BUMN: Tantangan Restrukturisasi BUMN

Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir merestrukturisasi BUMN dengan memangkas jumlah BUMN dari 142 menjadi 107 BUMN, dan akhirnya menjadi 70-80 BUMN. Restrukturisasi juga dilakukan dengan membongkar pasang komisaris dan direksi. Jumlah kluster BUMN yang semula 27, kini menjadi 12 sehingga setiap wakil menteri menangani enam kluster.

Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo membawahkan: (1) Kluster Industri Migas dan Energi, (2) Kluster Minerba, (3) Kluster Perkebunan dan Kehutanan, (4) Kluster Pupuk dan Pangan, (5) Kluster Farmasi dan Kesehatan, serta (6) Kluster Pertahanan, Manufaktur, dan Industri Lainnya.

Kartika sebelumnya pernah menjabat Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (Bank Mandiri) dan Direktur Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

Sementara enam kluster lain yang berada di bawah Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin adalah: (1) Kluster Jasa Keuangan, Jasa Asuransi, dan Dana Pensiun, (2) Kluster Telekomunikasi dan Media, (3) Kluster Pembangunan Infrastruktur, (4) Kluster Pariwisata, (5) Kluster Logistik dan Lainnya, serta (6) Kluster Sarana dan Prasarana Perhubungan. Budi Gunadi sebelumnya menjabat Dirut PT Inalum dan Bank Mandiri

Pertimbangan utama

Apa saja faktor yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan restrukturisasi BUMN? Menetapkan kriteria tegas, melirik milenial, memangkas manajemen puncak, menentukan komposisi direksi, menggandeng sektor swasta, menyusun kembali grand strategy dalam tatanan normal baru (new normal) dan merevitalisasi penerapan tata kelola yang efisien.

Pertama, kriteria posisi komisaris dan direksi. Kementerian BUMN memiliki visi ”Menjadi pembina BUMN yang profesional untuk meningkatkan nilai BUMN”. Saat ini, Erick Thohir terus merombak susunan, baik komisaris maupun direksi BUMN di hampir di semua kluster. Namun, publik tidak mengetahui persis apa kriteria dalam menetapkan komisaris dan direksi BUMN.

Namun, publik tidak mengetahui persis apa kriteria dalam menetapkan komisaris dan direksi BUMN.

Menurut publikasi ”Kepemilikan dan Tata Kelola BUMN: Ringkasan Praktik Nasional” (Ownership and Governance of State-Owned Enterprises: Compendium of National Practices, OECD, 2018), sekitar separuh dari 23 negara yang ikut dalam penelitian OECD mengaku memiliki kriteria kualifikasi minimum untuk menetapkan anggota komisaris dan direksi.

Selama ini, rasanya belum ada kriteria yang baku dalam menetapkan komisaris dan direksi BUMN di Indonesia, padahal itu penting. Karena itu, disarankan agar kriteria komisaris dan direksi itu meliputi kalangan profesional, memiliki integritas tinggi, kompetensi tinggi, pengalaman dalam bidangnya, dan bukan partisan.

Kriteria berpengalaman dalam bidangnya itu sangat penting. Posisi dirut, misalnya, amat strategis dalam suatu BUMN sebagai ujung tombak dalam menyuburkan pertumbuhan ekonomi nasional. Sebelumnya pernah terjadi, dirut dari kluster jasa keuangan dirotasi menjadi dirut di kluster baru yang tak menyambung sama sekali dengan kluster lama.

Karena tak memiliki pengalaman di bidang yang baru, dirut itu mengalami kesulitan dan kurang berhasil dalam mengembangkan klusternya meskipun ia didampingi wakil direktur dan puluhan pemimpin divisi.

Kedua, sekarang ini Indonesia mempunyai sekitar 80 juta generasi milenial dari sekitar 267 juta penduduk. Generasi milenial ini menjadi incaran hampir semua sektor, termasuk BUMN. Bagi sektor bisnis, generasi milenial merupakan basis nasabah yang sangat potensial. Kini beberapa generasi milenial telah duduk menjadi komisaris atau direksi di BUMN maupun anak perusahaan.

Penempatan generasi milenial ini dimaksudkan untuk memberikan darah baru nan segar dan visi yang jauh ke depan dalam mengembangkan BUMN. Hal itu dapat dimaklumi mengingat mereka pada umumnya lulusan perguruan tinggi luar negeri terkemuka. Mampukah harapan tinggi di pundak mereka menjadi kenyataan? Waktu yang akan membuktikannya.

Ketiga, rangkap jabatan komisaris. Ada generasi milenial yang menduduki posisi komisaris di tiga BUMN atau anak perusahaan. Memang seorang komisaris tidak harus bekerja setiap hari purnawaktu (full time) di suatu BUMN. Namun, mampukah seorang komisaris milenial dapat memajukan tiga BUMN sekaligus dalam waktu bersamaan?

Jawabnya: mungkin! Namun, kemungkinan besar ia tidak mampu memberikan kontribusi yang optimal kepada tiga BUMN tersebut. Sekali lagi, posisi komisaris dan direksi bukan posisi coba-coba. Praktik rangkap jabatan komisaris sangat disarankan untuk ditanggalkan guna menjamin lahirnya profesionalitas sebagaimana visi BUMN.

Generasi milenial ini menjadi incaran hampir semua sektor, termasuk BUMN.

