JAKARTA, KOMPAS — Jargon badan usaha milik negara atau BUMN sebagai motor penggerak ekonomi kerakyatan kerap digaungkan sepanjang pandemi Covid-19. Terpilihnya Menteri BUMN Erick Thohir sebagai Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional disertai harapan bahwa BUMN selaku kepanjangan tangan pemerintah dapat melakukan terobosan yang signifikan untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia.
Ekonom Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto, Kamis (6/8/2020), mengatakan, BUMN sejatinya memainkan peran penting karena bergerak di sektor-sektor yang terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak. Sifat dasar BUMN yang tidak seharusnya mengejar untung-rugi juga membuat BUMN tetap beroperasi untuk memenuhi layanan kebutuhan masyarakat kendati merugi.
Di sisi lain, sejumlah perseroan juga mendapatkan suntikan dana yang cukup besar dari pemerintah dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional. Suntikan dana itu dalam bentuk penyertaan modal negara, dana pinjaman (berupa obligasi wajib konversi/mandatory convertible bond) dan pembayaran utang pemerintah. Selain itu, perbankan pelat merah juga mendapatkan penempatan dana pemerintah sebesar Rp 30 triliun.
”Namun kenyataannya, banyak BUMN yang bermasalah. BUMN ini sebagian besar memang penting perannya karena menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi masalahnya, BUMN sekarang juga menjadi penyumbang masalah untuk perekonomian negara,” kata Eko.
BUMN ini sebagian besar memang penting perannya karena menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi masalahnya, BUMN sekarang juga menjadi penyumbang masalah untuk perekonomian negara.
Baca juga: Covid-19 dan Aspek Historikal Struktural BUMN
Kendati demikian, beberapa BUMN masih diharapkan kontribusinya untuk menggerakkan ekonomi, seperti PT Permodalan Nasional Madani (PNM) yang bertugas menyalurkan pembiayaan bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang mengalami kesulitan likuiditas.
Direktur Utama PT PNM Arief Mulyadi mengemukakan, sempat terjadi penurunan permintaan pinjaman yang signifikan pada periode April-Mei 2020 saat pembatasan sosial berskala besar masih berlaku ketat.
Realisasi pembiayaan PNM hingga Mei 2020 senilai Rp 6,71 triliun, turun 23,35 persen secara tahunan dibandingkan periode yang sama tahun 2019 senilai Rp 8,76 triliun.
”Kami tetap menyalurkan pembiayaan, tapi relatif sangat minim. Situasi baru mulai menggeliat pertengahan Juni dan di Juli ini semakin jauh membaik, karena mulai ada aktivitas usaha di bawah,” kata Arief.
Per Juli 2020 ini, nasabah untuk program Mekaar dan ULaMM bertambah signifikan menjadi 713.184 orang nasabah dibandingkan jumlah nasabah pada Juni 2020 sebanyak 380.264 orang. Adapun penyaluran pembiayaan ke nasabah Mekaar dan ULaMM hingga Juli 2020 total mencapai Rp 10 triliun (Mekaar Rp 9,15 triliun, ULaMM Rp 866 miliar).
Gerakan BUMN
Menurut Arief, PT PNM memiliki peran besar dalam proses pemulihan di ambang resesi ini karena langsung berkaitan dengan pemberdayaan UMKM selaku tulang punggung ekonomi kerakyatan. Pada triwulan III-2020, PT PNM memproyeksikan menyalurkan pembiayaan hingga Rp 2,4 triliun pada September 2020 kepada 797.179 nasabah.
”Selain mempertahankan nasabah lama, kami juga mencari nasabah baru. Caranya dengan jemput bola, bukan mereka yang mendatangi kami, tapi kami yang datangi mereka. Sasarannya pelaku usaha yang termarjinal yang selama ini tidak tersentuh bantuan lembaga keuangan,” katanya.
Suntikan dana dari pemerintah melalui skema PMN sebesar Rp 1,5 triliun untuk PT PNM pun dimasukkan dalam komponen modal untuk menambah ruang gerak perseroan untuk menyalurkan pembiayaan.
”Kami harapkan dananya bisa turun September 2020 ini agar sesuai proyeksi kami, yaitu total penyaluran pembiayaan sampai Desember nanti bisa mencapai Rp 12,1 triliun,” katanya.
