JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan lingkungan dari kegiatan pertambangan yang ekstraktif sangat bergantung pada ketatnya pengawasan. Sayangnya, regulasi pascatambang yang mendorong perusahaan melakukan reklamasi lahan bekas tambang belum diiringi pengawasan memadai.
Keterbatasan sumber daya manusia serta persekutuan antara pelaku usaha dan pemerintah setempat dinilai menjadi kendala serius. Situasi ini tecermin dari perusakan lingkungan yang terjadi di lokasi-lokasi tambang.
Pakar lingkungan pertambangan, Witoro Soelarni, Selasa (30/6/2020), berpendapat, regulasi yang mencegah pencemaran lingkungan akibat usaha pertambangan umum sebenarnya sudah banyak dan berlapis. Acuan yang paling pertama digunakan untuk pengawasan pertambangan bahkan sudah ada sejak zaman kolonial dalam bentuk Mijn Politie Reglement (Peraturan Kepolisian Pertambangan) 341 Tahun 1930.
Di aturan itu, ada pasal-pasal yang mengatur mengenai perlindungan terhadap lingkungan. Petunjuk teknis reklamasi lahan bekas tambang pun sudah keluar sejak tahun 1993.
Regulasi pascatambang juga diperketat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Pemegang izin usaha pertambangan (IUP) wajib mereklamasi lahan bekas tambang. Sanksi pidana diterapkan bagi perusahaan yang tidak memberi dana jaminan reklamasi lahan bekas tambang.
Sanksi pidana yang diberikan berupa penjara maksimal lima tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar. Namun, pada faktanya, kasus perusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan yang merugikan masyarakat sekitar perusahaan masih terjadi.

Baru-baru ini, masyarakat di Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, mendesak pemerintah setempat untuk membatalkan izin tambang dan pabrik semen di Kampung Lengko Lolok dan Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda. Kegiatan penambangan di wilayah ekoregion itu dianggap berdampak buruk bagi keberlangsungan lingkungan dan kualitas hidup masyarakat setempat.
Witoro mengatakan, sebanyak apa pun regulasinya, pada praktik di lapangan, perlindungan lingkungan di sekitar pertambangan sangat bergantung pada sistem pengawasan. Persoalannya, kemampuan personel pengawasan atau inspektur tambang sangat jauh dari memadai. Di sisi lain, ada kecenderungan juga sejumlah pelaku industri menutup diri dari pengawasan.
Baca juga: Pusaran Konflik Lubang Bekas Tambang
Seiring berkembangnya waktu, kata Witoro, pelaku industri mulai lebih terbuka pada pengawasan. ”Inspektur tambang dan industri seharusnya adalah mitra. Keterbukaan dari pihak industri menjadi kunci penting,” kata Witoro dalam diskusi bedah buku dalam jaringan Aksi Hijau di Lingkar Tambang.
Pakar lingkungan pertambangan Institut Teknologi Bandung (ITB), Rudy Sayoga Gautama, menambahkan, sebagai industri yang berisiko besar, pertambangan harus dipagari banyak peraturan. Namun, persoalan terletak pada sisi pengawasan. Pada periode 2001-2009, terjadi ledakan pemberian izin pertambangan (IUP) hingga mencapai ribuan izin, yang tidak diiringi dengan kapasitas melakukan pengawasan.
”Pada masa itu, ada pandangan bahwa tambang itu urusan gampang, hanya modal menggali saja. Padahal, seorang petambang harus siap untuk masuk dan membangun daerah dari nol, baik dari aspek lingkungan maupun masyarakatnya,” tutur Rudy.

Senada dengan Rudy, Kepala Pusat Studi Reklamasi Tambang Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat IPB University Dyah Tjahyandari mengatakan, inspektur tambang di daerah sangat terbatas, sementara perusahaan yang harus diawasi sangat banyak. Satu provinsi hanya memiliki 1-3 orang inspektur tambang yang harus mengawasi puluhan perusahaan. ”Bisa dibayangkan betapa sulit pengawasannya,” ujar Dyah.
Selama revegetasi dan reklamasi dilakukan dengan benar, kata Dyah, ada potensi kecenderungan perubahan kualitas tanah di lahan bekas tambang. ”Ada optimisme bahwa setelah reklamasi, kondisi lingkungan menjadi lebih baik. Akan tetapi, harus diakui, untuk mereklamasi, butuh waktu yang cukup lama, bisa sampai 10 tahun,” katanya.
Di sisi lain, penegakan pengawasan juga tidak bisa memadai karena terkendala konflik kepentingan. Di sejumlah daerah ditemukan banyak kasus keterlibatan pejabat publik sebagai regulator sekaligus pemilik usaha tambang. Liputan investigatif Kompas pada 2019 menunjukkan, ada gubernur yang memiliki banyak IUP berlisensi clear and clean (CnC) sehingga kasus sisa lubang tambang yang tidak direklamasi perusahaan miliknya lolos begitu saja.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, saat ini pemerintah sedang menyusun peraturan turunan dari UU Minerba. Dalam regulasi baru, ia mengatakan, aspek lingkungan hidup lebih menjadi perhatian dan penegakan hukumnya akan lebih intens.
Menurut dia, praktik pertambangan yang memperhatikan lingkungan sudah dilakukan sejumlah perusahaan, tetapi sosialisasinya kurang intens sehingga stigma negatif cenderung melekat di wajah pertambangan. ”Reklamasi lahan bekas tambang akan menjadi kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi oleh pengusaha,” kata Rida.
KOMPAS, RABU, 01072020 Halaman 10.