PEMULIHAN EKONOMI: Hadapi Megadisrupsi akibat Pandemi Covid-19

JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memerlukan pemulihan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, bukan hanya untuk menghindari resesi. Oleh karena itu, pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 mesti diarahkan pada aspek berbasis teknologi dan lingkungan.

Dalam praktiknya, pemerintah mesti mendudukkan pemulihan ekonomi ke arah yang jelas. Kejelasan arah akan membantu menarik investasi sekaligus menumbuhkan sektor-sektor baru penopang ekonomi. Sektor baru diciptakan melalui transformasi untuk menghadapi megadisrupsi akibat pandemi Covid-19.

”Pemerintah sebenarnya sudah memulai langkah awal dalam transformasi ekonomi. Namun, yang kini menjadi pertanyaan, apakah Covid-19 membuat transformasi berjalan lebih baik atau tidak?” ujar Rektor Unika Atma Jaya Jakarta A Prasetyantoko yang hadir sebagai narasumber diskusi visrtual ”Tatanan Baru dan Pemulihan Ekonomi di Tengah Pandemi Covid-19” yang diselenggarakan harian Kompas di Jakarta, Kamis (6/8/2020).

Narasumber lain dalam diskusi yang dipimpin moderator redaktur senior Kompas, Ninuk Mardiana Pambudy, adalah Managing Partner McKinsey Indonesia Phillia Wibowo, Ketua Komite Pengarah Indonesia Business Council for Sustainable Development Shinta W Kamdani, dan pengajar ekonomi lingkungan Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia Sonny Mumbunan.

Saat ini, Indonesia di ambang jurang resesi ekonomi setelah perekonomian triwulan II-2020 tumbuh minus 5,32 persen. Jika pertumbuhan triwulan III-2020 kembali negatif, Indonesia mengalami resesi. Tahun ini, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 0-1 persen.

Prasetyantoko menekankan, pemulihan ekonomi secara inklusif dan berkelanjutan bukan hal mudah. Dalam jangka pendek, pemerintah harus meningkatkan serapan belanja stimulus pemulihan ekonomi untuk mendongkrak kinerja ekonomi semester II-2020. Kontribusi belanja pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) yang sebesar 8,67 persen menjadi penyangga perekonomian domestik. Akselerasi belanja diutamakan untuk menjaga kondisi masyarakat rentan, yaitu di bidang kesehatan dan perlindungan sosial.

”Tujuannya bukan hanya menghindari resesi, melainkan ke arah mana ekonomi akan didorong,” kata Prasetyantoko.

Baca juga: Cegah Resesi, Daya Beli Ditingkatkan

Phillia menambahkan, pandemi Covid-19 akan mendorong perubahan struktur perekonomian Indonesia. Dari hasil survei McKinsey, perilaku dan preferensi masyarakat berubah di masa pandemi Covid-19, yakni lebih memandang penting aspek kesehatan, mencari produk lokal, dan membeli makanan segar. Pandemi Covid-19 akan mendorong perubahan struktur perekonomian Indonesia.

Perubahan ini akan menciptakan sektor-sektor baru penopang ekonomi.
Struktur ekonomi akan berubah karena pandemi Covid-19 berlangsung dalam jangka panjang. Maka, pemerintah harus segera bergerak dan memanfaatkan momentum transformasi ekonomi akibat Covid-19.

Teknologi dan lingkungan
Transformasi ekonomi tak bisa mengabaikan aspek teknologi dan lingkungan. Salah satu alasannya, lapangan usaha informasi dan komunikasi (infokom) tumbuh 10,88 persen secara tahunan pada triwulan II-2020, di saat sejumlah lapangan usaha terkontraksi. Sektor ini akan menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga pandemi usai.

Prasetyantoko mengatakan, pemulihan ekonomi berkelanjutan di beberapa negara kini memasukkan aspek lingkungan. Ia mencontohkan Korea Selatan yang mengalokasikan anggaran pemulihan ekonomi 95 juta dollar AS untuk investasi hijau dan mengatasi perubahan iklim. Mengutip riset yang diterbitkan dalam jurnal Philosophical Transactions A, perubahan iklim akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Sonny mengatakan, persoalan perubahan iklim bukan lagi tempelan dalam isu-isu ekonomi. Studi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan, pembangunan ekonomi rendah karbon akan mendorong pertumbuhan ekonomi ke titik tertinggi 6 persen pada 2018-2030. Namun, jika pembangunan dalam skenario ”apa adanya”, pertumbuhan ekonomi cenderung terus turun.