Memangkas jumlah

Keempat, pemangkasan jumlah komisaris dan direksi. Kita mungkin juga terbelalak manakala melihat jumlah komisaris dan direksi di BUMN kelas kakap yang masing-masing bisa mencapai 10 orang. Demikian pula di bank BUMN yang setiap direktur bisa membawahkan sekitar tiga divisi.

Adalah logis seorang direktur membawahkan tiga divisi. Namun, di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit diprediksi saat ini, tentu hal itu dapat dikatakan kurang efisien. Kenapa? Karena posisi direktur atau komisaris terkait dengan pengeluaran yang tinggi berupa gaji dengan aneka tunjangan jabatan dan fasilitas. Di titik inilah keberanian untuk memangkas jumlah komisaris dan direksi merupakan hal yang sangat tepat.

Kelima, kini saatnya bagi Kementerian BUMN untuk menetapkan komposisi direksi BUMN yang dapat terdiri dari pihak pemerintah (negara) dan sektor swasta. Langkah ini sekaligus dalam rangka menggandeng sektor swasta (public private partnership/PPP).

Penelitian OECD di sejumlah negara OECD juga menunjukkan diterapkannya komposisi direksi bauran yang mewakili negara dan direktur ”independen”. Mayoritas sektor swasta atau independen 44 persen, bauran antara sektor wasta dan independen 39 persen, serta mayoritas sektor publik 17 persen.

Kerja sama dengan sektor swasta juga perlu ditingkatkan dalam pembangunan infrastruktur, seperti bandara, pelabuhan laut, irigasi, jalan tol, jembatan, jalan kereta api, termasuk transportasi massal cepat (MRT) dan kereta ringan (light rail transit/LRT), telekomunikasi, dan pembangkit tenaga listrik.

Keenam, bongkar pasang komisaris dan direksi. Sering kita jumpai komisaris, terlebih direksi, dirotasi dari kluster yang sama atau bahkan ke kluster lain dalam jangka waktu yang terlalu pendek. Katakanlah, setahun lebih. Apa yang dapat dilakukan dalam kurun waktu itu? Rencana kerja yang sedang berjalan dapat tersendat, padahal belum menghasilkan buah manis. Belum lagi tatkala rencana kerja diubah total oleh pejabat penggantinya.

Bahkan, sering kali BUMN justru lebih sibuk mengurusi perombakan komisaris dan atau direksi, terlihat dari lebih seringnya mereka menyelenggarakan rapat umum pemegang saham (RUPS) untuk menetapkan susunan baru komisaris dan direksi. Sebaliknya, sektor swasta terus ngebut mengejar target bisnis dengan perubahan komisaris dan direksi yang lebih ”tahan lama” dan tertata.

Sebaliknya, sektor swasta terus ngebut mengejar target bisnis dengan perubahan komisaris dan direksi yang lebih ”tahan lama” dan tertata.

Maka tak mengherankan, seperti di perbankan, semakin banyak bank swasta papan atas yang naik kelas menjadi bank umum kelompok usaha (BUKU) 4 dengan modal inti di atas Rp 30 triliun. Sekarang, BUKU 4 bukan hanya meliputi tiga bank BUMN, yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (Bank BRI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (Bank Mandiri), dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI), melainkan juga empat bank swasta, yakni PT Bank Central Asia Tbk (BCA), PT CIMB Niaga Tbk, PT Bank Panin Tbk, dan PT Bank Danamon Indonesia Tbk.

Pada umumnya di bank swasta, beberapa bulan sebelumnya komisaris atau direksi telah diberi tahu jika akan diganti. Hal itu berbeda dengan bank pemerintah dengan pemberitahuan yang lebih sering mendadak, bahkan bisa jadi ketika RUPS segera berlangsung.

Ada baiknya memberi kesempatan yang cukup bagi direksi untuk melaksanakan rencana korporasi selama lima tahun yang dijabarkan dalam rencana kerja setiap tahun. Direksi baru dapat dievaluasi dengan basis kinerja, bukan faktor lainnya.

Waktu yang memadai bagi direksi dan komisaris akan membuahkan kontribusi lebih tinggi bagi BUMN. Alhasil BUMN akan makin moncer mengingat tak sedikit BUMN, anak, atau cucu perusahaan yang merugi.

Ketujuh, akan lebih taktis ketika jauh sebelumnya Kementerian BUMN menyusun kembali strategi besar BUMN dalam menghadapi tatanan normal baru berbasis protokol kesehatan di tengah turbulensi ekonomi. Kemudian, menjadi tugas direksi yang didampingi komisaris untuk menerjemahkan strategi itu ke dalam rencana korporasi sejalan dengan kluster masing-masing.

Kedelapan, posisi komisaris dan direksi BUMN juga diisi untuk kepentingan politik atau balas budi. Itu sah-sah saja! Namun, kriteria tetap harus benar-benar dipegang. Mereka yang berasal dari partai politik wajib menanggalkan keanggotaannya. Jangan sampai justru BUMN yang dikorbankan hanya untuk menampung mereka yang tidak memenuhi kriteria.

Kesembilan, BUMN harus mengedepankan tata kelola yang efisien. Hal itu dapat memengaruhi pengembangan ekonomi yang lestari dan berdampak positif ke masyarakat melalui pemberian layanan publik. Dengan berbagai langkah di atas, diharapkan restrukturisasi BUMN bisa menuntun BUMN menjadi profesional, sehat, dan menguntungkan.

Paul Sutaryono

Staf Ahli Pusat Studi BUMN; Pengamat Perbankan;

Mantan Assistant Vice President BNI

KOMPAS, KAMIS, 09072020 Halaman 6.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.