OPINI: Jalan Penguatan Pasca-pandemi

Pandemi Covid-19 adalah ujian ketahanan bagi suatu bangsa. Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan menyebutnya sebagai acid test (uji kelaikan cepat) bagi ketahanan kesehatan publik, kuatnya modal sosial, serta sistem tata kelola pemerintahan di suatu negara. Terbukti, pandemi ini menguak kerapuhan ketiga hal ini di banyak negara.

Di bidang kesehatan publik, Covid-19 datang sekonyong-konyong sambil mengekspos kerapuhan infrastruktur kesehatan tanpa memandang status dan derajat kemajuan ekonomi suatu negara. Pada puncak pandemi ini, fasilitas kesehatan (faskes) publik di negara maju, seperti Italia dan Spanyol, pun kewalahan dan terbukti tak memadai menangani gelombang penderita.

Baca juga : Seni Menaklukkan Covid-19

Begitu juga di bidang sosial, pandemi ini bukan hanya memperuncing pertentangan, melainkan juga terbukti bisa memicu konflik sosial di suatu negara. Terutama negara di mana terdapat benih diskriminasi dan ketimpangan sosial dan politik yang tajam sehingga rentan terhadap konflik dan benturan antarkelas sosial.

Demonstrasi dan kerusuhan secara menyeluruh di hampir semua negara bagian di AS merupakan satu bukti mutakhir. Kerusuhan ini, meski dipicu persoalan rasial, sesungguhnya juga turut dibingkai dan dilatarbelakangi persoalan ketidakadilan dan krisis ekonomi akibat Covid-19, yang menyebabkan lebih dari 33 juta orang menganggur serta ratusan ribu penduduk jadi korban.

Krisis multidimensi

Selain mengekspos kelemahan di bidang kesehatan dan kerapuhan sosial, pandemi ini juga menyebabkan pelemahan ekonomi dunia secara signifikan.

Pandemi ini juga menyebabkan pelemahan ekonomi dunia secara signifikan.

Ekonomi global diperkirakan terkontraksi 2,0-2,8 persen di 2020, dari sebelumnya tumbuh 2,9 persen di 2019. Pandemi juga mengurangi arus perdagangan dan investasi global hingga 30 persen serta menambah volatilitilas pasar keuangan dunia hingga 215 persen.

Tak kurang dari 195 juta orang menganggur dan 420 juta-580 juta orang jatuh ke jurang kemiskinan. Dengan kata lain, pandemi ini telah menciptakan sebuah krisis multidimensi di banyak negara.

Di Indonesia, selain mengekspos kelemahan di bidang kesehatan publik, dampak yang paling dirasakan adalah di bidang ekonomi. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi nasional hanya akan tumbuh 0,5 persen pada 2020. Ini jelas koreksi tajam dari pertumbuhan 5 persen yang tercatat pada 2019.

Baca juga : Ekonomi ”Anti-(transmisi) Covid-19”

Proyeksi IMF terkait pertumbuhan ekonomi dunia pada April 2020.

Akibat koreksi pertumbuhan ini, penduduk miskin Indonesia diperkirakan meningkat 1,16 juta hingga 9,6 juta pada 2020, tergantung derajat kerusakan ekonomi yang terjadi. Begitu juga jumlah penganggur diperkirakan bertambah 2,91 juta hingga 5,23 juta pada 2020.

Kerusakan hampir merata di berbagai sektor perekonomian pada dasarnya disebabkan oleh sifat ketidakpastian dan risiko terpapar virus ini, yang kemudian membuat dilakukannya pembatasan dan karantina sosial oleh masyarakat.

Di Indonesia, adanya ketidakpastian dan risiko ini bisa dikatakan telah disadari secara merata di semua wilayah, tanpa perlu pemerintah setempat mengeluarkan aturan keharusan pembatasan sosial. Data Google mobility report per provinsi yang bisa diakses bebas, misalnya, menunjukkan penurunan drastis aktivitas masyarakat di semua wilayah Indonesia pada Maret-April 2020.

