PEMBERANTASAN KORUPSI: Rapor Merah dari Masyarakat Sipil untuk KPK

JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi memasuki masa suram setelah dalam satu semester ini minim prestasi.  Masyarakat sipil mencatat, setidaknya ada 22 catatan buruk terhadap kinerja KPK pada Semester I 2020 ini.

Catatan buruk yang terjadi di KPK sejak Desember sampai dengan Juni ini tidak lepas dari peristiwa pelemahan terhadap KPK sepanjang 2019 lalu. Pelemahan tersebut dilakukan melalui revisi Undang-Undang KPK dan proses pemilihan pimpinan KPK yang sarat kepentingan politik. Akibatnya, beberapa kontroversi muncul.

Hasil survei Indo Barometer dan Alvara telah menunjukkan penurunan tingkat kepercayaan masyarakat kepada KPK pada Februari lalu. Namun, ternyata setelah empat bulan, KPK tidak ada perubahan. Hal tersebut dapat dilihat dari data Libang Kompas yang dikeluarkan pada Juni ini.

Berbagai persoalan selama enam bulan terakhir ini berimplikasi pada penurunan tingkat kepercayaan masyarakat kepada KPK. Hal tersebut dapat dilihat dari survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas, Indo Barometer, dan Alvara Research Center.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, hasil survei Indo Barometer dan Alvara telah menunjukkan penurunan tingkat kepercayaan masyarakat kepada KPK pada Februari lalu. Namun, ternyata setelah empat bulan, KPK tidak ada perubahan. Hal tersebut dapat dilihat dari data Libang Kompas yang dikeluarkan pada Juni ini.

Evaluasi yang dikeluarkan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) pada Kamis (25/6/2020) memperlihatkan situasi stagnasi pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.

“Kami menemukan ada 22 masalah dalam kinerja sektor internal organisasi, penindakan, dan pencegahan. Kami berkesimpulan bahwa ini merupakan rapor merah bagi lembaga antirasuah. Dari mulai KPK berdiri, sebenarnya ini era KPK yang paling banyak masalahnya. Saya rasa belum pernah KPK sekacau ini dan belum pernah kepercayaan publik jatuh,” kata Kurnia.

Kami menemukan ada 22 masalah dalam kinerja sektor internal organisasi, penindakan, dan pencegahan. Kami berkesimpulan bahwa ini merupakan rapor merah bagi lembaga antirasuah.

Kurnia menjelaskan, catatan buruk pada penindakan terlihat dari penurunan jumlah tangkap tangan. Dalam enam bulan pertama, KPK hanya mampu melakukan dua operasi tangkap tangan (OTT). Jumlah tersebut jauh di bawah tahun sebelumnya, yakni 2016 ada 8 OTT, 2017 (5), 2018 (13), dan 2019 (7).

Baca juga: Modal Sosial KPK Semakin Tergerus

Ketika KPK minim melakukan penindakan, jumlah buron mereka justru lebih banyak yakni masih ada lima orang. Mereka adalah politisi PDI-P, Harun Masiku; Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto; serta Direktur PT Borneo Lumbung Energy dan Metal Samin Tan.

Selain mereka, masih ada buronan ”warisan” kepemimpinan KPK sebelumnya, yang belum ditangkap, yakni Syamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Perkara yang ditangani KPK pun tidak menyentuh pada persoalan besar. Di sisi lain, tidak ada perkembangan penanganan persoalan-persoalan besar seperti kasus BLBI, KTP elektronik, dan kasus Bank Century.

Ketika minim penindakan, KPK justru disibukkan dengan persoalan internal organisasi, diantaranya pengembalian paksa penyidik ke instansi asal, publikasi penghentian penyidikan, akses informasi publik tertutup, kental gimik politik, ragam persoalan seleksi jabatan internal, dan sebagainya.

Keberadaan Dewan Pengawas juga menimbulkan tanda tanya. Fungsi Dewas belum berjalan efektif sebagaimana yang dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.

Sektor pencegahan

Peneliti TII Alvin Nicola mengungkapkan, pada sektor pencegahan KPK juga memperoleh rapor merah. Revisi UU KPK tidak hanya menghambat kerja-kerja penegakan hukum KPK, tetapi juga berdampak pada terhambatnya efektivitas program pencegahan korupsi.

Pada sektor pencegahan KPK juga memperoleh rapor merah. Revisi UU KPK tidak hanya menghambat kerja-kerja penegakan hukum KPK, tetapi juga berdampak pada terhambatnya efektivitas program pencegahan korupsi.

Gejala tersebut dapat dilihat dari ekspektasi dan persepsi publik yang menurun dalam waktu enam bulan pertama ini. Catatan dari Litbang Kompas menunjukkan bahwa citra KPK pada saat ini menjadi yang terburuk dalam delapan jajak pendapat secara berkala dari Januari 2015 hingga Juni 2020.

“Dalam konteks pencegahan, rekomendasi yang sudah dilayangkan KPK kepada lembaga-lembaga negara sangat sedikit yang mematuhinya,” kata Alvin.

Baca juga: Firli Bahuri: Tim Penindakan KPK Masih Bekerja Keras di Lapangan

Hal tersebut terlihat dari rekomendasi terkait kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), pendataan jaring pengaman sosial dalam penanganan Covid-19, dan program Kartu Prakerja belum sepenuhnya dijalankan. Di tingkat daerah, program-program terkait dengan koordinasi dan supervisi pencegahan juga belum dijalankan secara signifikan.

