Indonesia pernah menjadi anggota OPEC, organisasi elite negara-negara pengekspor minyak, meskipun akhirnya keluar. Indonesia pernah meraup pengumpulan devisa hasil ekspor minyak. Bahkan, Indonesia pernah menjadi pengekspor terbesar gas alam di dunia. Namun, itu cerita dulu.
Sejak 2004, Indonesia berubah status dari pengekspor minyak menjadi pengimpor minyak. Konsumsi bahan bakar minyak nasional mencapai 1,5 juta barel per hari, sedangkan kemampuan produksi minyak di dalam negeri sekitar 700.000 barel per hari. Sisanya diperoleh dari impor.
Baca juga: Pemerintah Kembali Ubah Kebijakan Sektor Hulu Migas
Para ahli beranggapan, produksi yang rendah disebabkan usia lapangan minyak yang sudah tua. Rata-rata sudah berusia puluhan tahun dan melewati masa puncak produksi. Padahal, di masa lalu, produksi sempat menyentuh 1,2 juta barel per hari. Tak ada lagi penemuan ladang minyak baru berskala besar setelah Blok Cepu pada era 2000-an. Rata-rata sudah berusia puluhan tahun dan melewati masa puncak produksi.
Potensi atau sumber daya minyak dan gas bumi (migas) Indonesia masih besar, yakni ada 68 cekungan yang belum diteliti sama sekali. Hal ini berkali-kali diungkapkan, tetapi tidak ada tindakan nyata. Ke-68 cekungan itu tetap di dalam perut bumi. Tak diketahui apakah sesungguhnya benar-benar mengandung atau menyimpan migas di dalamnya.
Dari sisi tata kelola, negeri yang pernah berjaya dari hasil penjualan migas ini seolah tengah mencari bentuk. Undang-undang yang mengatur wilayah bisnis hulu migas bernasib tak jelas. Iklim investasi dibayangi ketidakpastian.
Baca juga: Mendorong Energi Terbarukan Jangan Abaikan Migas
Persoalannya ada pada UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Salah satunya pengaturan kelembagaan di wilayah hulu yang saat ini diampu Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SKK Migas. Lembaga ini adalah hasil keputusan Mahkamah Konstitusi yang membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) pada 2012. SKK Migas bersifat sementara hingga ada revisi UU No 22/2001.
Revisi tak kunjung usai. Pemerintah melahirkan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam kluster energi dan sumber daya mineral, ada bab perubahan untuk UU No 22/2001. Namun, hasilnya dinilai mengejutkan. Pada Pasal 5 tertulis, kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dilaksanakan didasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat.
Klausul pembentukan BUMN khusus untuk menggantikan SKK Migas batal tertera. Rencana pembentukan BUMN khusus adalah untuk menyejajarkan BUMN khusus dengan investor hulu migas (bisnis dengan bisnis). Kedudukan investor yang menjalin kontrak dengan SKK Migas, yang mewakili negara di sektor hulu, dipandang mendegradasi kedaulatan negara (bisnis dengan pemerintah). Pada Pasal 5 tertulis, kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dilaksanakan didasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat.
Lalu, seperti apa nasib kontrak bagi hasil di hulu migas yang sudah dijalankan saat ini? Dengan klausul perizinan pemerintah pusat, skema bisnis hulu migas Indonesia akan mirip dengan sektor pertambangan yang menerapkan izin usaha pertambangan. Urusan izin langsung ditangani kementerian teknis, yakni Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Apabila demikian, lagi-lagi, bagaimana nasib SKK Migas? Tak jelas. Sama tak jelasnya dengan kontrak bagi hasil yang berubah-ubah dari biaya operasi yang dapat dipulihkan (cost recovery) menjadi wajib memakai bagi hasil berdasar produksi bruto (gross split). Lantaran pergantian jabatan Menteri ESDM, kewajiban gross split ditiadakan dan kontraktor diberi kebebasan memilih cost recovery atau gross split.
Kebijakan pemerintah yang tidak konsisten semakin membuat iklim investasi hulu migas Indonesia bak benang kusut. Di saat negara lain berlomba-lomba menarik investor sebanyak mungkin dengan berbagai kemudahan, Indonesia justru melangkah mundur. Rencana perbaikan atas UU No 22/2001 pada tahun depan batal karena tidak dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional 2021.
Kebijakan pemerintah yang tidak konsisten semakin membuat iklim investasi hulu migas Indonesia bak benang kusut.
Jangan salahkan jika ada yang bertanya-tanya, ”Mau ke mana arah tata kelola hulu migas Indonesia? Apa maunya?” Sulit sekali menerka jawabannya.
Baca juga: Investasi Hulu Migas Berpotensi Lesu
KOMPAS, KAMIS 19 November 2020 Halaman 9.