Pembatasan dan karantina sosial ini pulalah yang sesungguhnya kontributor utama penurunan di hampir semua sektor ekonomi. Ini dibuktikan oleh penelitian Arief Anshory Yusuf dari Universitas Padjadjaran.

Secara logika ekonomi pun ini mudah dicerna. Pembatasan sosial secara faktual akan menyebabkan terhentinya produksi di banyak sektor, yang kemudian menyebabkan turunnya penawaran agregat perekonomian.

Bersamaan dengan itu, turunnya sisi permintaan akibat berkurangnya belanja konsumsi rumah tangga karena meningkatnya alokasi pendapatan untuk tabungan berjaga-jaga. Alhasil, muncullah satu simalakama: mempertahankan kebijakan pembatasan sosial akan melanjutkan kerusakan dan penderitaan ekonomi berkepanjangan.

Mempertahankan pembatasan sosial akan melanjutkan penderitaan ekonomi berkepanjangan.

Sementara dengan tak melakukan pembatasan akan berisiko pada kesehatan dengan bertambahnya kasus dan korban korona. Satu risiko yang tak menunjukkan tanda-tanda mereda di Indonesia. Data terakhir hingga 4 Juni 2020 jumlah kasus dan kematian terkonfirmasi akibat Covid-19 di Indonesia terus meningkat, dengan sebaran yang kian merata.

Untuk jumlah kasus terkonfimasi, Indonesia termasuk tertinggi di Asia Tenggara, kedua teratas setelah Singapura. Indonesia juga belum bisa dikatakan telah mencapai puncak pandemi, apalagi ada keterbatasan dalam melakukan tes dan pelacakan dalam isolasi kasus yang ada.

Solusi untuk simalakama ini adalah yang disebut new normal atau hidup damai dengan Covid-19 sebagaimana dipopulerkan Presiden Jokowi. New normal adalah hidup dengan tetap melakukan berbagai aktivitas sosial-ekonomi walau menerapkan beberapa protokol kesehatan untuk meminimalkan risiko penularan. Ini artinya juga perubahan pada rutinitas dan pola kebiasaan dalam berbagai aktivitas sosial, mulai dari cara bepergian, bekerja, belajar, hingga berbelanja.

Baca juga : Covid-19 Merusak Ginjal

Pemberlakuan normal baru tentu ada risiko gagal. Pengalaman Korea Selatan yang sudah menerapkannya lebih dulu pada 6 Mei 2020 menunjukkan normal baru malah menyebabkan munculnya gelombang kedua penyebaran Covid-19 sehingga harus memberlakukan lagi pembatasan dan karantina sosial hingga 14 Juni. Hong Kong bisa dikatakan sukses menerapkan normal baru dan menghindari gelombang kedua pandemi.

Beberapa negara Eropa, seperti Austria dan Jerman, juga telah menerapkan normal baru, dan sejauh ini cukup berhasil dengan tak ada lonjakan kasus. Benang merah kesuksesan itu intinya dua hal: terus dilakukannya tes, pelacakan dan isolasi secara masif ke penderita/diduga penderita, serta disiplin menerapkan protokol kesehatan pada berbagai aktivitas.

Perencanaan dan peta jalan

Dengan dimulainya fase normal baru di Indonesia, perencanaan matang di berbagai aspek sosial ekonomi mutlak dilakukan. Berbagai institusi pemerintah, seperti Bappenas, sudah mulai menyiapkan satu Protokol Produktif Aman sebagai protokol bagi masyarakat dalam melakukan berbagai aktivitas sosial ekonomi di masa pandemi, yang mengacu pada kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Protokol-protokol sejenis yang spesifik mengatur bidang tertentu, seperti pendidikan dan industri, juga sudah ada dan mulai diterapkan.

Namun, mengeluarkan berbagai protokol saja tak cukup. Sebab, kehadirannya bermaksud sebatas menerapkan tindakan preventif penyebaran korona dengan mengatur pola aktivitas dan interaksi sosial ekonomi, yang pada akhirnya bertujuan menyelamatkan kehidupan dan penghidupan masyarakat.

