JAKARTA, KOMPAS — Penanganan aspek kesehatan dan program bantuan sosial ke masyarakat merupakan kunci utama keberhasilan pemulihan ekonomi nasional. Program perbaikan ekonomi tidak akan maksimal selama konsumsi masyarakat masih rendah dan kepercayaan dunia usaha belum pulih akibat pengendalian Covid-19 yang tidak maksimal.
Pemulihan ekonomi juga ditopang realisasi investasi. Namun, di masa pandemi Covid-19, tantangan untuk menarik investasi padat karya ke Indonesia cukup berat.
Untuk memadukan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi, pemerintah membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020.
Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta W Kamdani, Rabu (22/7/2020), pengusaha menyambut baik pembentukan komite baru yang menggabungkan penanganan kebijakan kesehatan dan ekonomi itu. Namun, menurut dia, perlu strategi yang lebih terukur untuk menjaga kondisi perekonomian sembari memerangi virus korona tipe baru.
Menurut Shinta, penanganan kesehatan tetap menjadi kunci pemulihan ekonomi. ”Kalau kita tidak bisa mengendalikan Covid-19, ekonomi tetap lebih lama pulihnya,” katanya.

Adapun aspek penting lain dalam pemulihan ekonomi dalam jangka panjang adalah mendorong permintaan. Saat ini permintaan masih rendah sehingga dampak pembukaan kegiatan ekonomi dan pelonggaran pembatasan sosial tidak terlalu signifikan.
”Kami minta pemerintah mengeluarkan stimulus untuk membantu meningkatkan daya beli masyarakat dan mendorong belanja pemerintah. Kita tidak bisa mengontrol permintaan dari luar negeri. Namun, kalau permintaan dalam negeri masih di dalam kendali kita,” ujar Shinta.
Konsumsi rumah tangga berperan 55-57 persen pada produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Pada triwulan I-2020, perekonomian Indonesia tumbuh 2,97 persen, sedangkan konsumsi rumah tangga tumbuh 2,84 persen secara tahunan.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah menyampaikan, kendati komite baru dibentuk, pada akhirnya implementasi dan realisasi kebijakan bergantung pada setiap kementerian teknis. Selama ini, koordinasi lintas kementerian/lembaga menjadi salah satu penghambat realisasi program pemulihan ekonomi nasional.
Tanpa perbaikan koordinasi, pembentukan komite baru diragukan akan membawa terobosan.
”Kalau hanya dalam bentuk ucapan dan program di atas kertas, tidak akan berjalan. Masalah utama koordinasi dan kerja cepat kementerian teknis tetap jadi penentu berbagai program pemulihan ekonomi ke depan,” kata Piter.
Tanpa perbaikan koordinasi, pembentukan komite baru diragukan akan membawa terobosan.
Dampak rendah
Realisasi investasi pada Januari-Juni 2020 sebesar Rp 402,6 triliun atau tumbuh 1,8 persen secara tahunan. Kendati realisasi investasi tumbuh, tetapi masih didominasi sektor tersier yang dampak bergandanya bagi perekonomian relatif rendah.

Perkembangan realisasi investasi berdasarkan sektor. Sumber: BKPM
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) pada semester I-2020 naik 13,2 persen secara tahunan menjadi Rp 207 triliun. Sementara, penanaman modal asing (PMA) turun 8,1 persen secara tahunan menjadi Rp 195,6 triliun pada Januari-Juni 2020.
Adapun tenaga kerja yang terserap pada investasi PMDN dan PMA pada semester I-2020 sebanyak 566.194 orang.
Secara sektoral, 54,9 persen investasi sepanjang Januari-Juni 2020 adalah sektor tersier atau sektor jasa dan industri jasa, yakni Rp 220,9 triliun. Adapun sektor sekunder dan sektor primer yang dibutuhkan Indonesia karena padat karya, masing-masing 32,2 persen dan 12,9 persen.

Baca juga: Meski Resesi, Nilai Investasi Singapura Masih yang Terbesar bagi RI
Kepala BKPM Bahlil Lahadalia memaparkan, sebagian besar investasi didominasi sektor tersier. Sebab, ruang gerak untuk mendorong investasi padat karya di masa pandemi Covid-19 terbatas. Investasi menghadapi tantangan terberat pada triwulan II-2020 ketika pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diberlakukan.
”Periode April-Juni 2020 paling berat, tetapi bukan berarti kinerja pemerintah tidak maksimal. Kami turun ke lapangan untuk menarik investasi yang mau datang atau yang mau ekspansi,” kata Bahlil dalam telekonferensi pers di Jakarta, Rabu.
Secara triwulanan, realisasi investasi turun dari Rp 210,7 triliun pada triwulan I-2020 menjadi Rp 191,9 triliun pada triwulan II-2020.
Menurut Bahlil, investasi yang dibidik Indonesia bukan hanya asing, melainkan investasi domestik serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kemudahan prosedur perizinan dan pemberian insentif diberikan kepada seluruh kelompok investor. Tujuannya, agar tak ada kesan pemerintah hanya menggelar karpet merah bagi investor asing.
Baca juga: Pengangguran dan Kemiskinan Mengancam, Pilih Investasi Strategis
Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal berpendapat, prospek investasi selama pandemi Covid-19 tertekan cukup dalam, baik yang bersumber dari pemerintah maupun swasta. Prospek ekonomi yang suram tahun ini juga mendorong pemerintah memangkas belanja besar-besaran, terutama belanja modal.
”Peluang menarik investasi ada dari rencana relokasi sejumlah pabrik dari China. Namun, Indonesia harus bersaing ketat dengan negara lain,” kata Faisal.
Core Indonesia memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi 2020 minus 1,5 persen dengan asumsi puncak pandemi terjadi pada triwulan III-2020 dan pemerintah tidak memberlakukan PSBB untuk kedua kalinya. Namun, jika kasus baru terus meningkat dan PSBB kembali diberlakukan, pertumbuhan ekonomi diperkirakan minus 3 persen.
Indonesia harus bersaing ketat dengan negara lain.
Terkait investasi, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyampaikan, strategi menarik investasi dilakukan BKPM dibantu duta besar dan diplomat Kementerian Luar Negeri untuk promosi dan sosialisasi investasi.
KOMPAS, KAMIS, 23072020 Halaman 10.