 triliun, jasa perjalanan dan wisata Rp 4 triliun, serta penerbangan 812 juta dollar AS.
Potensi kehilangan devisa pariwisata pada Januari-Juni 2020 mencapai 6 miliar dollar AS, belum termasuk penutupan lebih dari 2.000 hotel dan 8.000 restoran.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan pers menyampaikan, salah satu strategi menjawab berbagai tantangan global melalui kerja sama perdagangan internasional. Hal itu ia sampaikan terkait dengan perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) yang ditandatangani pada 15 November.
KOMPAS, JUM’AT 27 November 2020 Halaman 10.