Meskipun BUMN sekarang ini disebut-sebut sudah banyak mengalami perubahan, tradisi bagi-bagi ”kue” kekuasaan untuk pengisian jabatan tetap terus berlangsung hingga kini.
Tak ada yang benar-benar baru di kolong langit. Ungkapan ini berlaku pula untuk badan usaha milik negara. Hingga kini, BUMN kerap digunakan sebagai salah satu pilar menopang berbagai kepentingan. Tak heran jika kinerjanya menjadi tak maksimal.
BUMN tidak selalu diisi profesional, tetapi cuma bagi-bagi jatah loyalis, sukarelawan, dan partai politik. Konflik kepentingan kental. Akibatnya, sejak dulu hingga kini sama saja. Demikian kesimpulan seorang warganet dengan akun Fajrybass menanggapi diskusi di Satu Meja The Forum bertema ”BUMN, Utak-atik, dan Belenggu Politik” yang diunggah di Youtube. Acara yang dipandu wartawan senior harian Kompas, Budiman Tanuredjo, itu disiarkan Kompas TV, Rabu (24/6/2020) malam.
Tampil sebagai narasumber adalah anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Adian Napitupulu; Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga; Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo; dan Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yudha. Isu-isu yang muncul, antara lain, soal pengisian jabatan komisaris dan direksi, janji Presiden Joko Widodo mengambil beberapa sukarelawan sebagai pejabat publik, serta utang BUMN.
Baca juga : BERSIHKAN JEJARING KORUPTOR DI BUMN
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, maksud dan tujuan pendirian BUMN mencakup lima hal. Selain memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional dan penerimaan negara, BUMN juga mengejar keuntungan. Tujuan lain, menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa dan memadai bagi hajat hidup orang banyak, perintis kegiatan-kegiatan usaha, serta aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Bahwa ada unsur-unsur itu tadi (usulan), selama punya kompetensi, tak ada masalah. Endorsement itu wajar. Kalau selama itu bagus, kenapa tidak.
Untuk mencapainya, sejumlah kebijakan dilakukan. Misalnya, memperkuat kelembagaan BUMN lewat konsep holdingisasi, restrukturisasi, dan perubahan organisasi. BUMN yang sebelumnya berjumlah 142 perusahaan dirampingkan menjadi 107 perusahaan.
Untuk memperkuat likuiditas BUMN, pemerintah menggelontorkan dana dengan skema penanaman modal negara (PMN). Selama 2015-2019, total PMN dikucurkan ke BUMN Rp 142,38 triliun. Tahun ini, alokasinya Rp 25,27 triliun. Angka ini belum termasuk Rp 116,08 triliun untuk kompensasi, dana talangan, dan subsidi. Dengan demikian, total anggaran ke BUMN untuk pemulihan ekonomi Rp 142,25 triliun.
Sementara setoran dividen sebagai salah satu indikator kesuksesan BUMN dianggap kurang sepadan. Dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, setoran dividen 2015-2019 tumbuh rata-rata 5,11 persen per tahun dengan nominal rata-rata Rp 42,9 triliun per tahun.
Dianggap wajar
Arya mengatakan, Kementerian BUMN banyak berbenah, di antaranya merestrukturisasi dan reformasi. Terkait pengisian calon pejabat di BUMN, ia mengakui banyak nama diusulkan. Hal ini dinilai wajar. Pasalnya, yang penting Kementerian BUMN melakukan perekrutan sesuai prosedur. ”Bahwa ada unsur-unsur itu tadi (usulan), selama punya kompetensi, tak ada masalah. Endorsement itu wajar. Kalau selama itu bagus, kenapa tidak,” kata Arya.
Adian menganggap kebijakan Menteri BUMN Erick Thohir tak konsisten. Banyak pensiunan yang menjabat di BUMN. Padahal, awalnya, Erick mengeluhkan. Namun, belakangan justru banyak penempatan pensiunan di BUMN.
Penempatan orang-orang di BUMN yang kompetensinya tidak pas juga disorot. Ia mempertanyakan orang-orang yang berafiliasi pada partai di luar pemerintahan, tetapi justru diberi jabatan. Hal itu karena mereka yang tak mendukung Presiden Jokowi saat pilpres layak dipertanyakan komitmennya terhadap visi-misi Nawacita Presiden Jokowi.
