PANDEMI COVID-19: WHO Terbuka pada Bukti Korona Bertahan di Udara

GENEVA, RABU —Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mengumumkan adanya bukti baru yang menunjukkan Covid-19 kemungkinan bisa menular melalui udara. Para peneliti menemukan bukti, virus korona baru atau SARS-CoV-2 penyebab penyakit itu bisa berkelana sejauh 2 meter. Temuan baru itu akan dipublikasikan dalam waktu dekat.

”Kasusnya bertambah terus. Pekan ini saja ada 400.000 kasus baru dan kita belum sampai di puncaknya,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, Rabu (8/7/2020). Menurut Tedros, virus korona baru penyebab Covid-19 telah menyandera dunia.

Senin lalu, kelompok peneliti beranggotakan 239 peneliti dari sejumlah negara menyebutkan, tetesan berukuran di bawah 5 mikrometer yang mengandung virus SARS-CoV-2 yang diembuskan seseorang bisa melayang di udara selama beberapa jam dan berkelana hingga puluhan meter. ”Kami harus terbuka pada bukti ini dan memahami implikasinya sehubungan dengan cara penularan dan tindakan yang perlu diambil untuk mencegahnya,” kata Benedetta Allegranzi, Kepala Bidang Pengendalian Infeksi WHO.

Baca juga : Ilmuwan Menyakini Virus Korona Menyebar lewat Udara

”Kemungkinan penularan melalui udara dalam pengaturan publik, terutama dalam kondisi yang sangat spesifik, padat, tertutup, pengaturan berventilasi buruk, tidak dapat dikesampingkan. Namun, bukti perlu dikumpulkan dan ditafsirkan, dan kami terus mendukung ini,” ujar Allegranzi, Selasa (7/7), di Geneva, Swiss.

Ketua Tim Teknis Penanganan Pandemi Covid-19 WHO Van Kerkhove mengatakan akan memublikasikan ringkasan ilmiah yang merangkum tingkat pengetahuan tentang cara penularan virus dalam beberapa hari mendatang. ”Paket intervensi yang komprehensif diperlukan untuk menghentikan transmisi,” ujarnya.

Baca jugaWHO Revisi Panduan Penggunaan Masker, Tiga Hal Baru Perlu Diperhatikan

Modifikasi protokol

Menyikapi informasi terbaru itu, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto mengatakan, pernyataan WHO itu perlu diantisipasi secara cepat. Upaya pencegahan yang selama ini dilakukan perlu disesuaikan. ”Organisasi profesi masih membahas hal itu karena implikasinya bisa besar. Jika terbukti ada kemungkinan penularan secara airborne (udara), protokol kesehatan perlu modifikasi dan harus dijalankan lebih ketat,” ucap Agus.

Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Supolo Sudoyo mengatakan, para pihak harus bersiap mengubah protokol penanganan jika WHO akhirnya mengakui Covid-19 bisa ditularkan secara airborne atau melalui udara. ”Pada akhirnya, ini seperti avian flu (flu burung), yang juga airborne, walau tetap dari tetesan dan aerosol. Yang membedakan dengan flu, kematian akibat Covid-19 lebih tinggi,” ujarnya.

Risiko penularan Covid-19 melalui udara bisa lebih tinggi bagi tenaga kesehatan dan petugas laboratorium yang menganalisis spesimen. Sebagai langkah antisipatif, Lembaga Eijkman sudah menerapkan kehati-hatian dalam pemeriksaan spesimen SARS-CoV-2 pemicu Covid-19. ”SOP kita sudah untuk virus airborne. Karena itu, analisis spesimen dilakukan di ruang isolasi BSL (level keamanan hayati)-3,” katanya.

SOP kita sudah untuk virus airborne.

Sebelumnya, WHO bersikeras bahwa Covid-19 hanya ditularkan melalui tetesan yang dikeluarkan ketika orang batuk atau bersin. Karena tetesan dianggap tidak bertahan lama di udara dan akan jatuh ke permukaan, mencuci tangan telah menjadi langkah utama pencegahan yang dianjurkan.

Namun, sebagaimana disebutkan, sebanyak 239 ilmuwan dari 32 negara menentangnya. Mereka mengajukan bukti-bukti kuat yang menunjukkan bahwa virus SARS-CoV-2 juga bersifat airborne atau dapat menyebar melalui udara. Ketika orang berbicara atau bernapas, virus ini dapat ikut keluar dan mengapung berjam-jam di udara.

Pendapat para ahli ini ditulis dalam surat terbuka kepada WHO dan diterbitkan dalam jurnal Clinical Infectious Diseases, Senin (6/7). Dalam satu artikel disebutkan, studi virus lain sebelum pandemi ”menunjukkan tanpa keraguan” bahwa tetesan yang dikeluarkan orang yang sakit dapat berada di udara dan menimbulkan risiko pajanan pada jarak lebih dari 1 meter hingga 2 meter dari orang yang terinfeksi.

Riset lebih baru juga menunjukkan, hal yang sama berlaku untuk SARS-CoV-2. Dalam beberapa kasus yang dilaporkan, orang sakit setelah berada di ruangan yang sama dengan orang yang terinfeksi meskipun mereka tidak memiliki kontak dekat atau berkelanjutan. Berdasarkan data ini, para ilmuwan itu mendesak WHO agar memperbarui panduannya.

(AP/AFP/REUTERS/LUK/TAN/AIK)

KOMPAS, KAMIS, 09072020 Halaman 1.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.