Oleh MUHAMMAD IQBAL HASAN
Menghadapi pandemi Covid-19, sebagian negara memutuskan mengambil tindakan-tindakan darurat dalam upaya menekan penyebaran virus korona. Tindakan antisipatif juga diambil untuk menyelamatkan negara agar tak masuk ke jurang krisis ekonomi. Data Institutional Institute for Sustainable Development menunjukkan tindakan darurat yang ditempuh sejumlah negara.
Kanada, Ekuador, dan Jerman telah mengambil langkah untuk memastikan negara mereka dapat dengan mudah menerbitkan lisensi wajib (compulsory licences) terhadap obat-obatan dan alat-alat kesehatan yang sudah dipatenkan. Israel telah menerbitkan lisensi wajib terhadap obat HIV yang dianggap berpotensi untuk digunakan dalam menangani Covid-19. Spanyol dan Irlandia memilih untuk sementara memprivatisasi rumah sakit-rumah sakit.
Pemerintah Spanyol juga telah mengambil alih manajemen perusahaan-perusahaan swasta di bidang perawatan kesehatan hingga krisis tersebut berakhir. Pemerintah Italia telah menerbitkan keputusan pengambilalihan sementara atau permanen alat-alat kesehatan dan aset-aset bergerak lainnya. China telah menerbitkan 4.811 sertifikat force majeure untuk membatasi tanggung jawab para pelaku usaha China yang tidak dapat memenuhi kewajiban kontrak mereka.
Langkah China ini dapat dipahami, dan memang mungkin bersifat darurat. Namun, harus juga diperhatikan bahwa langkah atau tindakan itu berpotensi berdampak langsung terhadap aset atau nilai aset investor tertentu. Aset-aset tersebut dilindungi oleh berbagai perjanjian investasi internasional yang dimiliki antara negara penerima investasi dan negara asal investor.
Investor yang terdampak atas tindakan-tindakan pemerintah dapat memerkarakan ke arbitrase internasional. Pada forum inilah kemudian majelis arbitrase (tribunal) menguji apakah tindakan atau kebijakan pemerintah telah sesuai hukum internasional, yang dalam hal ini adalah perjanjian investasi internasional baik yang bersifat bilateral, regional, ataupun multilateral.
Negara dapat berdalih, tindakan yang diambil adalah tindakan dalam keadaan darurat. Terhadap argumen ini, fakta menunjukkan, tribunal tidak memiliki keseragaman dalam memberikan pertimbangan. Sebagian tribunal mempertimbangkan keadaan negara pada saat tindakan dilakukan. Sebaliknya, sebagian tribunal menganggap tidak perlu. Dengan demikian, bukan berarti dalam keadaan pandemi negara dapat mengeluarkan kebijakan sewenang-wenang kepada investor asing yang beroperasi di wilayahnya.
Tren saat ini juga menunjukkan adanya sokongan dana dari pihak ketiga kepada investor untuk menggugat pemerintah. Kerja sama antara third party funder dan investor ini menjadi semacam bisnis baru yang saling menguntungkan. Investor mendapatkan keuntungan karena biaya beracara di arbitrase internasional yang diketahui sangat tinggi hingga ratusan miliar rupiah ditanggung funder. Adapun funder mendapatkan ”bagi hasil” dari kompensasi yang dibayarkan negara kepada investor dalam hal negara itu dinyatakan bersalah.
Praktik ini sudah mulai bermunculan, bahkan ada indikasi para funder ini aktif mencari-cari negara yang sedang mengalami krisis ekonomi, dan kemudian memengaruhi investor asing di wilayah itu untuk menggugat negara tersebut. Tulisan ini tak bermaksud untuk menyebarkan pesimisme dan paranoid terhadap gugatan investor asing, tetapi untuk bersama-sama meningkatkan kehati-hatian jika ternyata pandemi ini berujung pada krisis ekonomi.
Langkah antisipasi
Banyak contoh negara dalam keadaan krisis ekonomi, atau dalam keadaan pergolakan masyarakat yang menyebabkan negara bertubi-tubi mengalami gugatan arbitrase internasional. Contoh yang paling nyata adalah krisis yang dihadapi Argentina pada 2001. Krisis itu membuat Pemerintah Argentina mengeluarkan kebijakan yang berdampak merugikan aset investor, dan berakibat lahirnya lebih dari 50 gugatan arbitrase internasional.
Indonesia juga pernah mengalami hal serupa ketika mengeluarkan kebijakan bailout Bank Century yang berakibat digugatnya Pemerintah RI dua kali, masing-masing oleh Rafat Ali Rizvi dengan menggunakan Perjanjian Investasi Bilateral Indonesia-Perserikatan Kerajaan Britania Raya dan Irlandia Utara; dan oleh Hesham al-warraq dengan Perjanjian Investasi Organisasi Konferensi Islam.
Dalam menghadapi potensi masalah seperti di atas, Pemerintah Indonesia sebaiknya mempertimbangkan tindakan antisipasi. Pertama, memastikan perjanjian investasi yang saat ini sedang dirundingkan menjadi perjanjian yang lebih seimbang dan memberikan keleluasaan pemerintah dalam mengambil kebijakan. Langkah ini memang tak mudah mengingat perundingan perjanjian bisa berlangsung lama, tetapi faktanya pandemi Covid-19 ini juga belum diketahui kapan akan berakhir dan akan sedalam apa memberi dampak terhadap ekonomi. Sebagian ahli menyatakan adanya potensi gelombang kedua.
Kedua, meningkatkan pemahaman atas perjanjian investasi internasional bagi seluruh pemangku kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah sehingga diharapkan aturan atau tindakan yang dikeluarkan tidak menimbulkan kerugian bagi investor asing.
Ketiga, membangun komunikasi dengan pelaku usaha, khususnya pelaku usaha bidang usaha yang berpotensi terdampak atas aturan dan kebijakan pemerintah terkait Covid-19. Dengan adanya komunikasi yang efektif, jika ada potensi masalah, akan dapat diidentifikasi sejak dini sehingga dapat diatasi dengan cara negosiasi dan cara damai lain. Keempat, membangun komunikasi dengan negara mitra perjanjian. Gugatan tak hanya bisa datang dari investor asing, tetapi dapat juga dari negara asal investor meski hal ini jarang terjadi.
Muhammad Iqbal Hasan, Pemerhati Hukum Investasi Internasional.
Kompas. 16 Juni 2020. hal: 7