JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berkomitmen mengurangi pembangunan pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU pada masa mendatang. Adapun PLTU yang berusia di atas 20 tahun akan diganti dengan pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan. Data pemerintah menunjukkan, ada 23 PLTU yang bakal diganti dengan sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan.
Komitmen tersebut bagian dari rencana pemerintah untuk menaikkan peran sumber energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional. Pada 2025, peran energi baru dan terbarukan ditargetkan naik menjadi 23 persen dari saat ini yang sebesar 10,9 persen. Bauran semakin meningkat menjadi sedikitnya 31 persen pada 2050.
”Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028 diperlukan pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan sebanyak 10.000 megawatt (MW) pada 2025. Lalu, bagaimana caranya? Salah satunya adalah mengurangi peran PLTU di masa mendatang,” kata Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jisman Hutajulu dalam webinar bertajuk ”Policy Support to Achieve The 2050 Indonesia Energy Transition”, Selasa (24/11/2020).
Langkah pemerintah untuk mengurangi peran PLTU, antara lain, menghentikan operasi PLTU yang sudah berusia 25 tahun hingga 30 tahun atau lebih. Sebagai penggantinya adalah dibangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berskala besar karena pembangkit ini relatif lebih cepat dibangun dengan harga jual listrik yang kompetitif. Cara lain adalah metode co-firing, yaitu metode pencampuran biomassa dengan batubara dalam kadar tertentu yang pada intinya mengurangi penggunaan batubara itu sendiri.
Sebagai penggantinya adalah dibangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berskala besar karena pembangkit ini relatif lebih cepat dibangun dengan harga jual listrik yang kompetitif.
Baca juga: Insentif untuk Merangsang Pertumbuhan PLTS Atap
”Saat ini, peran PLTU dalam bauran energi pembangkit listrik sebesar 64,27 persen dan secara bertahap akan dikurangi menjadi 54,6 persen di 2025 nanti,” kata Jisman.

Jisman menambahkan, sejumlah kebijakan yang disiapkan pemerintah untuk mendukung percepatan pemanfaatan sumber energi terbarukan dalam sistem pembangkit listrik di Indonesia adalah mendorong secara masif pembangunan PLTS atap di sektor rumah tangga; penggunaan sumber energi bersih di kawasan wisata Indonesia; serta memperbaiki sejumlah aturan untuk mendukung kemudahan investasi di sektor energi terbarukan.
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, langkah pemerintah menghentikan penambahan PLTU baru dinilai tepat. Menurut dia, di masa mendatang, membangun PLTU baru akan merugikan lantaran ongkos pembangunan pembangkit listrik dari energi terbarukan semakin murah dan efisien. Apabila tetap dibangun, PLTU dikhawatirkan akan menjadi aset menganggur dan merugikan PLN.
”Terkait target ketersediaan pembangkit listrik energi terbarukan berkapasitas 10.000 MW di 2025, mungkin sebagian berpendapat pesimistis lantaran dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan pembangkit listrik dari energi terbarukan hanya 400 MW sampai 500 MW per tahun. Namun, banyak contoh di negara lain bahwa transisi energi bisa dilakukan dengan cepat termasuk di Indonesia sendiri yang membutuhkan waktu tiga tahun dalam program konversi minyak tanah ke gas,” kata Fabby.
Energi fosil
Bagi Adrian Lembong, Direktur PT Adaro Power, salah satu anak usaha PT Adaro Energy Tbk, transisi energi adalah hal yang alamiah di dunia. Berdasar sejarah, transisi energi sudah lama terjadi sejak penggunaan biomassa yang beralih ke batubara di era 1800-an. Kemudian muncul penggunaan gas bumi pada 1950-an sampai kian masifnya pemanfaatan energi terbarukan sejak 1980-an.
Konsumsi energi Indonesia pada 2025 meningkat hampir dua kali lipat dari 287 juta ton setara minyak di 2020 menjadi 500 juta ton setara minyak di 2030. Dalam konsumsi tersebut, minyak masih penting dan diperlukan.
Baca juga: Skema ”Feed in Tariff” Menjadi Kunci Keberhasilan
”Namun, batubara tetap memainkan peran penting dalam rantai pasok energi di Indonesia. Dalam skenario bauran energi di Indonesia, sampai 2050 batubara masih diperlukan,” lanjut Adrian.
Demikian pula disampaikan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto. Menurut dia, konsumsi energi Indonesia pada tahun 2025 meningkat hampir dua kali lipat dari 287 juta ton setara minyak di 2020 menjadi 500 juta ton setara minyak di 2030. Dalam konsumsi tersebut, minyak masih penting dan diperlukan.
”Kendati peran energi terbarukan meningkat di masa mendatang, secara volume, kebutuhan minyak di Indonesia di masa depan juga meningkat,” kata Dwi.
Untuk potensi energi terbarukan di Indonesia, data dari Kementerian ESDM menyebutkan total potensinya mencapai 417.800 MW. Potensi terbesar ada di tenaga surya yang mencapai 207.800 MW peak (MWp), lalu tenaga bayu 60.600 MW, bioenergi 32.600 MW, panas bumi 23.900 MW, dan gelombang laut 17.900 MW. Dari total potensi tersebut, yang termanfaatkan baru sebanyak 10.400 MW atau sekitar 2,4 persen saja.
Baca juga: Industri Fosil Bersiap Hadapi Transisi di Era Ekonomi Hijau
KOMPAS, RABU 25 November 2020 Halaman 10.