Meski demikian, Adian tak sepakat tudingan BUMN dijadikan bancakan politik. ”Saya tidak setuju istilah itu. Data saya, sebelum perampingan BUMN, ada 6.000 posisi di BUMN, komisaris dan direksi. Kalau 10 persen orang parpol, itu baru 600 orang. Tidak bisa disebut bancakan politik. Kita harus bedah, isinya siapa saja,” katanya.
Prastowo mengatakan, terpenting dalam pengisian jabatan di BUMN adalah standar dan kriteria jelas. Selanjutnya, proses perekrutannya transparan. ”Yang penting adalah kriteria, kompetensi, dan meritokrasi, yakni proses transparan dan akuntabel, dan didudukkan pada proses kelembagaan yang betul-betul transparan dan akuntabel. Kalau itu dilakukan, menurut saya, tak ada persoalan,” tutur Prastowo.
Kinerja BUMN, Prastowo menambahkan, akhirnya berdampak pada masyarakat. Jika profesional dan sukses, BUMN akan memberikan dividen sebagai salah satu sumber pembiayaan APBN untuk dana pembangunan. Sebaliknya, jika kinerja BUMN buruk, sumbangsihnya ke APBN juga minimalis. Yang penting adalah kriteria, kompetensi, dan meritokrasi, yakni proses transparan dan akuntabel, dan didudukkan pada proses kelembagaan yang betul-betul transparan dan akuntabel. Kalau itu dilakukan, menurut saya, tak ada persoalan.
Pusaran kekuasaan
Hanta menyampaikan, tradisi bagi-bagi ”kue” kekuasaan di posisi menteri, duta besar, serta komisaris dan direksi BUMN untuk politisi dan kelompok-kelompok pendukung rezim terkonfirmasi. Ini sangat disayangkan karena mestinya di periode pemerintahan kedua, Presiden Jokowi bisa fokus ke kerja.
Ini turunan perekrutan kabinet. Ini efek dari sistem presidensialisme setengah hati. Harusnya bagi-bagi kekuasaan sampai di level menteri. Namun, karena jumlah menteri terbatas, kursi-kursi BUMN masuk dalam komposisi yang harus dibagi-bagi.
Pengisian jabatan di BUMN, menurut Hanta, tak bisa dimungkiri syarat lobi-lobi politik. Jatah bagi-bagi kekuasaan di kabinet terbatas sehingga portofolionya melebar ke wakil menteri, birokrasi, dan BUMN. ”Ini turunan perekrutan kabinet. Ini efek dari sistem presidensialisme setengah hati. Harusnya bagi-bagi kekuasaan sampai di level menteri. Namun, karena jumlah menteri terbatas, kursi-kursi BUMN masuk dalam komposisi yang harus dibagi-bagi,” kata Hanta.
Baca juga : BUMN HARUS MENJADI SOLUSI
Soal pengisian jabatan, Hanta berpendapat lebih kuat nuansa politiknya ketimbang teknokratik. ”Sulit untuk tak mengatakan nuansa bagi-bagi kekuasaan dan politik akomodasi di periode kedua. Terlalu besar dosisnya,” ujar Hanta.
Presiden Jokowi, Hanta melanjutkan, berada di tengah-tengah pusaran kekuasaan. Partai koalisi tak tunggal. Kepentingannya berbeda. Belum lagi ada kepentingan partai di luar pemerintahan dan sukarelawan. ”Porsi pembagian kekuasaan sekadarnya saja. Bukan berarti tak menghargai orang berkeringat, tetapi cara membalas budinya dengan menyejahterakan rakyat dan menjalankan Nawacita,” katanya.
Ia mengingatkan, menjelang Pemilu 2024, kepentingan partai politik berbeda-beda dan persilangannya semakin banyak. Faktanya, masih menurut Hanta, Presiden Jokowi bukan aktor penentu di partai politik sehingga butuh permainan kekuasaan. ”Tak ada orang kuat yang dominan di lingkungan kekuasaan utama Presiden. Kalau tak ada yang dominan di lingkaran kekuasaan, termasuk BUMN, diharapkan Presiden sebagai penentu. Kalau terampil mengelola kekuasaan, betul. Tetapi, kalau tidak, justru liar dan bisa membuat terbelenggu,” kata Hanta.
Akhirnya, meskipun BUMN dinyatakan sudah berubah, sebenarnya belum benar-benar berubah.
KOMPAS, JUM’AT, 26062020 Halaman 2.