Program pencegahan di sektor strategis juga terlihat stagnan. KPK akan fokus pada sektor bisnis, politik, penegakan hukum, dan pelayanan publik. Namun, pada kenyataannya tidak tampak jelas peta jalan mana yang mereka akan ambil untuk melakukan pencegahan pada sektor tersebut.

Menurut Alvin, seharusnya KPK memberikan prioritas pada sektor politik. Sebab, sektor ini merupakan akar dari korupsi yang ada di Indonesia. Apabila KPK tidak berani masuk dalam sektor politik, maka pencegahan korupsi dalam strategi apapun akan menemui jalan buntu.

Seharusnya KPK memberikan prioritas pada sektor politik. Sebab, sektor ini merupakan akar dari korupsi yang ada di Indonesia. Apabila KPK tidak berani masuk dalam sektor politik, maka pencegahan korupsi dalam strategi apapun akan menemui jalan buntu.

Managing Director Paramadina Public Policy Institute Ahmad Khoirul Umam mengungkapkan, dari survei yang dilakukan PPPI juga menunjukkan revisi UU KPK dan pergantian kepemimpinan berdampak negatif terhadap kinerja KPK.

Dari 60 responden yang disurvei, mayoritas responden (74 persen) merasa tidak puas terhadap kinerja pimpinan KPK yang baru. Hal ini harus menjadi lecutan untuk meningkatkan kinerja dan kembali meraih kepercayaan publik dan kelompok masyarakat sipil sebagai garda terdepan pembela KPK.

Ironisnya, sebanyak 51 persen responden menilai hubungan KPK dengan kalangan masyarakat sipil cenderung tidak baik. Hal ini harus dievaluasi mengingat elemen masyarakat sipil adalah pilar paling sehat bagi demokrasi dan agenda antikorupsi di Indonesia.

“Pimpinan KPK yang baru perlu memahami sejarah bahwa masyarakat sipil adalah bumper utama bagi pertahanan KPK,” kata Ahmad.

Pengajar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, KPK sebenarnya memiliki fungsi sebagai penjaga keseimbangan kekuatan antarlembaga penegak hukum.

Baca juga: Korupsi, dari Dulu hingga Kini

Akan tetapi, ketika fungsi tersebut dirubah melalui revisi UU KPK dan kepemimpinannya diubah seperti sekarang, maka timbul berbagai permasalahan. Karena itu, wacana judicial review (JR) terhadap UU KPK harus dikuatkan. Hal tersebut bertujuan untuk mengembalikan KPK ke arah yang lebih baik.

Sependapat dengan Bivitri, Wakil Ketua KPK 2015-2019 Saut Situmorang menyatakan, JR terhadap revisi UU KPK harus dilakukan. Sebab, sekarang negeri ini berada dalam situasi yang sangat mengkhawatirkan karena KPK sedang mengalami korosi.

Telah bekerja

Menanggapi evaluasi tersebut, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, KPK menghargai inisiatif masyarakat untuk mengawasi kinerja KPK. Mereka akan mempelajari kajian tersebut dan jika dibutuhkan akan mengundang TII dan ICW untuk paparan di KPK.

“Kalau ada data yang keliru bisa dikoreksi, tetapi jika memang pembacaan dan rekomendasinya tepat tentu bisa bermanfaat sebagai masukan untuk KPK,” kata Ali.

KPK berharap ada lebih banyak kajian dan masukan yang disampaikan masyarakat dan lembaga pendidikan atau pihak lain ke KPK.

Akan tetapi, KPK menunjukkan bahwa selama semester I Tahun 2020 ini telah bekerja. Di bidang penindakan, setidaknya KPK telah mengeluarkan 30 surat perintah penyidikan dengan total 36 tersangka. Mereka juga menangani kasus dengan kerugian keuangan negara ratusan milyar seperti kasus di Bengkalis (Riau) dan  dugaan korupsi di tubuh PT Dirgantara Indonesia.

KPK menunjukkan bahwa selama semester I Tahun 2020 ini telah bekerja. Di bidang penindakan, setidaknya KPK telah mengeluarkan 30 surat perintah penyidikan dengan total 36 tersangka.

KPK juga telah menangkap dan menahan dua buronan kasus suap dan gratifikasi di Mahkamah Agung yakni bekas Sekretaris MA, Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono. Selama Semester I ini, KPK juga telah menahan 27 tersangka. Jumlah pemulihan aset yang disetor ke kas negara dari denda, uang pengganti, dan rampasan mencapai Rp 63 miliar.

Di bidang pencegahan, KPK memantau dana, menganalisa, dan memberikan rekomendasi terkait permasalahan sistemik yang dihadapi terkait pengadaan barang dan jasa (PBJ) Covid-19. Mereka juga mengkoordinasi supervisi pencegahan terintegrasi untuk menyelamatkan dan memulihkan aset melalui kerjasama dengan Kejaksaan RI di pemerintah daerah, kementerian/lembaga, dan Badan Usaha Milik Negara.

KPK terus mendorong kepatuhan pada Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Mereka juga telah menyurati Presiden terkait rekomendasi kajian BPJS dan terus mendorong kepatuhan penyelenggara negara dan pegawai negeri untuk melaporkan penerimaan gratifikasi yang dilarang.

Per 22 Juni 2020, sebanyak 146 daerah telah mengimplementasikan pendidikan antikorupsi yang mencakup 62.289 SD, 15.104 SMP, dan 14.552 SMA.

Baca juga: Mantan Ketua MA: Ada Anomali Ketatanegaraan dalam Pembuatan UU KPK

KOMPAS, JUM’A, 26062020 Halaman 2.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.