PANDEMI: Segera Tangani Sumbatan Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi

JAKARTA, KOMPAS — Wakil Presiden Ma’ruf Amin mempertanyakan tentang berbagai masalah dalam penanganan Covid-19, pemulihan ekonomi nasional, dan serapan anggaran yang rendah. Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional diminta mengatasi berbagai sumbatan dan hambatan yang terjadi.

Ma’ruf Amin menyampaiikan hal itu saat memimpin rapat secara virtual terkait perkembangan pelaksanaan kebijakan pemulihan ekonomi nasional (PEN) dari kediaman resmi Wapres, Jakarta, Kamis (13/8/2020). Hadir dalam rapat tertutup itu, antara lain, Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan PEN Airlangga Hartarto, Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan PEN Erick Thohir, serta Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan PEN Sri Mulyani Indrawati.

Wapres Amin menilai, tingkat penularan Covid-19 di Indonesia masih tinggi. Namun, penanganan pandemi Covid-19, baik dari tes PCR, pelacakan, maupun pelaksanaan protokol kesehatan, belum optimal. Dicontohkan, jumlah penduduk DKI Jakarta hanya 5 persen dari penduduk Indonesia, tetapi menyerap hampir 50 persen pelaksanaan tes usap.

”Artinya, provinsi lain tidak melaksanakan tes masif secara serius,” ujarnya.

Masih tingginya penularan ini bisa menimbulkan ketakutan pada masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonomi. Karena itu, Wapres meminta supaya semua pihak membangun kepercayaan bahwa pemerintah dapat menanggulangi pandemi ini secara sistematis, berbasis bukti, dan ilmiah.

Wapres meminta supaya semua pihak membangun kepercayaan bahwa pemerintah dapat menanggulangi pandemi ini secara sistematis, berbasis bukti, dan ilmiah.

Realisasi belanja keseluruhan kementerian/lembaga dari bulan Januari sampai Agustus 2020 baru mencapai 48 persen. Dari 10 kementerian/lembaga dengan anggaran terbesar, tiga kementerian, yaitu Kementerian Perhubungan, Kementerian PUPR, dan Kementerian Kesehatan, mencatat penyerapan terendah, yaitu 34,3 persen, 41,5 persen, dan 43,6 persen.

Untuk program PEN, dari pagu Rp 695,2 triliun, baru 21,8 persen atau Rp 151,25 triliun yang digunakan. Anggaran kesehatan senilai Rp 87,55 triliun, misalnya, baru terserap Rp 7,14 triliun atau 8,1 persen. Alokasi dukungan UMKM dari pagu Rp 123,47 triliun juga baru tersalurkan 26,3 persen atau Rp 32,5 triliun.

Baca juga : Wapres Amin Menyoroti Sumbatan di Pemulihan Ekonomi Nasional

Segera Tangani Sumbatan Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi

Subsidi gaji

Sementara itu, Deputi Direktur Hubungan Masyarakat dan Antar-Lembaga BPJS Ketenagakerjaan Irvansyah Utoh Banja mengatakan, sudah ada 9 juta nomor rekening pekerja yang terkumpul dari target total 15,7 juta kuota penerima subsidi gaji. Data ini dikumpulkan oleh perusahaan masing-masing tempat mereka bekerja.

Proses pendataan terus dilakukan meskipun peraturan menteri ketenagakerjaan (permenaker) mengenai program subsidi gaji belum selesai diharmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Beberapa ketentuan penting dan mendasar di dalamnya belum disepakati, termasuk terkait sasaran penerima bantuan dan verifikasi data.

’Total ada 600.000 perusahaan yang mendaftarkan pekerjanya di BPJS Kesehatan yang sedang dimintai data. Mereka berasal dari semua sektor, tanpa batasan dan tidak ada kuota perusahaan per wilayah,” kata Utoh saat dihubungi di Jakarta, Kamis.

Baca juga : Konsep Subsidi Gaji untuk Pekerja Belum Final

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengemukakan, data yang dihimpun pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan seharusnya diverifikasi dan diprioritaskan untuk pekerja yang membutuhkan dan sektor yang memang terdampak pandemi.

Jika pendataan tidak teliti dan tanpa skala prioritas, bantuan gaji tambahan bisa saja lari ke pekerja yang masih mampu dan gajinya di atas Rp 5 juta. Tujuan mendorong konsumsi masyarakat tidak akan tercapai.

’Kalau tidak tepat sasaran, akhirnya diberikan ke orang yang punya penghasilan lebih, dampaknya pada konsumsi juga tidak efektif. Masyarakat yang punya uang lebih memilih menabung kalau dapat uang tambahan. Padahal, kita maunya memperbanyak belanja,” tuturnya.

Kalau tidak tepat sasaran, akhirnya diberikan ke orang yang punya penghasilan lebih, dampaknya pada konsumsi juga tidak efektif. Masyarakat yang punya uang lebih memilih menabung kalau dapat uang tambahan.

Baca juga : Subsidi Gaji Bisa Perlebar Kesenjangan Akses Bantuan

Peluang ritel

Hasil riset lembaga konsultan dunia PricewaterhouseCoopers (PwC) bertajuk ”PwC’s Global Consumer Insights 2020: Before and After Covid-19 Outbreak” yang dipaparkan pada Kamis menunjukkan, sebanyak 63 persen responden konsumen Indonesia mengaku mengalami penurunan pemasukan rumah tangga akibat pengurangan upah ataupun pemutusan hubungan kerja. Angka ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata global yang sebesar 40 persen.

Di sisi lain, pengeluaran rumah tangga bagi sebanyak 63 persen responden konsumen Indonesia meningkat. Proporsi responden ini juga lebih tinggi dibandingkan rata-rata dunia, yakni 41 persen. Tren pengeluaran tersebut berkaitan dengan minat konsumsi masyarakat Indonesia.

Dalam beberapa bulan ke depan, sebanyak 64 persen konsumen Indonesia menyatakan akan meningkatkan pengeluarannya. Hal ini berkebalikan dengan mayoritas konsumen dunia, yakni sebanyak 36 persen dari responden akan mengurangi pengeluarannya.

Responden meningkatkan pengeluaran untuk membeli barang dan jasa dari kategori produk kesehatan, kebutuhan sehari-hari, media dan hiburan, serta makanan dari restoran (dengan dibawa pulang dan layanan pesan-antar). Sebaliknya, belanja barang dan jasa yang dikurangi oleh konsumen terdiri dari pakaian dan alas kaki, peralatan olahraga dan kegiatan luar ruangan, serta produk kecantikan.

Baca juga : Riset Vaksin dan Realisasi Dana Dipacu

Retail and Consumer Leader PwC Indonesia Peter Hohtoulas menjelaskan, survei tersebut menunjukkan konsumen masih akan berbelanja hingga beberapa bulan ke depan. Peritel dapat berupaya untuk memprioritaskan rantai pasok, pengelompokan (assortment), serta promosi pada produk dan jasa tersebut.

Prioritas belanja konsumen salah satunya bergeser ke arah produk dan jasa yang berorientasi pada kesehatan. Oleh sebab itu, peritel mesti memahami pola ini sehingga mampu menyediakan pilihan-pilihan produk yang sesuai bagi konsumen. ”Ini dapat berpengaruh pada pertumbuhan konsumsi pada triwulan-III 2020,” katanya.

KOMPAS, JUM’AT, 14082020 Halaman 10.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.