UJI KONSTITUSIONALITAS: MK: Bukti dalam Uji Formil UU Cipta Kerja Harus Kuat

JAKARTA, KOMPAS — Hakim panel Mahkamah Konstitusi menyidangkan perkara uji formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Kamis (12/11/2020). Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan itu, hakim panel meminta agar pemohon menyerahkan bukti-bukti cacat prosedural pembentukan UU Cipta Kerja. Selain itu, hakim panel juga meminta saran terkait dengan metode pengujian formil yang dapat menggugurkan semua UU.

Sidang uji formil UU Cipta Kerja dengan perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan 95/PUU-XVIII/2020 digelar secara daring, Kamis. Hakim panel dalam sidang dua perkara itu adalah Ketua Arief Hidayat, dan dua hakim anggota, yakni Wahiduddin Adams serta Manahan MP Sitompul.

Pemohon Nomor 91/PUU-XVIII/2020 adalah Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas, Novita Widyana, Elin Dian Sulistyowati, Alin Septiana, dan Ali Sujito. Adapun pemohon Nomor 95/PUU-XVIII/2020 atas nama Zakarias Horota, Agustinus R Kambuaya, dan Elias Patege mencabut permohonannya. Sebelumnya, pemohon mengajukan gugatan formil dan materiil UU Cipta Kerja.

Ini merupakan sidang kedua untuk perkara pengujian UU Cipta Kerja. Pekan lalu, Rabu (4/11), MK telah menggelar sidang pemeriksaan uji materiil UU Cipta Kerja nomor perkara 87/PUU-XVIII/2020 dari pemohon Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa.

Baca juga: Uji Konstitusionalitas UU Cipta Kerja Sekaligus Jadi Ujian Independensi MK

Ketua Panel Arief Hidayat mengatakan, dalam gugatan formil UU, pemohon harus bisa membuktikan di mana letak cacat prosedur sejak mulai pengajuan, penyusunan, pembahasan, persetujuan di DPR, hingga pengesahan. Pemohon, misalnya, harus bisa melampirkan dokumen RUU saat disahkan di DPR.

Bukti lain, yaitu dokumen UU yang dikirimkan kepada Presiden untuk ditandatangani dan disahkan dalam nomor dan lembaran negara juga harus disertakan. Sebab, tujuan dari uji formil adalah pembatalan semua pasal yang ada di UU Sapu Jagat Cipta Kerja. Dengan denikian, bukti yang diajukan harus utuh dan membuktikan bahwa UU dibentuk dengan cacat prosedural.

”Kalau ada bukti otentiknya, lebih bagus. Ini nanti yang akan dilihat dan dicek oleh Mahkamah. Apa yang didalilkan pemohon sebagai proses yang ugal-ugalan itu harus dapat dibuktikan,” kata Arief.

Selain itu, Arief secara khusus juga meminta saran kepada pemohon agar bisa memberikan masukan tentang bangunan hukum yang bisa dipakai untuk menggugurkan UU dalam pengujian formil. Pemohon diminta menguraikan bagaimana mengatasi kekosongan hukum jika nanti mahkamah mengabulkan petitum pemohon untuk menggugurkan UU karena dianggap cacat prosedural. Apakah UU lama yang sudah tidak berlaku dapat dihidupkan kembali? Dalil tersebut diminta untuk ditambahkan agar melengkapi argumen pemohon.

MK: Bukti dalam Uji Formil UU Cipta Kerja Harus Kuat

Hakim panel anggota Manahan MP Sitompul mengungkapkan, arena pengujian formil adalah untuk mengetahui bagaimana prosedur hukum dilalui dalam tahapan pengajuan, pembahasan, persetujuan, hingga pengesahan UU. Jika prosedur tersebut dianggap tidak benar, pemohon perlu memperjelas di bagian mana yang tidak benar.

Misalnya, dalam persetujuan di DPR, apakah pengambilan keputusan dilakukan secara kuorum atau tidak? Sehingga proses pengambilan keputusan di DPR itu dapat dikatakan sah atau tidak, harus bisa dibuktikan. ”Uji formil adalah ranah untuk menguji bagaimana UU dibentuk, apakah sudah sesuai dengan formalitas yang diatur dalam UU atau tidak?,” kata Manahan.

Hakim anggota Wahiduddin Adams juga mengatakan, terkait dengan bukti yang diserahkan kepada MK, pemohon juga harus menyebutkan sumbernya berasal dari mana. Tentang UU yang memiliki banyak versi jumlah lembarannya, misalnya, didapatkan dari sumber mana. Apakah resmi dari kesekretariatan DPR atau tidak. Wahiduddin menyarankan agar pemohon melampirkan bukti yang diperoleh dari sumber resmi lembaga negara.

”Pemohon harus dapat menyebutkan dari sumber mana saja RUU yang berbeda-beda versinya itu,” kata Wahiduddin.

Selain itu, Wahiduddin juga mengingatkan bahwa sesuai dengan putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009, batas waktu pengujian formil adalah tidak melebihi dari 45 hari sejak dimuat di lembaran negara.

Kedudukan hukum

Selain memberikan saran perbaikan tentang bukti, hakim panel Manahan juga meminta agar pemohon memperjelas kedudukan hukumnya. Di dalam permohonan, pemohon hanya mencantumkan kedudukan hukum sebagai warga negara Indonesia (WNI). Karena yang digugat adalah hasil kerja dari anggota legislatif, Manahan meminta agar pemohon dibatasi kepada individu yang telah memiliki hak pilih. Dengan demikian, pemohon memiliki kedudukan hukum untuk menggugat keputusan yang sudah diambil oleh anggota DPR yang mewakilinya.

”Pemohon harus bisa menjelaskan pertautan antara kedudukan hukum mereka sebagai pemilik hak pilih dan UU yang diuji secara formil. Tolong dielaborasikan lebih lanjut pertautannya,” kata Manahan.

Terkait dengan saran perbaikan hakim panel tersebut, kuasa hukum pemohon Victor Santoso Tandiasa mengatakan, pihaknya akan menyertakan tiga bundel alat bukti, baik saat masih RUU maupun sampai dengan disahkan sebagai UU di DPR secara lengkap. Dalam gugatan ini, pemohon juga akan berfokus pada gugatan formil sehingga petitum awal dokumen yang diajukan di MK akan diperbaiki.

”Kami akan fokus di uji formil dulu Yang Mulia agar perkara tidak dibarengi oleh uji materiil pasal-pasalnya,” ujar Victor.

Pemohon diberi waktu selama dua pekan untuk memperbaiki dan melengkapi berkas permohonannya. Agenda sidang berikutnya dijadwalkan pada 25 November 2020.

KOMPAS, JUM’AT 13 November 2020 Halaman 3.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.