Suntikan dana dari pemerintah melalui skema PMN sebesar Rp 1,5 triliun untuk PT PNM pun dimasukkan dalam komponen modal untuk menambah ruang gerak perseroan untuk menyalurkan pembiayaan.
Selain PT PNM, Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) juga telah menyalurkan kredit sebesar Rp 43,5 triliun hingga akhir Juli 2020. Itu bersumber dari penempatan dana pemerintah sebesar Rp 30 triliun melalui skema PEN ke empat bank BUMN sejak Juni 2020.
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, bank pelat merah terbukti dapat memanfaatkan dana pemerintah hingga tiga kali lipat sesuai target semula. ”Bank BUMN punya yang lebih agresif untuk menyalurkan kredit baru sehingga bisa membantu pemulihan ekonomi di triwulan III nanti,” katanya.
Tuntutan kontribusi juga digantungkan pada BUMN-BUMN yang bergerak di bidang farmasi dan kesehatan untuk membantu penanganan Covid-19. PT Bio Farma, misalnya, ditargetkan siap memproduksi vaksin Covid-19 sebanyak 250 juta dosis per tahun pada akhir 2020 ini.
Erick Thohir mengatakan, sampai awal Agustus 2020, kapasitas produksi vaksin di Bio Farma adalah 100 juta dosis per tahun. ”Dengan kapasitas ini, tahun depan ketika kita memproduksi vaksin Covid-19, jumlahnya sudah cukup. Tentu yang terpenting adalah uji klinis vaksin,” kata Erick.
Proposed Government Stimulus for SOEs
Untuk menjadikan BUMN selaku motor pemulihan ekonomi, penyaluran dana dari pemerintah seharusnya benar-benar selektif. ”Harus dipilah, mana BUMN yang memang perannya strategis, yang punya tools untuk mendorong recovery, dan mana BUMN yang sekadar tambal sulam dan menjadikan pandemi sebagai alasan untuk menyelamatkan diri,” kata Eko.
Ia mengkhawatirkan, selama alasan penyuntikan dan penempatan dana pemerintah ke BUMN memiliki motif politis, BUMN tidak bisa diharapkan banyak untuk memulihkan ekonomi, tetapi sebaliknya. Ujung-ujungnya hanya segelintir BUMN yang berkontribusi menggerakkan ekonomi dan menanggulangi pandemi.
”Selama alasannya politis dan tidak betul-betul mendesak, kita tidak bisa banyak berharap pada BUMN untuk memulihkan ekonomi, ujung-ujungnya hanya menyehatkan perusahaannya sendiri saja,” kata Eko.
Baca juga: Cegah Resesi, Daya Beli Ditingkatkan
BUMN aviasi dan pariwisata
Dalam rapat terbatas tentang penggabungan BUMN Aviasi dan Pariwisata di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, Presiden Joko Widodo mengakui, sektor pariwisata terkontraksi paling dalam. Namun hal ini justru menjadi momentum bagi para pemangku kepentingan terkait untuk konsolidasi dan melakukan transformasi di bidang pariwisata dan penerbangan.
”Pembenahan ini bisa dilakukan melalui penataan rute penerbangan, penentuan bandara hub dan superhub, serta kemungkinan penggabungan BUMN penerbangan dan pariwisata,” ujarnya.
Baca juga: Presiden Jokowi: Inilah Momentum Transformasi Sektor Pariwisata dan Penerbangan
Indonesia, lanjut Presiden Jokowi, memiliki 30 bandar udara internasional. Airline hub ini dinilai terlalu banyak dan tidak merata. Kenyataannya, 90 persen lalu lintas udara berpusat di empat bandara, yakni Bandara Soekarno-Hatta (Jakarta), Bandara I Gusti Ngurah Rai (Bali), Bandara Juanda (Jawa Timur), dan Bandara Kualanamu (Sumatera Utara).
”Indonesia harus berani menentukan bandara yang berpotensi menjadi international hub dengan pembagian fungsi sesuai dengan letak geografis dan karakteristik wilayahnya,” kata Jokowi.
Saat ini terdapat delapan bandara internasional yang berpotensi menjadi hub dan superhub. Kedelapan bandara itu adalah Bandara I Gusti Ngurah Rai, Soekarno-Hatta, Kualanamu, Bandara Yogyakarta, Bandara Sultan Aji Muhammad Sepinggan, Bandara Hasanuddin, Bandara Sam Ratulangi, dan Bandara Juanda.
KOMPAS, JUM’AT, 07082020 Halaman 10.