Berbagai protokol ini serupa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sehingga seyogianya dikoordinasikan lintas instansi vertikal dan horizontal pemerintahan untuk mencegah tumpang tindih kebijakan, kebingungan masyarakat, dan ketidakefektifan penerapannya.

Contoh di mana penerapan kebijakan normal baru ini menjadi kontraproduktif adalah aturan terkait keharusan mendapatkan surat izin keluar masuk (SIKM) dalam beraktivitas di era normal baru yang ditetapkan beberapa pemda. Dalam praktiknya, aturan ini jadi beban yang memberatkan karena selain pengurusannya berbelit, biayanya tak kecil.

Baca juga : Spiritualitas Normal Baru

Berlikunya jalan beraktivitas kembali di era normal baru ini bagi pekerja antardaerah juga ditambah adanya aturan keharusan menjalani tes polymerase chain reaction (PCR) atau rapid test. Karena itu, tak heran banyak yang kemudian membatalkan beraktivitas, bahkan beberapa maskapai penerbangan pun membatalkan rencana operasinya.

Koordinasi kebijakan dan aturan lintas instansi horizontal dan vertikal juga harus dilakukan bukan hanya terbatas pada aturan terkait protokol normal baru. Yang juga penting, kebijakan dan aturan terkait anggaran dan penggunaan anggaran untuk stimulus bagi pemulihan dan penguatan ekonomi masyarakat.

Pemerintah dengan Perppu No 1/ 2020 (UU No 2/2020) sudah berikhtiar mengubah berbagai aturan terkait penganggaran, seperti pelonggaran batas maksimal defisit anggaran 3 persen selama masa penanganan Covid-19, relaksasi dalam penyesuaian besaran belanja wajib, dan pergeseran anggaran antarunit organisasi (fiscal switching).

Namun, kebijakan pelonggaran terkait penganggaran ini juga sebaiknya diiringi dua hal lain: penyusunan prioritas penanganan yang tepat serta merefleksikan kebutuhan dan keberpihakan kepada masyarakat paling terdampak, serta penguatan basis data untuk penanganan dan melakukan intervensi sosial ekonomi langsung.

Baca juga : Hidup Bersama Covid-19

Tanpa prioritas yang jelas dan pengeksplisitan asumsi dan filosofi yang mendasarinya, kebijakan pelonggaran penganggaran dapat diibaratkan memberikan cek kosong yang rawan disalahgunakan untuk kepentingan yang tak berdampak ke masyarakat paling membutuhkan. Penguatan basis data juga harus dilakukan untuk menghindari kecurigaan dan konflik di akar rumput, yang kemudian malah menjadi bumerang bagi kerekatan sosial.

Prioritas ini harus disusun secara lengkap dan mampu berfungsi jadi peta jalan ke arah bukan hanya pemulihan, tetapi juga penguatan perekonomian nasional. Sebab, di balik krisis yang ada, Covid-19 sesungguhnya memberi peluang bagi perbaikan. Peta jalan penguatan ini harus memuat idealita dan cita-cita tentang perekonomian nasional ke depan, seperti keharusan adanya jaring pengaman sosial yang lengkap, faskes publik yang memadai, infrastruktur digital yang kuat, dan terciptanya ekonomi rendah karbon yang peka lingkungan.

Penyusunan peta jalan ini mutlak memperhatikan aspek kewilayahan mengingat terdapat heterogenitas dampak dari pandemi ini serta keunggulan komparatif berbeda yang dimiliki tiap-tiap daerah. Jangan kemudian terkesan dalam penyusunan prioritas dan peta jalan terdapat penganakemasan sektor-sektor tertentu, seperti perhatian yang terkesan agak berlebih ke sektor pariwisata, yang bisa diartikan mengutamakan daerah-daerah tertentu.

Mohamad Ikhsan ModjoStaf Pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Komunikasi Universitas Binus.

KOMPAS, KAMIS, 18062020 Halaman 6.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.