”Berbagai studi membuktikan pembangunan rendah karbon baik bagi ekonomi,” katanya.

Kelompok profesional kesehatan dan medis di AS menyebutkan, perubahan iklim merupakan tantangan bagi kesehatan masyarakat di abad ke-21. Pengambil kebijakan harus lebih serius melihat krisis kesehatan dan krisis perubahan iklim saat ini.

Sementara, Shinta W Kamdani menyampaikan, perbaikan kinerja sektor riil di sisa tahun ini bergantung pada realisasi penyerapan stimulus pemerintah oleh masyarakat dan dunia usaha. ”Stimulus pemulihan ekonomi nasional harus mencari jalan yang cepat bisa sampai tanpa ada hambatan,” ujarnya.

Shinta mencontohkan, salah satu stimulus yang berpotensi tiba di tangan penerima secara cepat adalah pemberian subsidi gaji yang saat ini tengah digodok pemerintah. Ia optimistis kebijakan ini dapat mendorong daya beli masyarakat dan mengoptimalkan aktivitas ekonomi.

”Kami mendukung hal ini karena akan sangat membantu pekerja dan meningkatkan daya beli. Kami usulkan kebijakan ini bisa berjalan dengan mengacu pada data BPJS Ketenagakerjaan karena pekerja formal telah terdata,” ujarnya.

Perbaikan kinerja sektor riil di sisa tahun ini bergantung pada realisasi penyerapan stimulus pemerintah oleh masyarakat dan dunia usaha.

Daya beli berperan signifikan dalam perekonomian Indonesia. Pada triwulan II-2020, konsumsi rumah tangga yang porsinya 57,85 persen terhadap PDB, tumbuh minus 5,51 persen secara tahunan.

Realisasi penyaluran anggaran penanganan Covid-19 per 3 Juli masih sekitar 20 persen dari pagu Rp 695 triliun. Anggaran dialokasikan untuk kesehatan Rp 87,55 triliun, perlindungan sosial Rp 203,90 triliun, insentif usaha Rp 120,61 triliun, UMKM Rp 123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp 53,57 triliun, serta sektoral kementerian/lembaga dan pemda Rp 106,11 triliun.

Shinta menilai inisiatif dan stimulus dari pemerintah sudah tepat, tetapi tidak cukup efektif mendongkrak kinerja sektor riil lantaran pencairannya terhambat. ”Tanpa kelancaran pencairan stimulus, konsumsi masyarakat dan kinerja sektor riil tidak akan terdongkrak secara signifikan dalam waktu dekat,” kata Shinta.

Di sisi lain, tambah Shinta, Indonesia juga membutuhkan reformasi kebijakan ekonomi, khususnya dalam perbaikan iklim usaha dan investasi. Dengan cara itu, kinerja sektor riil tak hanya bergantung pada stimulus dan kekuatan modal dalam negeri yang pas-pasan, tetapi pada penanaman modal asing.

”Indonesia punya pekerjaan rumah untuk terus memperbaiki iklim investasi. Permasalahan perizinan masih tumpang tindih, kemudian masalah ketenagakerjaan juga masih menumpuk,” ujarnya.

Baca juga: RI Gencar Berburu Investasi

Jika masalah hambatan investasi tak kunjung diperbaiki, Shinta meyakini proses pemulihan ekonomi akan terganggu faktor eksternal. Pasalnya, pasokan modal di Indonesia saat ini jauh lebih rendah dari kebutuhan kapital untuk membangkitkan sektor riil.

Dari sisi lapangan pekerjaan pun, lanjut Shinta, pelaku industri akan kesulitan menciptakan kembali penyerapan bagi pekerja yang dirumahkan ataupun terimbas pemutusan hubungan kerja (PHK) selama pandemi.

”Investasi yang belakangan masuk pun lebih banyak terserap di industri padat modal ketimbang industri padat karya yang lebih punya daya serap tinggi untuk tenaga kerja,” kata Shinta.

KOMPAS, JUM’AT, 07082020 Halaman 1.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.