Pandemi Covid-19 telah memberikan dampak sangat besar terhadap kondisi perekonomian semua negara. Pandemi ini menyerang sendi-sendi perekonomian setiap negara tanpa pandang bulu hingga negara maju. Bahkan beberapa negara maju, seperti AS, Perancis, Italia, Korea Selatan, Jepang, Jerman, dan Singapura, mulai masuk ke jurang resesi ekonomi yang cukup dalam.
Di kalangan negara berkembang, Filipina negara pertama yang secara resmi menyatakan diri mengalami resesi ekonomi. Malaysia, Thailand, dan Indonesia berisiko cukup besar mengikuti Filipina.
Pandemi Covid-19 memberikan bukti bahwa sistem dan struktur ekonomi Indonesia saat ini masih rentan terhadap krisis ekonomi dan gelombang kejut yang datang dari luar. Padahal, pada era globalisasi dan revolusi industri 4.0, guncangan (shock) ekonomi yang berasal dari luar merupakan suatu keniscayaan.
Indonesia memiliki pengalaman dan sejarah panjang guncangan ekonomi yang mengganggu stabilitas sistem perekonomian. Setidaknya ada tiga jenis guncangan yang pernah dialami Indonesia dan mengganggu stabilitas perekonomian nasional, satu di antaranya mengakibatkan krisis ekonomi sangat besar yang berujung pada krisis politik yang menumbangkan rezim Orde Baru.
Indonesia memiliki pengalaman dan sejarah panjang guncangan ekonomi yang mengganggu stabilitas sistem perekonomian.
Guncangan pertama terjadi pertengahan 1980-an melalui gejolak harga komoditas perdagangan utama Indonesia. Indonesia saat itu sangat bergantung pada minyak bumi. Pada akhir 1970-an dan awal 1980-an Indonesia mendapatkan berkah berlimpah dari booming minyak bumi. Namun, tahun 1986 harga minyak bumi anjlok sangat dalam dari sekitar 35 dollar AS per barel menjadi di bawah 10 dollar AS per barel.
Untuk menghadapi ancaman krisis ekonomi akibat dari gejolak harga minyak bumi tersebut, pemerintah Orde Baru mengeluarkan serangkaian paket ekonomi melalui sistem keuangan, salah satunya dikenal dengan istilah Paket Oktober 1988 (Pakto 88). Serangkaian paket keuangan itu berhasil menyelamatkan ekonomi dari jurang krisis yang dalam.
Guncangan kedua terjadi pada 1997-1998, bersumber dari sektor keuangan. Industri keuangan Indonesia menghadapi eksodus modal asing (capital outflow) dalam jumlah yang sangat besar yang mengakibatkan Indonesia mengalami kekeringan likuiditas.
Guncangan kedua terjadi pada 1997-1998, bersumber dari sektor keuangan.
Krisis ini juga mengakibatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terdepresiasi sangat dalam, dari kisaran Rp 2.500 per dollar AS ke sekitar Rp 16.000 per dollar AS. Guncangan ini berujung pada krisis politik yang memaksa Presiden Soeharto mengundurkan diri dan mengakhiri rezim pemerintahannya.
Guncangan ketiga berasal dari fenomena alam, seperti bencana alam dan kekeringan akibat El Nino. Pada 2004 Indonesia pernah mendapatkan guncangan dari fenomena alam berupa bencana tsunami yang terjadi di Provinsi Aceh. Namun, karena bencana itu terjadi dalam skala lokal, dampaknya tidak sampai meluluhlantakkan perekonomian nasional.
Guncangan di sektor keuangan kembali terjadi pada 2008, tetapi dengan titik episentrum berbeda. Krisis yang berawal dari kasus subprime mortgage di AS itu mendorong banyak negara masuk ke pusaran krisis keuangan global. Namun, berbeda dengan banyak negara, pada 2008-2009 Indonesia bisa dikatakan berhasil melalui krisis ini dengan baik. Di tengah pertumbuhan global yang negatif, pada 2009 Indonesia mampu tumbuh positif 4,5 persen.
Pengalaman menghadapi tiga kali guncangan ekonomi telah memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada pemerintah waktu itu sehingga pemerintah mampu menyusun prosedur standar dalam menghadapi guncangan sejenis yang mungkin kembali terjadi.
Namun, prosedur standar ini tampaknya tak efektif dalam menghadapi gelombang kejut Covid-19. Pandemi Covid-19 merupakan fenomena alam baru yang sama sekali tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Hampir semua negara belum memiliki standar baku dalam menghadapi efek pandemi ini.
Strategi utama
Hal ini menyadarkan kita pentingnya struktur ekonomi yang lebih tahan terhadap berbagai gelombang kejut yang berpotensi menciptakan krisis. Pertama, kita harus mendorong sektor industri dalam negeri yang lebih variatif, baik dari sisi produk/komoditas maupun pangsa pasar. Dengan demikian, sistem perdagangan Indonesia tidak hanya bergantung pada komoditas tertentu dan negara tujuan ekspor tertentu.
Selain produk dan target pasar yang berbeda, bahan dan sumber input produksi juga harus lebih bervariasi. Dalam hal input produksi, Indonesia tidak boleh bergantung pada satu jenis komoditas dan satu sumber. Sektor industri harus memiliki berbagai alternatif komoditas input produksi serta negara sumbernya sehingga sektor industri Indonesia tidak mengalami ketergantungan terhadap satu komoditas dan negara tertentu.
Bahkan jika memungkinkan, input-input produksi yang berasal dari luar negeri diganti dengan komoditas yang berasal dari dalam negeri. Program Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dalam sektor industri Indonesia harus didorong lebih kuat lagi.
Kedua, memperdalam pasar keuangan. Walaupun investor asing sudah mulai tidak mendominasi, jumlah investor asing di pasar modal dan pasar keuangan Indonesia masih terlalu besar, lebih dari 40 persen. Ini membuat sektor industri keuangan Indonesia masih memiliki risiko yang tinggi terhadap pembalikan modal.
Selain produk dan target pasar yang berbeda, bahan dan sumber input produksi juga harus lebih bervariasi.
Program inklusi keuangan yang dilakukan pemerintah bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) merupakan langkah tepat. Saat ini, lebih dari 100 juta penduduk Indonesia belum tersentuh lembaga keuangan.
Selain itu, industri keuangan harus didorong untuk melakukan akselerasi digitalisasi sistem keuangan.
Revolusi industri 4.0 serta pola hidup baru akibat pandemi Covid-19 telah mengakibatkan pola konsumsi dan tabungan masyarakat berubah, bergeser ke platform digital yang menuntut semua transaksi dilakukan secara mobile, cepat, dan tetap aman.
Langkah BI membuat program Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) merupakan program yang tepat. Namun, selama ini program BI tersebut masih banyak terfokus di daerah perkotaan karena belum siapnya infrastruktur pendukung di pedesaan. Langkah ini juga harus dibarengi pengembangan sektor riilnya agar tak terjadi gelembung ekonomi yang bisa memicu krisis ekonom baru.
Selain itu, industri keuangan harus didorong untuk melakukan akselerasi digitalisasi sistem keuangan.
Ketiga, meningkatkan kualitas SDM. Dengan struktur angkatan kerja didominasi lulusan SD dan SMP, digitalisasi ekonomi tak akan berjalan dengan baik. SDM Indonesia harus berkualitas, well informed, dan terbiasa dengan penggunaan teknologi informasi.
(Agus Herta Sumarto Dosen FEB UMB dan Ekonom Indef)
KOMPAS, JUM’AT, 28082020 Halaman 7.