UJI FORMIL: Mantan Ketua MA: Ada Anomali Ketatanegaraan dalam Pembuatan UU KPK

JAKARTA, KOMPAS — Ketua Mahkamah Agung 2001-2008 Bagir Manan menyebut ada anomali ketatanegaraan dalam proses pembuatan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Di negara demokrasi seharusnya suara dan kehendak rakyat tidak boleh diabaikan.

Bagir Manan menyampaikan pandangannya sebagai ahli yang dihadirkan pemohon dalam perkara uji formil revisi UU KPK di Mahkamah Konstitusi, Rabu (24/6/2020). Permohonan uji formil diajukan tiga mantan pimpinan KPK dan sejumlah pegiat antikorupsi. Selain Bagir Manan, juga hadir ahli pemohon, pakar hukum tata negara Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto.

Dia menambahkan bahwa UU yang baik seharusnya tidak hanya baik secara substansi, tetapi juga dibuat dengan prosedur yang baik. Menurut Bagir, dalam proses pembahasan ataupun setelah pengesahan, RUU KPK mendapatkan banyak sekali penolakan dari masyarakat. Kalangan akademisi, masyarakat sipil, banyak yang mempertanyakan proses penyusunan UU tersebut. Namun, DPR dan pemerintah dianggap kurang merespons penolakan tersebut.

Baca juga: Masyarakat Akan Ajukan Lagi Uji Materi UU KPK

”Penyelesaian revisi RUU KPK hanya dilakukan dalam waktu 12 hari. Pembahasan yang begitu singkat mengesankan ketergesaan. Tidak ada transparansi dan unsur-unsur legitimasi demokrasi dalam negara hukum,” kata Bagir.

Selain itu, menurut Bagir, asas keterwakilan dan legitimasi DPR dalam pembahasan itu pun dipertanyakan. Sebab, saat itu sudah ada nama-nama anggota DPR yang terpilih dari Pemilu Legislatif 2019, tetapi belum dilantik. Anggota DPR yang lama ini seharusnya tidak membuat keputusan strategis yang akan berimplikasi pada DPR yang baru. Di negara lain, hal itu dianggap sebagai lame duck session.

Meskipun DPR tidak mengenal masa demisioner, mereka mengenal bahwa pejabat lama seharusnya tidak mengambil keputusan ke depan yang akan membuat asas keterwakilan dan legitimasi kebijakan itu dipertanyakan. Apalagi, ini menyangkut pemberantasan korupsi.

Lame duck session adalah sebuah periode di masa transisi sesudah pemilihan umum di mana anggota parlemen lama belum berhenti bertugas dan yang baru belum dilantik. Di masa transisi itu, seharusnya ada mekanisme ketatanegaraan yang mencegah DPR dan pemerintah untuk tidak mengeluarkan kebijakan krusial kecuali di masa darurat pada periode akhir pemerintahannya.

”Meskipun DPR tidak mengenal masa demisioner, mereka mengenal bahwa pejabat lama seharusnya tidak mengambil keputusan ke depan yang akan membuat asas keterwakilan dan legitimasi kebijakan itu dipertanyakan. Apalagi, ini menyangkut pemberantasan korupsi,” kata Bagir.

Bagir juga menyebutkan bahwa ada proses anomali ketatanegaraan dalam pembuatan UU KPK. Menurut dia, di negara hukum dan demokrasi, suara dan kehendak rakyat tidak boleh diabaikan. Demokrasi menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam pembentukan aturan perundang-undangan.

Apalagi, UU itu menyangkut tentang pemberantasan korupsi sebagai extraordinary crime yang berpotensi merampas hak rakyat. Korupsi adalah hambatan nyata dalam membentuk pemerintahan yang bersih serta berpotensi menggagalkan pemerintahan.

Sementara itu, pakar hukum tata negara Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto, mengatakan bahwa, sejak dalam perencanaan, aspek-aspek penyusunan perundang-undangan tidak dipenuhi dalam revisi UU KPK tersebut. Fakta-fakta yang terlihat dalam proses penyusunan UU KPK itu dinilai inkonstitusional.

Sejak dalam perencanaan, aspek-aspek penyusunan perundang-undangan tidak dipenuhi dalam revisi UU KPK. Fakta-fakta yang terlihat dalam proses penyusunan UU KPK itu dinilai inkonstitusional.

Sebab, revisi UU KPK tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR periode 2014-2019. UU tersebut hanya masuk dalam daftar panjang (longlist) dan daftar kumulatif terbuka. RUU yang masuk dalam daftar kumulatif terbuka seharusnya adalah kelompok RUU yang boleh dimasukkan dalam Prolegnas karena untuk menindaklanjuti perjanjian internasional akibat putusan MK, APBN, dan penetapan perppu. Namun, kemudian revisi UU itu dibahas dan disahkan secara cepat selama di DPR pada masa-masa terakhir jabatan mereka.

”Padahal, sesuai dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, RUU harus ditetapkan dulu ke Program Legislasi Nasional yang disusun bersama dan mendapatkan persetujuan dari alat kelengkapan DPR,” tutur Aan.

Dalam proses pembahasan, draf RUU itu juga dianggap sulit diakses oleh masyarakat. Naskah akademis yang beredar di masyarakat dinilai berbeda dengan yang ada di website resmi DPR. Padahal, seharusnya, RUU yang sudah disetujui Presiden dan DPR itu dapat diakses publik sebelum disahkan. Proses deliberasi atau pelibatan publik menjadi sangat minim dalam UU tersebut.

KOMPAS, KAMIS, 25062020 Halaman 3.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.